Thursday, April 21, 2011

Seni Tradisional: Lamut, Budaya Tutur yang Perlahan Ditinggalkan

TANGAN keriput Kai Jamhar (69) masih lincah menabuh terbang, semacam rebana agak tebal. Dari mulutnya keluar cerita yang dilantunkan dengan gaya bertutur menggunakan dialek bahasa Banjar, bahasa ibu yang banyak digunakan masyarakat Kalimantan Selatan.

Maestro "lamut" dari Kalimantan Selatan, Gusti Jamhar Akbar (menabuh terbang), tengah memainkan seni lamut di hadapan penonton dalam rangka pendokumentasian di Taman Budaya Kalsel, pertengahan Januari lalu. Lamut menjadi salah satu seni bertutur Banjar yang perlahan mulai ditinggalkan. (KOMPAS/DEFRI WERDIONO)

Pertengahan Januari lalu, Jamhar yang memiliki nama lengkap Gusti Jamhar Akbar tampil sendirian di salah satu ruang Taman Budaya Kalsel di Banjarmasin. Di depannya, belasan penonton duduk di kursi lipat. Mereka khidmat mencermati apa yang dituturkan sang palamutan, istilah bagi seniman pemain lamut.

Semestinya bermain lamut ditampilkan malam hari dengan durasi hingga lima jam. Namun, karena dalam rangka pendokumentasian untuk kepentingan disertasi oleh Sainul Hermawan dan pelestarian budaya oleh Komunitas Sastra Indonesia Banjarmasin, lamut kali itu dipentaskan siang hari. Waktu pertunjukan pun dipangkas lebih singkat.

Lamut dibawa oleh pedagang dari China pada abad ke-19 yang masuk ke Kalsel melalui Amuntai, yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Utara—meskipun, kata Jamhar, secara harfiah kata lamut diperkirakan berasal dari bahasa Arab laamauta (tidak mati). Lamut kemudian sering dimainkan saat musim panen padi.

Dalam perkembangannya, lamut terbagi dalam dua kelompok, yakni untuk hiburan seperti dalam rangka hajatan, perkawinan, dan peringatan hari besar lainnya. Yang kedua, lamut menjadi ritual untuk penyembuhan penyakit yang biasanya disertai sesaji.

Di tangan leluhur Kai Jamhar, lamut baru mendapat iringan terbang ketika kesenian hadrah masuk ke Banjar. Sebelumnya, kesenian ini hanya dituturkan begitu saja. Adapun cerita yang dibawakan seputar kehidupan Prabu Awang Selenong, raja di Palimbangan, beserta keturunannya.

Makin ditinggalkan

Seperti kesenian tradisional di daerah lainnya, kini lamut mulai ditinggalkan. Di pedesaan Kalsel, lamut masih bisa dijumpai dalam beberapa kesempatan, terutama yang berbau hiburan. Sementara di perkotaan, lamut sudah kalah dengan pertunjukan lain seperti musik dan teater.

Anak muda kota yang mengerti lamut pun kian sedikit. Rizali (28), seorang pegawai swasta di Banjarmasin yang tinggal di Alalak, mengaku tidak tahu apa itu lamut. Begitu pula Rezy (20), mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Banjarmasin, yang mengaku belum pernah sekali pun menonton lamut. ”Yang saya ketahui madihin (salah satu kesenian Banjar yang ceritanya lebih universal). Itu pun kadang-kadang nontonnya,” ujar Rizali.

Makin terancamnya kesenian lamut dibenarkan Hajriansyah, Ketua Komunitas Sastra Indonesia Banjarmasin. Menurut dia, di pedesaan, kesenian yang masuk kategori sastra lisan Banjar ini masih cukup kuat karena ancaman pengaruh masuknya kebudayaan baru di desa belum semasif di kota.

”Di desa-desa, lamut masih sering ditampilkan, terutama ketika ada pesta hajatan,” ujar Hajriansyah, yang mengaku pendokumentasian kali ini merupakan upaya pelestarian lamut dari kepunahan.

Kepala Taman Budaya Kalsel Enos Karli berpendapat, makin suramnya lamut terjadi akibat kurangnya pengaderan dan regenerasi. Saat ini, yang ia kenal sebagai palamutan hanyalah Kai Jamhar. ”Sebenarnya ada regenerasi, anak Pak Jamhar. Namun, dia belum percaya diri untuk tampil. Padahal, dia mau kami tampilkan dalam skala kecil-kecilan dulu, sekalian untuk melatih mental. Tapi yang bersangkutan belum bersedia,” ujarnya.

Selain regenerasi dan pengaderan, menurut Enos, ada beberapa hal yang menyebabkan lamut kalah dari kesenian Banjar lainnya, antara lain lamut dimainkan seorang diri. Ritme pukulan pada terbang kurang cepat atau kurang menggebu sehingga penonton kurang bergairah.

Kecuali itu, juga karena banyak kata yang diambil dari kitab suci, terutama pada lamut yang digelar untuk penyembuhan. (Defri Werdiono)

Sumber: Kompas, Kamis, 21 April 2011

No comments: