-- Sudjarwo
TANGGAL 14 April 2011 lalu, seorang tokoh pers Indonesia meninggalkan kita untuk menghadap Sang Pencipta. Beliau bernama Rosihan Anwar yang lahir 10 Mei 1922 di Sumatera Barat. Kita kehilangan seorang "pelapor, peliput, dan sekaligus penulis" peristiwa (baca: berita) yang andal, dengan ciri penulisan yang mengalir bagai sungai. Ciri khas lain seorang jurnalis yang sangat religius dalam penulisan maupun tampilan. Dan ini menjadi bioritme kehidupannya sehari-hari beliau.
Walaupun dalam lintasan hidup penulis bertemu sang Ayatullah hanya beberapa kali, ada yang sangat berkesan yaitu pada saat penulis menjadi mahasiswa mengikuti pelatihan Pers Mahasiswa Tingkat Nasional di Puncak Bogor sekitar tahun 70 an. Beliau tampil sangat mengesankan sebagai guru pers bersama almarhum Bapak B.M. Diah. Sekalipun mereka berdua dalam pandangan sering berseberangan, dalam kehidupan sehari-hari, bahkan saat tampil menjadi dosen peserta pelatihan, keduanya sangat kompak. Sama-sama memiliki disiplin yang tinggi, sangat teliti, dan cenderung ingin tampil sempurna.
Rosihan Anwar dan B.M. Diah, dua tokoh pers nasional yang pernah melakukan “perang terbuka” di sebuah surat kabar nasional pada era 1970-an, memperbincangkan sesuatu ideologi. Keduanya menunjukkan kepiawaian menulis yang luar biasa. Peristiwa itu tidak pernah terjadi lagi sampai saat ini. Keduanya dalam berargumentasi tidak pernah membawa masalah-masalah pribadi atau menyerang pribadi, akan tetapi murni pokok-pokok pikiran dari masing-masing melalui tulisan yang begitu mengalir, runut, dan enak dicerna. Kita yang membaca mendapatkan ilmu dari kedua sumber yang berbeda dan berimbang. Perang bintang ini membawa manfaat kepada pembacanya yaitu suatu proses pembelajaran yang luar biasa indahnya dan sampai saat ini belum tertandingi dengan peristiwa lain.
Rosihan Anwar yang bukan hanya jurnalis, tetapi juga historian sejati. Banyak perjalanan jurnalis beliau ke seantero dunia ini beliau tulis menjadi semacam roman sejarah. Akibatnya begitu kita membaca buah tulisan tangannya seolah kita berada di dalam tulisan itu. Kepiawaian seperti ini tidak banyak dijumpai pada penulis sejarah sekalipun. Karya sejarah nusantara yang beliau tulis memiliki kekhasan di sini. Pelaku sejarah seolah berada di hadapan kita dalam melakonkan perannya. Terakhir, walau belum sempat diterbitkan, beliau menulis otobiografi dirinya dalam konteks “percintaan” beliau dengan istri tercintanya.
Beliau juga adalah penggemar “tonil” atau sandiwara, yang sekarang lebih dikenal dengan teater. Penulis skenario ini pun beliau lakoni sampai menjadi penulis skenario film. Di era awal-awal pemunculan film hitam putih di Indonesia, beliau juga ikut menjadi penggagas sekaligus penopang kegiatan perfilman. Dunia berkesenian ini beliau lakoni sampai di usia senja.
Ada sisi lain lagi dari kehidupan Rosihan Anwar, yaitu sekalipun beliau dari kecil sudah terbiasa dengan pendidikan Belanda, Rosihan tetap orang Indonesia, lebih khusus beliau tetap Orang Minang. Kegemaran akan masakan-masakan Minang tetap merupakan gaya hidup beliau. Oleh sebab itu, pada saat kunjungan ke suatu daerah, terlepas dari kapasitasnya, beliau tetap kembali ke rasa Indonesia (baca: Padang). Sebab itu, konon setiap beliau kunjungan ke satu daerah, pertanyaan pertama yang beliau lontarkan ialah di mana ada restoran Minang.
Satu catatan kecil yang dapat kita petik dari tokoh enam zaman ini, yaitu sikap teguh terhadap pendirian, jika pendirian itu dia yakini kebenarannya. Namun, beliau tetap memiliki ambang toleransi yang tinggi terhadap pendirian-pendirian lainnya. Walaupun untuk tetap meneguhkan pendiriannya beliau harus berhadapan dengan moncong senjata, semua itu tetap beliau “jabani”. Ini dapat kita simak dalam perjalanan hidupnya, pada zaman Orde Lama surat kabar yang beliau dirikan harus diberangus Soekarno, demikian juga pada zaman Orde Baru, nasib serupa menimpa beliau.
Namun beliau tetap anak Minang yang cerdik dalam menyiasati hidup dengan moto, “terkurung tapi di luar, terimpit tapi di atas”, menjadikan Rosihan Anwar tetap keluar sebagai pemenang.
Ada kepribadian menarik lainnya, beliau pengagum Soekarno muda, tapi pengkritik habis kebijakan Soekarno tua. Hal ini sangat sulit untuk dicontoh oleh siapa pun. Ya inilah Rosihan Anwar, yang terkadang terkesan kontroversial, walaupun sebenarnya itu bagian dari proses kehidupan. Sehingga beliau mampu melihat suatu peristiwa dari berbagai perspektif yang kaya warna.
Dari apa yang telah diperbuat beliau, kita yang tinggal dapat belajar banyak, baik dari segi paradigm berfikir, aliran pemikiran, sampai dengan gaya kehidupan, yang beliau gelar selama melintas dalam orbit kehidupan ini yang mencapai usia di atas 80 tahun. Pandangan kritis yang disampaikan dengan santun sebagai ciri khas budaya melayu, tetap beliau kedepankan dalam segala hal.
Selamat jalan guruku! Selamat jalan pendekarku! Semoga kau menemukan keabadian sempurna di hadapan Sang Khalik. Bagiku, dirimu adalah sumber ilmu, sumber inspirasi, sumber ideologi, dan sumber nilai yang belum ada tandingnya. Paling tidak, sampai saat ini. n
Sudjarwo, Guru Besar FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Senin, 18 April 2011
No comments:
Post a Comment