-- Yudi Latif
DALAM hikayat Faust, karya Goethe, Mephistopheles berkata, ia adalah ”Satu bagian dari suatu tenaga yang senantiasa menghendaki yang buruk, tetapi selalu menghasilkan yang baik.” Kontras dengan itu barangkali gambaran kepemimpinan negara kita saat ini, ”senantiasa menghendaki yang baik, tetapi kerap menghasilkan yang buruk”.
Masalah pokoknya adalah pudarnya semangat penyelenggara negara. ”Padaku Tuan Ketua, yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik,” ujar Soepomo di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Menggali semangat ini pula yang menjadi inti peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan. ”Semangat proklamasi, adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Dan, manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!” ujar Soekarno.
Suatu kehendak tanpa antusiasme kejuangan dan pengorbanan ibarat pungguk merindukan bulan. Suatu gebyar pencitraan tanpa komitmen pelayanan dapat menimbulkan demoralisasi dan ketidakpercayaan rakyat kepada pemimpin dan pada kemampuannya sendiri. Keterputusan antara janji kata dan perbuatan dapat membalik kehendak menjadi kutukan.
Hilangnya otentisitas pemimpin merupakan kehilangan terbesar Indonesia dalam memperingati hari kemerdekaannya yang ke-65. Dalam pidato kenegaraan, pemimpin menjanjikan peran transformatif Indonesia dalam hubungan luar negeri. Dalam perbuatannya, jangankan mampu membawa transformasi dalam tata hubungan global ke arah yang lebih berkeadilan dan berkeadaban, bahkan dalam menjaga kedaulatan negara terhadap pelecehan negara kecil tetangganya seperti tak memiliki harga diri.
Dalam pidato kenegaraan, pemimpin menjanjikan zero tolerance terhadap korupsi. Dalam perbuatannya, pemberantasan korupsi beraroma tebang pilih, Komisi Pemberantasan Korupsi dilumpuhkan, koruptor mendapatkan kemurahan remisi dan grasi. Dalam pidato kenegaraan, pemimpin memprihatinkan munculnya ekspresi kekerasan dan tindakan intoleran antarwarga. Dalam perbuatan, pemimpin seakan membiarkan aparatur keamanan berpihak kepada perusuh ketimbang membela korban tindak kekerasan.
Dalam pidato kenegaraan, pemimpin mengkritik kecenderungan demokrasi padat modal seperti yang berkembang dalam pilkada. Dalam perbuatan, pemimpin memberi contoh tingginya biaya politik pencitraan dalam pemilihan presiden. Dalam pidato, pemimpin menyatakan komitmennya pada cita-cita reformasi. Dalam perbuatan, pemimpin seakan membiarkan bergulirnya gagasan amandamen Pasal 7 UUD 1945 mengenai pembatasan masa jabatan presiden. Padahal, pembatasan dua periode kepresidenan jelas merupakan mandat pokok dari gerakan reformasi.
”Dalam politik, hanya satu hal yang sungguh-sungguh diperhitungkan dan itulah keberanian untuk memutuskan: memilih kebijakan, itulah yang diperlukan,” ujar Cuthbert Morley Headlam. Lebih baik tidak populer dalam hal tertentu ketimbang membiarkan negara dalam ketidakpastian dan kehancuran oleh ketidakberanian pemimpin mengambil keputusan.
Ketidaktegasan pemimpin yang ditimbulkan oleh suatu sikap kejiwaan untuk senantiasa mencari popularitas dan asal aman sendiri bisa mengorbankan harkat bangsa secara keseluruhan. Kebesaran suatu bangsa tidak ditentukan oleh keluasan wilayah dan jumlah penduduknya, tetapi terutama oleh kebesaran jiwa pemimpinnya.
Di tangan pemimpin yang berjiwa kecil, negara yang besar bisa dikecilkan oleh negara kecil tetangganya. Tentang hal ini, 65 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi ukuran besar-kecilnya bangsa ini di mata tetangganya.
Dalam persidangan BPUPK, mayoritas suara (39 dari 66 anggota yang hadir) menyetujui batas teritorial negara Indonesia merdeka akan juga meliputi Singapura dan Malaysia. Tentang hal ini, Soekarno memberitahukan, ada tiga orang perutusan pemuda Malaya dari Syonanto (Singapura) dan juga seorang pemimpin Malaya, Letnan Kolonel Abdullah Ibrahim, yang meminta agar Malaya dimasukkan dalam daerah Indonesia.
Lantas ia katakan, ”Kecuali daripada itu Tuan-tuan yang terhormat, kecuali keyakinan saya, bahwa rakyat Malaya sendiri merasa dirinya bangsa Indonesia, merasa dirinya bertanah air Indonesia, merasa dirinya bersatu dengan kita, kecuali daripada itu saya berkata, walaupun ada bahaya yang akan mengatakan, bahwa saya ini seorang imperialis; bahwa Indonesia tidak akan bisa kuat dan selamat, jikalau tidak seluruh Selat Malaka di tangan kita dan musuh misalnya menguasai pantai Timur daripada Selat Malaka itu, maka itu berarti keselamatan Indonesia adalah terancam.”
Enam puluh lima tahun setelah Indonesia merdeka, karakter kepemimpinan Indonesia yang dulu terasa superior kini menjadi inferior; sebaliknya pemimpin negeri jiran yang dulu inferior kini menunjukkan superioritasnya. Memudarnya wibawa kepemimpinan Indonesia inilah yang menjadi penyebab pokok mengapa harkat tenaga kerja Indonesia di negeri jiran dinistakan, teritorial Indonesia terus-menerus diserobot, dan petugasnya dilecehkan.
Memulihkan kewibawaan kepemimpinan nasional memerlukan pemulihan otentisitas dan kebesaran jiwa pemimpinnya. Orde Reformasi pada awal abad baru ini, dengan segala keterbukaannya bagi kebebasan berekspresi dan beraktualisasi diri, adalah momentum bagi epos besar kelahiran karya agung. Sayang, bayangan kekhawatiran Hatta, yang disitirnya dari Schiller, seperti benar-benar menghantui bangsa ini: ”Suatu epos besar dilahirkan abad ini. Tetapi, momen besar itu menemui manusia kerdil.”
Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute
Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment