Monday, August 23, 2010

Murid "Sekolah Kandang"

SEPINTAS, empat petak bangunan ini tak ubahnya seperti kandang. Berdinding anyaman bambu yang sudah usang, berlantai tanah, beratap rumbia. Beberapa bagian dinding sudah mulai robek dan terbuka, bahkan lapuk. Sebagian lainnya sudah miring hingga harus ditopang bambu atau balok. Dari empat petak, hanya dua petak bangunan yang beratap seng. Tak jauh dari bangunan utama, tampak sebuah tiang besi yang di puncaknya berkibar Sang Saka Merah Putih.

Letak bangunan ini persis di tepi jalan poros Sulawesi Tengah yang menghubungkan Kota Palu dan Kulawi, Kabupaten Sigi. Jaraknya hanya 47 kilometer arah selatan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, tepatnya di Desa Omu, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.

Banyak yang tercengang tatkala melongok ke bagian dalam bangunan dan menemukan bahwa ada aktivitas belajar-mengajar di dalam. Yah, walaupun lebih mirip kandang, bangunan itu adalah sekolah, yakni kelas jauh dari SD Omu. Sekolah induknya berjarak lebih dari 3 kilometer dari kelas jauh ini.

Setiap hari 130 murid dan delapan guru menjalankan aktivitas belajar di sekolah yang oleh banyak orang akrab disebut ”sekolah kandang” ini. Sejak awal berdiri tahun 2005, hingga kini bentuk bangunan sekolah ini tak berubah. Empat petak bangunan digunakan masing-masing satu petak sebagai ruang guru, ruang kelas V dan VI, dan satu petak lainnya disekat jadi tiga bagian untuk kelas I, II, III, dan IV. Murid kelas I dan II belajar bergantian di ruang kelas yang sama.

Tiga petak bangunan berukuran antara 4 x 5 meter dan 5 x 5 meter, sementara satu petak lainnya yang disekat tiga berukuran 15 x 5 meter. Tak ada perpustakaan, laboratorium, atau fasilitas lain. Bahkan, kamar kecil hanya berupa anyaman bambu berbentuk kotak berukuran 1 x 1 meter, tak beratap, berlantai tanah, dan hanya dilengkapi satu ember kecil dan gayung.

Tak hanya fisik bangunan yang memprihatinkan, kondisi dalam kelas juga tak kalah mirisnya. Bangku dan meja panjang berderet dan berimpit nyaris tak ada celah. Satu bangku diduduki berimpitan, dua hingga tiga murid.

”Biasa juga ada tahi ayam di atas meja, tahi kucing, anjing. Biasa juga ayam dan anjing tidur di meja. Jadi, kalau mau masuk, torang babersih-bersih kelas dulu. Belum lagi nyamuk, banyak sekali,” kata Supri Supasande, murid kelas IV, yang ditemui seusai belajar, Kamis (22/7).

Lain lagi cerita M Fadli, siswa kelas V. ”Kalau hujan, torang sibuk bapindah-pindah meja sama kursi karena biasa air masuk dari atap. Belum lagi kalau duduk dekat dinding, torang kena tampias (percikan) air dari luar. Biasa buku jadi basah. Kalau hujannya keras, kelas banjir. Air dari luar dengan pece (tanah becek dan berlumpur) masuk juga,” katanya.

Kondisi bangunan yang sesungguhnya tak layak disebut sekolah ini tak membuat murid- murid kelas jauh SD Omu patah semangat belajar. Bahkan, tak ada kata libur sekalipun hujan dan mereka harus sibuk belajar berpindah-pindah tempat sembari menggeser bangku dan meja. Sama semangatnya dengan delapan guru yang empat di antaranya masih tenaga honor.

”Kami tetap mengajar setiap hari, apa pun kondisinya. Soal bangunan sekolah, kami memang kasihan melihat anak- anak belajar di tempat seperti ini, tapi mau apa lagi. Yang membuat kami tambah semangat dan tetap mengajar adalah anak-anak memang punya kemauan kuat untuk belajar. Kami khawatir, kalau dipaksakan ke sekolah induk, anak-anak bisa putus sekolah karena jaraknya jauh, 3 sampai 5 kilometer dari desa,” kata Yunius, guru kelas V.

Minta direhabilitasi

Kamis pagi menjelang siang, saat anak-anak lain memperingati Hari Anak Nasional, murid-murid SD Omu tetap bertekun dalam kelas. Saat ditanya tentang Hari Anak, hampir semua menjawab tidak tahu. Ketika ditanya akan meminta apa seandainya pada Hari Anak mereka diberi kesempatan meminta, umumnya mereka menjawab sama, ”Torang cuma mau minta torang pe sekolah dikase bae (Kami hanya ingin meminta agar sekolah kami diperbaiki).”

Awal mula berdirinya kelas jauh SD Omu tak lepas dari soal jarak. Memang jarak sejumlah dusun di Desa Omu—tempat tinggal para murid dengan sekolah induk—berkisar 3-5 kilometer. Tentu jarak yang jauh untuk berjalan kaki. Menggunakan angkutan umum pun bukan solusi tepat. Selain minim angkutan antardesa, sopir-sopir lebih banyak yang tidak mau mengangkut murid sekolah. Khawatir kondisi ini membuat murid jadi malas sekolah dan akhirnya putus sekolah, Pemerintah Kabupaten Donggala waktu itu akhirnya membuat kelas jauh. Awalnya tahun 2005 hanya dibangun dua petak kelas yang dipakai bergantian kelas I-V. Fisik bangunan persis seperti yang ada saat ini.

”Perkembangan jumlah siswa akhirnya membuat kami menambah ruang kelas dan termasuk untuk murid kelas VI. Saat ini ada 130-an murid. Kami sebenarnya bukan tidak berusaha meminta agar sekolah kelas jauh ini dibuat lebih layak. Setidaknya, kalaupun tidak permanen, mungkin dindingnya dari tripleks yang dicat, lantainya semen, atapnya seng. Tapi bolak-balik kami membawa usulan dan proposal, tidak pernah ada realisasi hingga kini. Padahal, sekitar Rp 200 juta, sekolah ini sudah bisa jauh lebih layak,” kata Jermiah Mahile, Wakil Kepala SD Omu sekaligus penanggung jawab kelas jauh.

Sebelum Sigi mekar dari Kabupaten Dongala tahun 2008, alasan tidak diturunkannya anggaran untuk rehabilitasi kelas jauh ini adalah letak sekolah ada di wilayah yang akan mekar. Namun, dua tahun pemekaran, sekolah ini tak juga direhabilitasi. Kalaupun ada anggaran yang berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS), itu hanya cukup untuk mengganti dinding anyaman bambu yang rapuh dan memperbaiki atap seadanya. Selebihnya untuk pengadaan buku. Warga sekitar juga kerap membantu bahan seperti balok dan anyaman bambu serta tenaga kerja untuk tukang. Toh semua ini tak bisa menolong banyak agar bangunan sekolah bisa jadi lebih layak.

Basir Lainga, Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sigi, mengatakan, sebenarnya rehabilitasi kelas jauh ini sudah masuk dalam perencanaan.

”Anggarannya dari APBN dan sudah masuk perencanaan. Tapi kami belum tahu berapa besarnya. Mudah-mudahan tahun ini bisa turun. Kami sudah mengupayakan, tinggal menunggu realisasinya,” kata Basir.

Pihak DPRD Sigi juga bukan tidak berusaha. Ketua DPRD Sigi Gesang Yuswono mengakui, masalah pendidikan dan kesehatan adalah dua persoalan besar yang menjadi pekerjaan rumah pasca-pemekaran. Fakta bahwa angka kelulusan tahun 2010 di bawah 50 persen dan angka gizi buruk tertinggi di Sulawesi Tengah, yakni 186 kasus, mungkin bisa jadi contoh kecil betapa persoalan pendidikan dan kesehatan di daerah ini butuh perhatian dan penanganan serius. (Reny Sri Ayu)

Sumber: Kompas, Senin, 23 Agustus 2010

No comments: