Pengantar Redaksi
Linda Christanty tentu tidak menyangka catatan harian pemberian kakeknya menjadi titik awal dia memulai dirinya menulis apa saja. Puisi, opini, atau sekadar cerita. Kini Linda dikenal sebagai perempuan penulis negeri ini. Cerpen-cerpen Linda dikenal kuat mengangkat tema sosial politik, persamaan hak, serta membela mereka yang terpinggirkan.
Perempuan yang memimpin kantor berita Aceh Feature Service di Banda Aceh ini telah menetapkan pilihan hidupnya sebagai penulis.
Apa yang membuat Anda menekuni dan cinta dengan dunia menulis?
(Yulianti, Palembang)
Semula saya tidak tahu bagaimana menulis catatan harian. Kakek saya kemudian berkata bahwa di hari dia memberi catatan itu Raja Juan Carlos dan Ratu Sofia dari Spanyol melakukan kunjungan diplomatik mereka yang pertama ke Indonesia dan saya kemudian menulis peristiwa tersebut dalam catatan saya.
Bertahun-tahun kemudian, saya mulai mengirim cerita pendek atau esai saya ke surat kabar dan majalah. Harian Kompas yang pertama kali memublikasikan cerita pendek saya. Waktu itu saya jadi salah satu pemenang lomba cerpen Kompas tahun 1989.
Saya pemenang termuda.
Menulis adalah salah satu cara saya untuk berkomunikasi dan yang paling saya kuasai sampai hari ini sehingga tanpa ini saya seperti orang bisu.
Dalam buku Mbak Linda yang berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh, di dalamnya ada tulisan tentang homoseksual. Mengapa Mbak mau menuliskan isu-isu homoseksual?
(Hartoyo, Jakarta Selatan)
Hartoyo yang baik, homoseksualitas adalah hal yang ilmiah, yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan biologi. Ia menjadi fenomena sosial ketika seseorang dengan genetik tertentu mengekspresikan dirinya melalui perilaku tertentu, yang sesuai kodratnya dan ditakdirkan Tuhan atas ciptaan-Nya.
Jadi menulis tentang kaum homoseksual adalah menulis tentang ilmu pengetahuan dan kebesaran Tuhan, yang sesuai dengan realitas.
Diskriminasi, prasangka, kekerasan, dan pelecehan terhadap kaum homoseksual adalah dampak dari ketidaktahuan masyarakat tentang hal tadi.
Tolong berbagi hal-hal yang tidak mudah Anda jalani dan perjuangan Anda dalam mencapai proses kesuksesan karier Anda?
(Dadang Rachmany, Denpasar)
Menulis adalah hal utama dalam kehidupan saya. Tidak mudah untuk menghasilkan karya yang baik. Tapi, saya terus belajar untuk itu. Membaca, bertukar pikiran dengan teman, bepergian, atau berbicara dengan banyak orang dari berbagai latar belakang telah memperkaya tulisan-tulisan saya.
Mengapa Anda memilih berkarya dan berjuang di Aceh yang citranya dikenal kurang ramah terhadap perempuan aktivis, apalagi berdarah Tionghoa.
(Monica Poppy Darwis, xxxx@ymail.com)
Dear Monica, saya berada di Aceh untuk berbagi ilmu tentang bagaimana membuat liputan dan menulis kepada anak-anak muda Aceh, yang terdiri dari mahasiswa, aktivis HAM dan lingkungan, serta wartawan. Tujuannya, agar mereka punya pilihan masa depan di masa damai.
Kami bekerja sama dengan media lokal di Aceh untuk memublikasikan versi cetak berita-berita kami. Aceh sedang dalam masa transisi demokrasi. Berita-berita yang bias, tanpa verifikasi, dan berdasarkan desas-desus akan berpotensi memicu konflik baru. Jadi saya juga melatih kontributor kami untuk menjalankan prosedur liputan yang benar dan elemen-elemen jurnalisme.
Diskriminasi atau kekerasan terhadap perempuan atas nama apa pun atau diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak boleh dibiarkan terjadi. Saya dan teman-teman di Aceh memperjuangkan keadilan itu melalui tulisan kami.
Saya sangat menyukai feature-feature Mbak Linda. Begitu hidup dan serasa nyata di ranah sesungguhnya. Bagaimana Mbak membangun tradisi menulis yang demikian kuat dan apakah diperlukan mood yang bagus untuk menghasilkan sebuah karya yang baik?
(Adian Saputra, Bandar Lampung)
Menulis dan membaca adalah dua hal yang tak terpisahkan. Orang tidak bisa hanya semata-mata menulis tanpa belajar membuat tulisan yang lebih baik. Novel atau buku yang bagus bisa memberi pengetahuan baru tentang teknik atau tema tertentu. Menonton film, teater, tari, atau musik juga perlu untuk memperluas wawasan.
Ada masanya saya mengalami kebuntuan dalam menulis dan bahkan, bosan, juga frustrasi dengan gaya bertutur saya. Ibarat sarapan, menunya tiap hari sama. Saya kadang mengejek tulisan saya sendiri. Ha-ha-ha....
Bagaimana proses Anda menggabungkan sebuah fakta sejarah di alam sosial politik ke dalam cerita fiksi?
(Darojatun, Bekasi Timur)
Ya, dalam beberapa cerita pendek saya, saya melakukan riset kecil-kecilan. Sebagian lagi, tidak. Tapi, untuk menulis reportase saya harus melakukan riset.
Banyak tulisan Linda yang menggelitik ketika mengangkat kehidupan orang-orang atau kelompok yang pada zamannya merupakan pihak yang ditakdirkan ataupun dikondisikan sebagai minoritas dan tersisihkan. Bagaimana menurut Linda tentang sisi lain realitas kehidupan dari kacamata pandang kekuasaan dan kemewahan.
(Petrus Krisologus, Serpong)
Ketidakadilan atau kesewenang-wenangan atau tindak korupsi yang sering kita saksikan atau kita dengar merupakan sebagian dari praktik kekuasaan.
Saya memilih Aceh sebagai tempat berkarya karena ada banyak hal yang bisa ditulis tentang Aceh. Konflik masa lalu, bencana, hukum agama, kopi Aceh, kue ketan, dan macam-macam lagi. Tulisan-tulisan itu bisa membuat orang belajar untuk tidak mengulangi keburukan-keburukan di masa lalu dan mengetahui apa potensi atau ikatan yang bisa membangun tempat ini.
Apa yang melatarbelakangi Anda mengangkat tema sosial politik dalam karya tulis Anda dan apakah ada korelasi dengan hobi Anda?
(Azis MK, Karawang, Jabar)
Aziz, tema itu ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Perang, teror, diskriminasi, pemogokan, ketidakadilan, bencana, dan banyak lagi terkait dengan itu semua. Kalau menulis bisa dikategorikan sebagai hobi, ya korelasinya tulisan-tulisan saya mengungkapkan hal tadi.
Bagaimana menulis tentang sosial- politik dalam kondisi yang menjemukan seperti sekarang ini?
Ahmad Miftahul Haq, Sidoarjo)
Menulis tentang orang-orang biasa, bukan pejabat atau tokoh politik. Menulis tentang orang-orang ”kecil” kadang bisa mengungkap hal besar.
Mbak, piye to carane mbagi waktu antara koordinasi mengejar deadline berita dengan mengonsep lalu menuliskan cerpen-cerpen yang tiap penggalnya perlu konsentrasi pikiran?
(Kuntjoro Sukardi, Bekasi)
Mas Kuntjoro, saya menulis cerpen kalau ada waktu senggang. Tahun ini saya hanya menulis satu cerpen yang dipublikasikan di surat kabar dan tiga cerpen lain. Sangat sedikit. Mudah-mudahan kelak saya lebih punya banyak waktu untuk menulis fiksi.
Saya senang menulis cerpen. Banyak teman bilang tema tulisan saya sangat ’sedih’ dan ’gelap’. Apakah ini negatif dan salah?
(Greg Subanti, xxxx@mq.edu.au)
Greg yang baik, menulis cerita sedih dan gelap itu tidak salah. Kehidupan ini tidak hanya bahagia dan terang.
Ada cara yang mudah untuk menciptakan tokoh-tokoh dengan jiwa dan kebiasaan yang beragam.
Mbak, saya mau tanya, bagaimana caranya menghasilkan esai hak asasi manusia yang sangat menyentuh sisi sensitif masyarakat seutuhnya?
(Cut Irna Setiawati, Bandung)
Cut Irna yang baik, saya tidak memiliki resep khusus. Tapi, kepekaan itu akan terbangun ketika kita sering bertemu dan berbicara dengan berbagai orang dan mendengar cerita mereka.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan mulai dari ide, judul, dan kerangka cerita mempersiapkan satu cerpen?
(Etha, Jakarta)
Dear Etha, tiap cerpen yang saya tulis berbeda waktu penyelesaiannya. Cerpen ”Ingatan” (dalam kumpulan Rahasia Selma) hanya memerlukan waktu sekitar satu jam. Cerpen Rahasia Selma memerlukan waktu bertahun-tahun. Pasalnya, saya waktu itu baru menulis beberapa alinea dan tiba-tiba tidak bisa melanjutkannya.
Pernahkah mengalami kejenuhan dengan tema sosial politik?
(Sriwahyuni, Tangerang)
Sri, kadang kala saya mengalami kebuntuan dalam menulis dan frustrasi juga. Tapi, ketika hal itu terjadi, saya akan berjalan-jalan, menonton film, atau mendengarkan musik, nanti cahaya gagasan itu akan muncul lagi.
Kebiasaan unik apa yang sering Anda lakukan sehingga membuat Anda ingin menulis cerita sampai selesai? Agatha Christie contohnya sebelum menulis cerita berendam dulu di kamar mandi.
(Hikmat Nugraha, Bandung)
Ha-ha-ha…. Biasanya saya menulis sambil mendengarkan musik. Saya juga tidak bisa melihat kursi atau meja yang bergeser dari posisinya semula atau barang-barang yang tidak pada tempatnya atau taplak meja yang miring atau bunyi tetes air keran di kamar mandi. Seperti Adrian Monk dalam film seri televisi Mr Monk, saya pengidap obsessive compulsive disorder.
Halo Mbak Linda, sebagai seorang aktivis jender dan persamaan hak perempuan, bagaimana Anda melihat perkembangan hak persamaan jender di Aceh. Mengingat beberapa tempat di Provinsi NAD menerapkan kebijakan syariah dengan nuansa Wahabi ortodok yang cenderung bertentangan atau menolak adanya persamaan jender.
(Stan Marsh, xxxx@yahoo.com)
Sejarah Aceh membuktikan, para perempuan memiliki peran penting dalam pemerintahan dan politik. Aceh memiliki sejumlah ratu yang memerintah dengan bijak dan disegani pada masanya, termasuk Sultanah Safiatuddin. Aceh juga memiliki pejuang melawan kolonial Belanda, seperti Tjut Nyak Dien.
Aceh mempunyai panglima perang perempuan yang tak akan terjadi dalam tradisi Wahabi. Pada masa Nabi Muhammad, bahkan bibi Nabi sendiri, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, adalah panglima perang. Putrinya, Fatimah, diabadikan namanya oleh Dinasti Fatimiyah yang kelak mendirikan universitas tertua di dunia, Al Azhar.
Paham atau aliran yang tidak menghargai perempuan dan menolak kesetaraan tentu bertentangan dengan ajaran Islam.
***
Linda Christanty
• Lahir: Pulau Bangka, 18 Maret 1970 • Profesi: Sastrawan dan Wartawan
• Pendidikan: Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI)
• Karier:
- Redaktur Majalah Pantau (2000-2003)
- Menulis drama radio bertema transformasi konflik untuk Common Ground Indonesia (2003-2005)
- Pemimpin Redaksi Kantor Berita Aceh Feature Service di Banda Aceh (2005-sekarang)
• Publikasi (antara lain):
- ”Kuda Terbang Maria Pinto”, Kumpulan cerpen (2004)
- ”Pohon Kersen”, cerpen (2006)
- ”Dari Jawa Menuju Atjeh”, kumpulan tulisan tentang politik, Islam, dan gay (2008)
- Rahasia Selma, kumpulan cerpen (2010)
• Penghargaan:
- Cerpen ”Daun-daun Kering” memenangkan lomba menulis cerpen Kompas (1989)
- Tulisan berjudul ”Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste” meraih penghargaan esai terbaik hak asasi manusia (1998)
- Kumpulan cerita pendek ”Kuda Terbang Maria Pinto” memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2004)
- Suara Perempuan Award versi Radio Komunitas Suara Perempuan Aceh (2010)
- Penghargaan Anugerah Sastra Khatulistiwa untuk kategori prosa dengan karya berjudul Rahasia Selma (2010)
Sumber: Kompas, Selasa, 30 November 2010
No comments:
Post a Comment