-- Kacung Marijan
BELAKANGAN wacana kritis, bahkan terkesan ”anti”, terhadap demokrasi mulai muncul. Demokrasi dikatakan tidak banyak membawa manfaat dan terlalu mahal. Selain itu, juga muncul gagasan untuk kembali ke sistem lama, seperti di dalam memilih presiden dan kepala daerah, dikembalikan dipilih MPR dan DPRD.
Munculnya wacana semacam itu mengindikasikan bahwa proses demokratisasi yang berlangsung lebih dari satu dekade ini belum terkonsolidasi. Secara sederhana, suatu demokrasi terkonsolidasi manakala struktur dan proses baru dalam demokrasi itu telah stabil dan menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat.
Paling tidak ada tiga hal yang membuat adanya keraguan dari sebagian masyarakat terhadap demokrasi. Pertama adalah adanya realitas disconnect electoral antara para wakil dan mereka yang terwakili. Dalam membuat keputusan, para wakil, baik yang ada di legislatif maupun eksekutif, acap kali tidak berangkat dari preferensi para terwakil.
Kedua, biaya demokrasi dianggap terlalu mahal, khususnya biaya dalam pemilu. Dalam bahasa ekonomi, besarnya biaya itu tidak efisien atau biaya yang dikeluarkan itu dianggap terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai.
Ketiga, demokrasi belum berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. Yang terakhir ini acap kali dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masa Orde Baru dan beberapa negara seperti China dan Singapura. Negara-negara ini tidak demokratis tetapi rakyatnya relatif makmur.
Besarnya biaya?
Ketiga hal itu sebenarnya tidak berdiri sendiri-sendiri. Tetapi, masalah terlalu besarnya biaya belakangan menjadi sorotan yang lebih luas. Bahkan, Presiden sampai beberapa kali menyoroti masalah ini. Terakhir adalah ketika berpidato pada 16 Agustus.
Demokrasi itu jelas membutuhkan biaya. Untuk menyelenggarakan pemilu, dibutuhkan biaya yang cukup besar. Agar para wakil rakyat bekerja secara baik, juga dibutuhkan uang yang cukup besar untuk membiayainya. Hal demikian terjadi di semua negara demokratis.
Tetapi, di Indonesia, biaya itu dianggap terlalu mahal kalau dikaitkan dengan produk domestik bruto per kapita. Di pihak lain alokasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti untuk program kesehatan, pendidikan, dan stimulus pertumbuhan ekonomi, masih terbatas.
Memang masih menjadi perdebatan tentang besaran biaya di dalam demokrasi itu. Tetapi, yang menjadi masalah adalah yang dikeluarkan dalam setiap pelaksanaan pemilu bukan sebatas pada biaya penyelenggaraan pemilu, melainkan juga ”ongkos-ongkos” lain.
Yang terakhir itu tidak lepas dari adanya fenomena tidak sehat di dalam proses memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Para aktor, baik partai politik maupun calon, acap kali mempraktikkan cara-cara yang tidak sehat untuk memperoleh kemenangan. Di antaranya adalah melalui apa yang sering disebut politik uang (money politics).
Dalam suatu kesempatan, seorang bupati secara jujur mengatakan bahwa dia telah menghabiskan Rp 4,5 miliar untuk memenangi pilkada. Padahal, gaji resmi yang diperoleh selama lima tahun hanya sekitar Rp 2 miliar. Artinya, kalau mau jujur, dia harus merugi Rp 2,5 miliar.
Biaya yang dikeluarkan oleh bupati itu tergolong kecil untuk sebuah pilkada. Di banyak daerah, para calon harus mengeluarkan puluhan miliar rupiah. Bahkan, untuk calon gubernur sampai ratusan miliar rupiah.
Biaya besar itu bukan hanya untuk pilkada. Para calon pada pemilihan legislatif juga harus mengeluarkan biaya besar. Ada yang sampai miliaran rupiah. Dalam suatu perbincangan, di suatu kabupaten di Jawa Timur, ada calon yang sampai menghabiskan Rp 1,3 miliar untuk jadi anggota DPRD. Tiba-tiba seorang teman menimpali, ”Itu masih mendingan jadi. Ada calon anggota DPRD yang sudah mengeluarkan Rp 1,3 miliar, tetapi tidak jadi.”
Munculnya praktik yang tidak sehat itu terjadi secara dua arah. Dari partai atau calon, terdapat keinginan pintas untuk menang, sementara di kalangan pemilih belakangan juga muncul pandangan pragmatis yakni transaksi jangka pendek rasional-material.
Yang terakhir itu bukan semata-mata terjadi karena banyak anggota masyarakat yang masih miskin dan adanya budaya ”tangan di bawah” di sebagian masyarakat kita. Tidak bisa dimungkiri, praktik itu terjadi sebagai akibat dari adanya disconnect electoral. Mengingat para elite dianggap kurang peduli terhadap para pemilih pascapemilu, mereka menginginkan adanya imbalan yang lebih langsung.
Tetapi, pertimbangan-pertimbangan pragmatis dan jangka pendek itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Mengingat para wakil sudah merasa ”membayar” di muka, mereka juga tidak merasa terlalu terikat untuk membangun relasi elektoral yang lebih baik. Bahkan, di antara mereka juga sibuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Tidak bisa dimungkiri, adanya praktik KKN yang meluas di daerah belakangan ini tidak semata-mata karena adanya integritas pribadi dan integritas publik para pejabat di daerah rendah. Praktik semacam itu juga tidak lepas dari keinginan untuk menutup ongkos yang telah dikeluarkan oleh para pejabat publik itu.
Demokrasi tidak salah
Dalam konteks semacam itu sebenarnya tidak ada yang salah dengan demokrasi. Yang tidak pas adalah adanya perilaku penyalahgunaan prosedur dan kaidah demokrasi yang dilakukan oleh para power-seekers dan sebagian para pemilih.
Sejumlah desain kelembagaan bisa diintrodusir untuk mengatasi masalah itu. Di antaranya adalah melalui penyederhanaan pemilihan. Misalnya saja, penggunaan model pluralitas di dalam pilkada. Dalam model demikian, siapa pun yang memperoleh suara terbesar, otomatis menang.
Selain itu, perlu ada pembatasan biaya yang harus dikeluarkan, baik oleh penyelenggara maupun oleh calon. Pembatasan ini bisa merujuk pada kondisi ekonomi suatu daerah, misalnya. Para pelanggarnya harus ditindak tegas. Terakhir, demokrasi membutuhkan prosedur yang jelas dan adanya komitmen semua pihak untuk melaksanakan dan menaati prosedur itu. Semoga.
Kacung Marijan, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment