Saturday, April 16, 2011

[Tanah Air] Suku Marind Hidup di Antara Busur dan Pacul

-- Erwin Edhi Prasetya dan Timbuktu Harthana

CORNELIA Mahuze (60) mengaso di pematang sawahnya di Kampung Urumb, Merauke, Papua. Dinaungi bivak dari terpal kusam, ia melepas penat sehabis panen padi. Di belakangnya tertumpuk karung berisi gabah yang siap diangkut ke rumah. Usia senja tak menyurutkan semangat perempuan suku Marind ini untuk bertani.

Anak-anak warga Rawa Biru, Merauke, Papua, bermain kole-kole di rawa desa tersebut, Sabtu (9/4). Daerah ini merupakan perbatasan antara RI dan Papua Niugini. (KOMPAS/EDDY HASBY)

”Saya senang bertani (padi). Anak-anak di sini su pandai bertani,” ujar ibu tujuh anak ini menggambarkan aktivitas keseharian warga Dusun Serapu, Kampung Urumb, Distrik Semangga, Merauke. Ia sendiri sudah melakoni kegiatan bercocok tanam sejak usia 10 tahun.

Siang itu, Minggu (10/4), langit cerah ketika kami berjumpa dengannya di dusun sunyi, sebuah tempat di ujung timur Nusantara. Kami menjangkau dusun ini setelah melintasi sabana serta menembus lebatnya pohon bus dan sela-sela musamus (rumah rayap).

Suku Marind yang mendiami Merauke, pesisir selatan Papua, kini bergelut dengan modernisasi. Tombak, busur, pasak, dan kahanggat (batang bambu yang diruncingkan) perlahan diganti pacul, sekop, dan traktor. Meski demikian, hasrat berburu tetap menyala.

Cornelia bersama 200-an keluarga di Kampung Urumb adalah sebagian warga Marind yang cakap bersawah dan menghasilkan sekitar 1,5 ton beras tiap kali panen. Keluarga Cornelia bertani padi sejak 1962 saat beberapa warga Marind di pesisir pantai hijrah ke daratan. Orangtua mereka belajar bersawah dari transmigran asal Jawa.

Berburu kanguru atau rusa dengan bekal busur dan tombak jarang mereka lakukan. Demikian pula menokok (mengikis) daging pohon sagu dengan kahanggat, hal itu hanya dilakoni pada waktu-waktu tertentu, seperti menjelang upacara adat.

Kepala Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat Marind Frederikus Gebze menuturkan, transformasi bermula pada awal 1900-an ketika gelombang pendatang masuk Merauke. Kebanyakan pendatang adalah orang Jawa yang dibawa Belanda. Di Merauke mereka dikenal dengan Jamer (Jawa-Merauke).

Pertemuan itu membuat orang Marind—yang umumnya berpostur tegap, tinggi besar, dan berhidung mancung—mulai kenal pertanian padi dan palawija. Lahan persawahan mulai dibuka di sekitar pantai Merauke dan Distrik Kurik. Saat itulah, sekitar 1910, sejumlah warga Marind membuka sawah dan menanam padi. Perkenalan suku Marind dengan sistem pertanian modern berlanjut hingga gelombang transmigrasi tahun 19651995. Pada 1985 pemerintah merelokasi keluarga Marind ke daerah transmigran dan membekali mereka dengan pertanian modern, dari mengolah tanah dengan pacul dan traktor, menabur benih, memupuk, hingga memanen.

Meski transformasi tidak berjalan mulus, suku Marind yang tinggal di sekitar permukiman transmigrasi, seperti Distrik Semangga, Kurik, dan Kumbe, perlahan menyerap kecakapan budidaya. Vincentius Takai Mahuze (43), warga Kampung Urumb, Distrik Semangga, misalnya, bisa mendapatkan 40 karung gabah dari 1 hektar (ha) sawahnya setiap panen. Minimal dia mengantongi Rp 3,6 juta dari penjualan 1,2 ton beras.

Walaupun sudah bertani, budaya meramu, memangkur sagu, menjaring ikan, berburu, dan berkebun dengan metode sederhana, yakni wambat

(membuat deretan bedeng setinggi lutut orang dewasa untuk ditanami umbi-umbian dan pisang), tetap mereka pertahankan. Ini tersisa pada suku Marind yang bermukim di pedalaman hutan dan rawa. Mereka adalah suku Kanum, subsuku Marind yang mendiami Kampung Yanggandur, Torai, Erambu, Sota, dan Rawa Biru di Distrik Sota.

Aktivitas bertani melengkapi keseharian suku Marind asli, yaitu masuk-keluar hutan berburu rusa, babi, buaya, dan kanguru. Hasil buruan dijual ke Merauke tanpa diolah lebih dulu. Oleh warga perkotaan, daging rusa itu diolah sebagai bahan bakso dan dendeng. Merauke adalah penghasil dendeng rusa yang populer.

Menurut Jago Bukit, Kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antonius, Merauke, warga suku Marind tak bisa bertahan dengan meramu dan berburu. Sebab, hutan dan sabana perburuan terdesak dan menciut karena lahan mereka dikapling pengusaha. Sektor pertanian memang menjadi fokus dan unggulan Merauke. Merauke memiliki lahan pertanian potensial 2,5 juta ha dengan lahan basah 1,9 juta ha. Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Merauke menerbitkan 46 izin investasi bidang pertanian meliputi 228.000 ha lahan, termasuk di tanah ulayat. Ironisnya, tanah ulayat sering dilepas dengan harga murah kepada pemilik modal. Banyak tanah ulayat dijual hanya Rp 10 (sepuluh rupiah!) per meter persegi karena iming-iming perusahaan memberi perumahan, pendidikan, dan lapangan kerja.

Sebaliknya, harus dibuka juga fakta, tak semua investor sekadar mencari untung. Mereka eksplisit punya andil menggerakkan perekonomian daerah dan menyerap tenaga kerja. Bayangkan, tanpa investasi dan campur tangan pemodal dari Jakarta—dan masuknya teknologi baru—Merauke tentu sulit sekali berkembang. Susahnya, sebagian warga tidak memiliki ketekunan dan keuletan bertani. Ini wajar karena sekian generasi mereka diberkahi kemurahan alam. Karena itu, seperti kata Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-anim Alberth Gebze Moyuend, sebagian warga meninggalkan sawah mereka karena merasa tak sesuai dengan kultur dan adat. Tercatat lahan sawah yang terbengkalai mencapai 34 persen dari 38.402 ha lahan pertanian di Merauke.

Pastor Andreas Fanumbi Pr, pendamping masyarakat Marind di Distrik Semangga, melihat masyarakat Marind mengalami benturan budaya. Mereka butuh pendampingan untuk bergelut dengan perubahan keadaan dan budaya. Diperlukan pendekatan budaya dan religi dengan melibatkan tiga tungku, yakni pemerintah, masyarakat, dan pihak ketiga. Pendidikan diperlukan.

Bupati Merauke Romanus Mbaraka bertekad melindungi masyarakat Marind. Ia menawarkan konsep penyertaan modal. Tanah adat yang kelak jadi lahan perusahaan dihitung sebagai penyertaan modal....

Sumber: Kompas, Sabtu, 16 April 2011

No comments: