-- H Witdarmono
AWAL abad XX ditandai oleh perang Rusia melawan Jepang (1904-1905). Rusia kalah pada pertempuran laut di Selat Tsushima 27-28 Mei 1905.
Geoffrey Jukes, penulis The Russo-Japanese War 1904-1905, mengatakan, penentu hasil perang itu bukanlah teknologi, tetapi tingkat literasi.
Hanya 20 persen personel militer Rusia bisa ”membaca dan menulis”. Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan modern (saat itu) dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman. Serangan Rusia sering salah sasaran karena salah membaca peta dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi.
Sebaliknya, hampir semua tentara Jepang tahu ”membaca dan menulis”. Mereka mahir menggunakan persenjataan militer modern dan memanfaatkan infrastruktur intelijen militer secara benar. Jepang bahkan sudah memodifikasi sistem telegraf nirkabel dari Jerman.
Perang kerajaan Spanyol dan Inggris yang berakhir di Pantai Gravelines, Perancis, Agustus 1588, dimenangi oleh armada Inggris. Dalam bukunya, The Achieving Society (1961), David McClelland menulis, Inggris menang karena memiliki need for achievement (kebutuhan meraih keberhasilan) lebih tinggi daripada armada Spanyol. Salah satu penentu n-achievement (n-Ach) adalah corak sastra rakyat.
Saat tingkat perekonomian Spanyol dan Inggris berada di puncak (tahun 1560-an), corak sastra rakyat Inggris tetap penuh kisah petualangan dan perjuangan. Namun, sastra rakyat Spanyol bergelimang kisah kemewahan dan hiburan. McClelland menyimpulkan, kisah perjuangan dan petualangan lebih mengembangkan tingkat n-Ach rakyat (McClelland, 1961, 1965).
Literasi
Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.
Kemampuan tentara Jepang memahami handbook peralatan perang, membaca peta, mendalami strategi, dan memodifikasi sistem telegraf nirkabel adalah gambaran literasi fungsional.
Konsep maupun praksis literasi fungsional baru dikembangkan pada dasawarsa 1960-an (Sofia Valdivielso Gomez, 2008). Literasi dipahami sebagai ”seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah” (A Campbell, I Kirsch, A Kolstad, 1992). Melalui pemahaman ini, literasi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).
Ekologi media
Meminjam terminologi Neil Postman, ekologi media di Inggris abad XVI menjadi faktor penentu tingginya tingkat n-Ach rakyat negeri itu. Postman menggambarkan ekologi media sebagai lingkungan informasi, yang mengarahkan munculnya berbagai jenis gagasan, sikap sosial, serta kemampuan intelektual tertentu (Postman, 1979).
Seberapa jauh pengaruh interaksi manusia dengan media untuk menunjang hidupnya? Menurut Postman, sistem pesan yang kompleks dari media ikut menentukan cara berpikir, perasaan, serta tingkah laku manusia (Postman, ”Reformed”, 1970).
Dari pemikiran ini, tingkat n-Ach tinggi dari masyarakat Inggris abad XVI merupakan hasil dari ekologi media yang dibangun oleh sastra rakyat waktu itu. Penelitian McClelland memperlihatkan bahwa diperlukan minimal 20 tahun untuk menggulirkan udara pesan perjuangan sehingga masyarakat menghirupnya (bdk McClelland, 101-102). Artinya, corak bacaan rakyat— atau ekologi media—baru berdampak 20 tahun kemudian.
Literasi Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Dua alat ukur internasional, Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) maupun Programme for International Student Assessment (PISA) memperlihatkan tingkat literasi anak-anak Indonesia usia 9-15 tahun sangat rendah.
PIRLS 2001 dan PIRLS 2006 mencatat bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat lima terbawah.
Tiga penelitian terakhir dari PISA (2000, 2003, 2006) menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia usia 15 tahun—usia akhir wajib belajar 9 tahun—dalam tiga macam literasi, yaitu kemampuan membaca (reading literacy), kemampuan menerapkan matematika untuk kehidupan praktis (mathematical literacy), serta kemampuan memakai sains dalam keterampilan hidup sehari-hari (scientific literacy), berada pada level 1. Ini berarti, anak-anak itu baru mampu menangkap satu dua tema dari sebuah bacaan dan belum bisa memakai teks bacaan untuk kepentingan yang lebih dalam, mengembangkan pengetahuan atau mengasah keterampilan.
Literasi Malaysia
Dalam 100 universitas terbaik di Asia 2010, Universitas Indonesia menduduki peringkat ke-50 dan Universitas Gadjah Mada ke-85. Namun, kita kalah dari Malaysia yang menempatkan lima universitas, yaitu Universiti Malaya (42), Universiti Kebangsaan Malaysia (58), Universiti Sains Malaysia (69), Universiti Putra Malaysia (77), dan Universiti Teknologi Malaysia (82).
Kualitas universitas di Malaysia sangat terkait dengan program Pemerintah Malaysia sejak 1996, yaitu bahwa tahun 2020 semua warga Malaysia sudah melek informasi (information literate) dan telah memiliki sarana lengkap untuk menjadi pekerja bermodal pengetahuan (knowledge workers). Didirikanlah perpustakaan dan pusat informasi publik di sekolah dan tempat umum. Para guru dan murid sekolah mendapat prioritas utama agar melek informasi, tahap lanjut dari reading literacy. Mereka dilatih mengakses, memanfaatkan, dan mengembangkan informasi dari buku, kamus, ensiklopedia, atau internet agar kreatif dan inovatif.
Demi bonum commune masyarakat Malaysia, ekologi media dikelola dengan regulasi yang transparan (MAM Sani, IL Twombly, R Omar, 2005). Dampaknya, energi kreativitas media tidak dihabiskan untuk hiburan dan kisah kemewahan, tetapi lebih untuk bonum commune nasional. Salah satu hasilnya adalah seri TV Upin&Ipin (2007), produk ekologi media yang ikut mengatur pola pikir dan cara bersikap anak-anak Indonesia.
Indonesia akan sulit memenangi perang melalui literasi tanpa meninjau ulang paradigma pengembangan literasi sistem pendidikannya. Yang tidak kalah penting adalah mengelola kembali ekologi media dengan ukuran bonum commune masyarakat Indonesia yang harus maju. Pencemaran polusi media, khususnya isi entertainment yang mengacaukan jati diri dan nalar, patut ditangani segera dengan kode etik dan etika.
H Witdarmono, Wartawan, Penerbit Koran Anak BERANI, Jakarta
Sumber: Kompas, Selasa, 23 November 2010
No comments:
Post a Comment