-- Stevani Elisabeth
Jakarta - Tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan sepertinya menjadi suatu bagian dari perang. Pada Perang Dunia Kedua (PD II) tentara Jepang bahkan membangun sistem perbudakan seks secara terorganisasi. Puluhan ribu perempuan di Asia dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu).
“Kita bisa melihat sejarah mereka lewat foto,” ujar salah satu fotografernya, Hilde Jansen di Jakarta, Kamis (12/8). Syahdan, di masa itu, anak-anak perempuan berusia 13-14 tahun dijebloskan ke dalam dunia prostitusi dalam bentuk bordil militer. Tidak sedikit dari mereka mengalami tindakan kekerasan di gerbong-gerbong kereta api, di pabrik-pabrik atau di rumah sendiri.
Jelas, para perempuan yang menjadi korban ini mengalami gangguan secara fisik maupun emosional dari kenyataan hidup yang mereka hadapi. Hal ini jelas bertolak belakang dengan pemikiran tentara Jepang saat itu yang menganggap sistem jugun ianfu sebagai tindakan pragmatis.
Dalam memperingati HUT Kemerdekaan ke-65 RI, Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis menampilkan pameran foto karya wartawati Hilde Jansen dan Fotografer Jan Banning sejak 12 Agustus hingga 23 September.
Inilah foto mata dan wajah para korban di masa lalunya masih kanak atau berusia muda. Hasil karya Hilde dan Jan ini mempertunjukkan suatu seri potret yang mengharukan dari mantan jugun ianfu. Mata mereka mencerminkan masa lalu mereka, sebuah sejarah kelabu. Walaupun mayoritas dari mereka lebih suka membisu.
Hilde dan Jan berkeliling Indonesia sejak Juni 2007 hingga Juli 2009 untuk bertemu dengan para mantan jugun ianfu, di Pulau Jawa, Maluku, Kalimantan Timur, Sumatra Utara, dan Timor Barat. Jansen mencatat cerita-cerita mereka dan Banning memberi mereka wajah.
Dalam pameran ini, delapan belas di antara mereka membuka masa lama dan mendobrak tabunya. Dikombinasi dengan poster propaganda perang Jepang, pameran ini menunjuk perang sisi lelaki dan perempuan, propaganda versus realitasnya.
Berusaha Melupakan
Kisah-kisah singkat menceritakan nasib para mantan jugun ianfu. Mereka secara paksa atau dengan janji palsu dijemput dari rumah atau diculik dari jalan, kemudian secara sistematis tindakan pemerkosaan itu terjadi, berbulan-bulan sampai tiga tahun terus-menerus.
Setelah perang berakhir ada di antara mereka yang berhasil melupakan pengalaman yang menyakitkan dan menikah. Ada juga yang kesulitan menyesuaikan diri. Mereka merasa distigma. Beberapa perempuan tidak pernah pulang kampung. Setiap perempuan punya cerita yang berbeda, tapi setiap kehidupannya diwarnai oleh masa perang.
Hilde mengatakan dengan karya-karyanya ini dia berharap bisa memberikan pandangan kepada generasi muda akan masalah masa lalu Indonesia agar tidak terulang di waktu yang akan datang. Menurutnya, pihaknya melihat peran perempuan di dalam perang Pasifik tidak muncul dalam sejarah Belanda. Belanda sendiri tidak tahu pengalaman apa yang mereka hadapi selama di Indonesia. ”Sebanyak 50 juta warga Indonesia yang pernah dijajah saja, tetap tidak muncul di dalam sejarah Belanda, apalagi jugun ianfu,” ujarnya.
Hilde menilai, di Indonesia sepertinya pengalaman hidup yang dihadapi oleh korban jugun ianfu ini telah dilupakan karena banyak orang Indonesia merasa bangsanya sudah merdeka. ”Dengan pameran ini, kita bisa melihat sejarah lewat foto,” lanjutnya.
Komnas Perempuan mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi pada PD II, tetapi juga terjadi pascakemerdekaan RI. Perempuan memang rentan dalam kasus kekerasan seksual khususnya di daerah-daerah konflik seperti DOM di Aceh. Kasus itu juga terulang kembali pada Mei 1998 di mana banyak perempuan Tionghoa yang menjadi korban.
Sayangnya banyak perempuan yang menjadi korban itu justru memilih menyimpan kasusnya sendiri sampai dia masuk ke liang lahat. Para korban jugun ianfu ini pun demikian, bahkan mereka terlupakan dalam sejarah Indonesia.
Hilde dan Jan telah membuka wajah Indonesia dengan karya-karya mereka dengan tujuan agar bangsa Indonesia bisa mengungkapkan kejujuran akan masa lalunya. n
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment