-- Djadjat Sudradjat
SAYA WNI tapi saya tak marah pada Malaysia. Saya WNI tapi saya tak benci negeri jiran itu. Sebab tak ada alasan untuk marah dan menjauhi negeri serumpun itu. Terlalu sayang dan terlalu jemawa kehendak melupakan Malaysia di tengah spirit kleptomania yang menjadi-jadi di negeri sendiri. Ada jutaan WNI yang berjuang mencari nafkah di negeri serumpun itu karena ketidakmampuan pemerintah sendiri menyediakan pekerjaan.
Sungguh, saya tak marah pada Malaysia yang tak melindungi buruh-buruh migran dari Indonesia. Saya juga tak benci pada pers dan pemerintah Malaysia yang kerap membuat stigma buruk pada pekerja kita: bodoh, kriminal, berpendidikan rendah, dan murahan. Tidak! Saya tak marah, Malaysia! Karena Indonesia memang tak serius mengurus pendidikan.
Saya tak akan marah seperti diandaikan seorang Malaysia jika menjadi warga Indonesia. Seorang yang berindentitas malaysianmanaboleh, menulis dalam kejernihan di sebuah blog Star Online, “Jika saya orang Indonesia, saya pun akan membenci Malaysia,” begitu tulis sang malaysianmanaboleh itu.
Ah, lihatlah sikapnya yang berani berbeda itu. Ada sumblimasi yang menyejukkan di tengah bara api yang kian memanas antara kedua bangsa. Ia pasti bukan “nafiri” untuk kemuliaan raja, tetapi ia oasis di tengah spirit chauvinis “kemalaysiaan” yang merasuki bawah sadar sebagian orang Malaysia.
“Saya menyarankan warga Malaysia memosisikan diri sebagai orang Indonesia agar bisa memahami perasaan 232 jiwa orang Indonesia,” tulisnya lagi si malaysianmanaboleh itu. Sebab, kata dia, soal kejahatan: perampokan, pemerkosaan, pembunuhan justru dilakukan orang Malaysia sendiri. Berita ini tiap hari menghiasi media massa Malaysia.
Si penulis “suara lain” itu masygul dan malu. Sebagai warga Malaysia ia lebih malu lagi, karena negerinya tak mampu melindungi buruh-buruh migran dan menginjak-injak hak asasi manusia orang Indonesia. Ah, lagi-lagi, ia seperti suara yang diturunkan dari “surga”. Saya berharap ia bukan suara satu-satunya di Malaysia.
Ia memang tak menyebut identitasnya secara terbuka. Saya paham, keterbukaan bisa menjadi bahaya baginya. Tapi, saya membayangkan ia seorang “padri”, muda, terdidik, tahu asas-asas kemanusiaan; dan sudah pasti ia paham negerinya, tapi juga menghargai etika bertetangga.
***
SAYA tak marah pada Malaysia dengan aneka laku tak pantas kepada kita. Saya marah pada pemerintah negeri sendiri yang lemah dan tak punya harga diri. Marah karena setiap muncul ketegangan dengan Malaysia, pemerintah selalu lamban merespons. Ia tak bisa menjadi penyambung lidah rakyat dalam diplomasi. Dalam perkara penangkapan tiga anggota patroli Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau oleh Polisi Diraja Malaysia (13-8), sesama pejabat negara memberi keterangan berbeda. Alih-alih menjelaskan tiga petugas patroli kita yang dianiaya dan kemudian “dibarter” bebas dengan tujuh pencuri ikan Malaysia, Menteri Luar Negeri, Menteri Kelautan, dan polisi justru saling lempar tanggung jawab. Visi Fadel Muhammad yang moncer dalam membangun Gorontalo dan karier Marty Natalegawa yang cemerlang sebagai diplomat, seperti sirna justru ketika kita ingin bukti nyata dari mereka ketika menjadi menteri.
Saya tak marah pada Malaysia karena ada ratusan tenaga kerja kita terancam hukuman mati karena terlibat berbagai kejahatan, khususnya obat-obatan terlarang. Tapi, saya marah pada pemerintah negeri sendiri yang sama sekali tak punya visi dalam mengurus tenaga kerja kita. Dari tahun ke tahun persoalan tenaga kerja kita seperti tak berubah. Pemerintah, misalnya, tak mampu memperjuangkan para buruh migran kita yang paspor dan buku tabungannya ditahan majikan sebagai jaminan. Pemerintah juga tak berkutik mencari solusi agar para bedinde kita di rumah-rumah majikan mereka bisa libur satu hari dalam sepekan. Malaysia memang berkukuh dengan semua itu, tetapi diplomasi kita juga tumpul dalam meluruhkan kekakuan Malaysia. Sebagai negeri besar, Indonesia selalu tak berdaya menghadapi negeri jiran itu.
Wajarlah jika kekecewaan publik tak tertahankan. Saya tak setuju dengan demonstrasi yang melempar tinja ke Kedutaan Besar Malaysia, tetapi pemerintahan yang diisi orang-orang “amatiran” memang bisa menjadi sumbu yang membakar. Alangkah menjengkelkan Pemerintahan Jilid II Susilo Bambang Yudhoyono. Kabinet ini seperti kumpulan orang-orang linglung. Ia tak bisa membaca psikologi massa; karenanya tak punya spirit antisipasi. Selalu bertindak setelah kejadian. Yudhoyono serupa dirigen yang gagal memimpin pergelaran orkestra. Mentalitas Yudhoyono yang kecil sungguh bukan dirigen yang baik.
Malaysia memang kian unjuk gigi setiap menghadapi Indonesia. Seperti ada buncah energi yang tak pernah habis untuk selalu menang. Cara-caranya mungkin saja provokatif, tak elok, tetapi ia benar dalam memajukan negara dan bangsanya. Psikologi inferior di masa Bung Karno yang “menekan”, dengan kemerdekaan yang diberikan (Inggris) dan bukan direbut (dari Belanda) seperti Indonesia, memang menjadi olok-olok sebagai bangsa yang tak tangguh “berjuang”. Masa silamnya sebagai “murid” Indonesia dalam segala hal, menjadi daya lecut yang tak habis-habisnya. Justru kepemimpinan Indonesia yang selalu terjebak langkah mati. Sebab itu, apa yang dikatakan Yudhoyono, “million friends and zero enemy” menjadi punya konteks yang salah. Malaysia sesungguhnya bergerak dalam garis tumbuh yang biasa-biasa saja, tapi Indonesia justru yang tak mampu membangun kultur maju.
Kini amarah dan sumpah serampah kian berhamburan pada pemerintah. Radio, televisi, surat kabar, setiap hari “merekonstruksi” kejengkelan publik yang letih. Memang, di luar urusan Malaysia, bertumpuk-tumpuk masalah yang tak jelas solusinya telah menguras daya tahan kita. Suara-suara pesimistis seperti ini akan membangun sugesti suram. Distrust seperti ini sungguh akan meruntuhkan jalan apa pun yang ditempuh pemerintah.
Saya sungguh cemas atas semua itu. Terasa Indonesia seperti tengah dihancurkan justru oleh pemerintah sendiri. Betapa terasa kebijakan negara kini lebih menomorsatukan para pejabatnya daripada mengurus kedaulatan wilayah dan rakyatnya. Pemagaran gedung parlemen, penjagaan amat ketat pada presiden, vasilitas kendaraan seharga Rp1,3 miliar untuk para pejabat tinggi kita, anggaran-anggaran tak berkeadilan, para ajudan yang selalu menempel di seluruh pejabat negara di semua lapisan, jelas amat besar biayanya. Rakyat harus membayar amat mahal bagi yang mengurus (negara) daripada subjek yang diurus. Bukankah batas wilayah kita kian menciut, infrastruktur jalan kian rusak, eksploitasi bumi kian tak terkendali, dan rakyat kian sulit hidupnya? Tapi, lihatlah pertambahan kekayaan para pejabat negara kita. Inilah ironi kepedihan: negara yang diurus kian rusak, tetapi para pengurusnya justru kian makmur!
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment