Jakarta, kompas - Pewarisan tradisi lisan ternyata tidak berjalan secara alamiah seperti yang diharapkan. Akibatnya, para penutur dan komunitas tradisi lisan di negeri ini semakin berkurang.
Padahal, tradisi lisan bukanlah peninggalan masa lalu yang tidak ada relevansinya dengan masa kini. Tradisi lisan yang sangat kaya di Indonesia justru bisa jadi sumber pengetahuan karena tidak hanya mengandung cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi di dalam tradisi lisan juga ada kehidupan komunitasnya, mulai dari kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, serta berbagai hasil seni.
”Pewarisan secara tradisional tidak jalan karena generasi muda sekarang banyak yang tidak tertarik. Hal ini bisa jadi akibat tradisi lisan itu tidak dibawa ke dalam konteks kekinian,” kata Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pudentia MPS dalam pertemuan program kajian tradisi lisan kerja sama ATL dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta, Senin (11/4).
Saat ini, misalnya, semakin sulit menemukan penutur atau maestro Tanggomo. Tanggomo adalah pantun khas Gorontalo. Demikian juga maestro cerita pantun Sunda semakin langka.
Menurut Pudentia MPS, untuk menyelamatkan tradisi lisan perlu juga pewarisan secara ilmiah dengan memperbanyak dan memperkuat kajian tradisi lisan yang dilakukan perguruan tinggi.
Program KTL diselenggarakan di lima universitas, yaitu Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Udayana, dan Universitas Gadjah Mada. Didukung Koninklijke Instituut Voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Belanda dan Netherlands Education Support Offices (NESO).
Supriadi Rustad, Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi, mengatakan, kajian tradisi lisan merupakan program khusus untuk mengangkat nilai-nilai lokal Indonesia agar bisa go international. (ELN)
Sumber: Kompas, Selasa, 12 April 2011
No comments:
Post a Comment