-- Myrna Ratna
BANGSA ini ternyata harus terus berjuang melepaskan diri dari ”penjajahan”. Lepas dari penjajahan atas nama kolonialisme, kini terjerat dalam penjajahan baru atas nama globalisasi.
Menarik menyimak pergulatan bangsa ini melalui kacamata dua pembuat film dokumenter kawakan, Joris Ivens (1898-1989) dan John Pilger (71). Kedua film dokumenter ini sudah lama dirilis, tetapi tetap relevan untuk melihat seberapa jauh kita memaknai dan mengisi kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus.
Dokumentasi hitam-putih karya Joris Ivens yang dibuat tahun 1945 dengan judul Indonesia Calling itu berdurasi 21 menit. Film ini bercerita tentang semangat heroik para buruh Indonesia di pelabuhan-pelabuhan Australia. Mereka menggalang dukungan, melancarkan mogok kerja dengan menolak bongkar muat kapal-kapal Belanda yang merapat di Australia. Kapal-kapal yang bermuatan pasokan senjata dan tentara itu akan diberangkatkan ke Indonesia untuk memerangi kembali negara yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Sikap para buruh Indonesia yang, antara lain, dipelopori tokoh-tokoh seperti Jan Wilando dan Max Sukanto itu kemudian didukung oleh serikat buruh Australia, khususnya Federasi Serikat Pelaut. Untuk ukuran film dokumenter yang dibuat tahun 1940-an, film ini cukup dramatis karena Joris Ivens selalu ada di saat hal genting terjadi.
Misalnya, suasana panik di kantor pergerakan ketika menyadari bahwa ada sebuah kapal yang berawak buruh-buruh India berhasil lolos dan meluncur ke Indonesia. Para aktivis ini kemudian mengejar dengan sekoci dan berteriak-teriak lewat megafon: ”Sahabat-sahabatku warga India, jangan dilanjutkan! Kita berjuang untuk tujuan yang sama, kemerdekaan negara kita!” (saat itu India masih dijajah Inggris).
Kapal perang itu terus melaju. Para aktivis yang berada di sekoci pun tertunduk lesu. Namun, tak lama kemudian datanglah perahu kecil dari arah berlawanan yang membawa para awak India. Mereka rupanya minta diturunkan dari kapal Belanda. ”Kami kembali karena kami juga akan berjuang untuk tujuan serupa...,” kata mereka.
Inilah salah satu momen manis yang akan dikenang dengan kebanggaan. Era kemerdekaan tercatat dengan tinta emas karena untuk pertama kali seluruh anak bangsa dari berbagai agama, etnis, dan kelas sosial terpanggil untuk bersatu dan mewujudkan cita-cita bersama, Republik Indonesia yang berdaulat.
Selama 65 tahun kemudian, semangat ini terus ditiupkan, dimaknai, direvitalisasi. Sejarah mencatat, cukup banyak bangsa ini mengalami masa-masa jatuh bangun. Pencapaian memang ada, tetapi realita keterpurukan lebih banyak lagi. Kondisi itu kadang memunculkan pertanyaan apakah kita mampu belajar dari sejarah. Termasuk, mampu melihat keterkaitan antara kegagalan-kegagalan masa kini dan kesalahan rezim-rezim terdahulu?
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa ada sekitar 109 juta rakyat Indonesia yang hidup dengan di bawah dua dollar AS per hari (bisa jadi ini sebutan pemanis untuk pengganti kata ”miskin”) menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam tata kelola pemerintahan.
Betapa kebijakan-kebijakan pemerintah sejak era Orde Baru sampai kini nyatanya menempatkan Indonesia dalam jeratan gurita baru, yaitu imperialisme ekonomi yang mengatasnamakan globalisasi.
Tiga institusi, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), telah menjadi ”mesin” yang mentransformasi dunia melalui kebijakan neoliberal, seperti perdagangan bebas, perluasan pasar ekonomi dan pengintegrasian ekonomi nasional. Namun, sistem perdagangan dunia ini tidak adil karena negara-negara maju memaksa negara-negara miskin membuka pasarnya bagi produk-produk mereka. Sebaliknya, pasar negara maju diproteksi dengan beragam ”aturan” yang sulit ditembus.
Dalam film dokumenter berjudul The New Rulers of the World (2001), wartawan kawakan John Pilger mengungkapkan dampak globalisasi bagi Indonesia. Betapa prinsip-prinsip ekonomi yang disimpulkannya sebagai ”sosialisme bagi kaum kaya raya dan kapitalisme bagi orang-orang miskin” itu hanya membuat negara miskin semakin miskin karena terlilit utang dan negara kaya semakin kaya.
Sementara untuk negara seperti Indonesia yang berlimpah sumber daya alam, semua itu ”dikuras” melalui proyek-proyek, yang sayangnya tak berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Institusi-institusi internasional itu seperti tutup mata terhadap masifnya korupsi yang menggerogoti dana pinjaman. Mereka juga tutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia, selama kepentingan mereka terpelihara.
Ada satu adegan ketika Pilger dengan kamera tersembunyi merekam situasi kerja buruh-buruh pabrik sepatu ternama dan pabrik pakaian merek ternama di Indonesia. Para buruh wanita yang berdesakan di ruang yang sumpek tanpa pendingin itu harus berdiri tanpa henti kadang sampai 18 jam. Bahkan, di saat target harus dikejar, mereka bisa bekerja sampai 24 jam tanpa henti.
Gambar-gambar tersebut berbicara dengan sendirinya tentang ketimpangan yang menyakitkan. Seorang buruh perempuan terkaget-kaget ketika menimang sepasang sepatu ”made in Indonesia” yang sudah dijual di toko dengan harga lebih dari Rp 1 juta, sementara upah yang diterimanya hanya Rp 500 per sepatu.
Perbaikan menyeluruh
Dari manakah pembenahan itu perlu dimulai? Sampai saat ini semua tetap percaya bahwa demokrasi masih menjadi solusi terbaik karena belum ada sistem alternatif yang bisa menjamin kebebasan individu. Lewat sistem ini pula tentunya diharapkan muncul kepemimpinan yang andal. Pemimpin yang kewibawaannya mampu menggerakkan seluruh instrumen dari pusat sampai ke unit terkecil di daerah untuk berkomitmen bagi kemajuan bangsa.
Apa boleh buat, sulit bagi Indonesia untuk menghindar dari sistem perekonomian global karena opsinya hanyalah ikut atau ditinggalkan. Namun, agar tidak terlibas di tengah jalan dan menjadi negara ”gagal”, tak bisa lain kecuali melakukan perbaikan menyeluruh dan tuntas terhadap masalah di dalam negeri.
Apa pun kebijakan yang diambil, kebutuhan mendasar rakyat, seperti akses terhadap pangan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, harus diprioritaskan. Soal ini tentunya terkait dengan pembenahan berikutnya, yaitu pemberantasan korupsi, penegakan hukum, perbaikan infrastruktur, serta pelayanan publik dan reformasi birokrasi. Intinya, pembenahan dan pengawasan dibutuhkan hampir di semua sektor. Betul, semangat pembenahan ini telah ramai dikumandangkan, tetapi sering kali hanya menjadi wacana dan belum menyentuh tataran praktis.
Tidak mudah menjadi pemimpin di sebuah negara bernama Indonesia yang memiliki 237 juta rakyat, dengan beragam agama, beragam etnis, dan ratusan bahasa. Namun, seperti kita lihat pada dokumentasi di awal kemerdekaan, cita-cita bersama itu tetap bisa digerakkan. Inilah momen yang paling pas untuk menggerakkannya kembali. Membangun Indonesia yang lebih baik.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment