-- Jamaludin Wiartakusumah
SELAIN mengayuh, menikmati desainnya merupakan hal yang menyenangkan tentang sepeda. Buku ini bercerita mengenai sepeda dengan fokus pada masalah desain, termasuk paparan mengenai proses membuat desain sepeda serta kiat bagaimana membuat desain sepeda yang baik.
Bicara sepeda tentu harus juga menyinggung perjalanan sejarahnya yang sudah dua abad menjadi alat perjalanan manusia. Sejarah sepeda dalam buku ini dibahas semenjak perkembangan desain sepeda, mulai dari bentuk awal yang serba kayu, diciptakan Karl Drais di Jerman pada 1817 yang belum menggunakan pedal. Saat itu, untuk melaju, pengendara menjejakkan kakinya pada tanah agar roda bergerak.
Sepeda dengan pengayuh yang dipasang pada as roda depan mulai muncul pada 1839 lewat karya MacMillan dari Skotlandia dan Michaux dari Perancis 1860. Nama awal untuk alat transportasi tenaga manusia ini, saat itu adalah velocipede dan di kita lalu menjadi sepeda. Pada 1870 muncul sepeda Ariel dengan ciri khas ukuran roda depan jauh lebih besar dari roda belakang. Ban sepeda juga mengalami evolusi. Adalah Dunlop yang pertama menciptakan ban diisi angin. Kemudian berbagai desain sepeda mutakhir di Eropa, Amerika, dan Jepang termasuk sepeda lipat, dan untuk penggunaan khas seperti BMX (Bicycle Motocross).
Untuk melacak kapan sepeda mulai ada dan populer di Indonesia, seperti banyak hal lainnya, tentulah harus menengok ke masa kolonial Belanda. Dari foto zadul di Kota Bandung misalnya, tampak sepeda—umumnya buatan Inggris dan Belanda—banyak dipakai di jalan raya oleh londo dengan pakaian dinasnya dan pribumi. Sebuah potret keriangan yang bersahaja khas awal kemerdekaan ditampilkan pada bab ”Sepeda di Indonesia”, yaitu gambar presiden pertama dan proklamator RI, Ir Soekarno, tengah membonceng Ibu Fatmawati tahun 1947 dengan latar belakang hamparan sawah (hal 39).
Desain fungsional
Desain sepeda dikategorisasi berdasarkan medan dan pemakai. Paling tidak kita mengenal sepeda gunung (MTB) untuk bertualang di medan off road dengan ciri setang lurus, rangka yang kekar dan ban tebal; sepeda jalan raya atau sepeda balap yang serba ramping dengan ciri utama setang yang melengkung; sepeda perkotaan atau yang sepeda kumbang, jenis sepeda untuk transportasi sehari-hari di jalan datar; sepeda hibrid, yaitu sepeda dengan desain campuran antara dua atau lebih kategori dan sepeda anak yang populer disebut sepeda mini.
Ciri sepeda anak terutama ukurannya yang kecil sesuai anatomi anak, tetapi dengan ukuran rangka besar untuk mengantisipasi cara anak memperlakukan sepeda. Di luar kategori standar di atas, kita juga mengenal sepeda komersial yang dikenal dengan ”ojek sepeda”. Di pelosok, sepeda ontel banyak dipakai membawa barang dengan tambahan wadah di kiri kanan bagasi. Buku ini disertai pengamatan sepintas terhadap aspek ekonomi seperti penggunaan sepeda sebagai sarana jualan dan fenomena modifikasi sepeda.
Buku ini dilengkapi dokumentasi finalis dari lomba desain sepeda skala nasional, Asia, dan internasional pada 2005, 2006, 2007, dan 2008, yang diselenggarakan di Indonesia. Setiap lomba disertai tema sebagai panduan peserta untuk membuat desain. Tema pada lomba 2006 adalah gaya hidup masa depan. Juaranya adalah desain sepeda CO karya Bismo Joyodiharjo (hal 229-238). Sepeda dengan tambahan ekor melengkung ke atas-depan berbentuk huruf C dan setang berbentuk O.
Tema pada 2007, desain sepeda dan interaksi manusia menghasilkan juara I desain Amoebike (hal 262, 271-277), karya Rian Satya Wijaya. Sepeda ini dapat dibagi dua, sepeda dan otoped, sehingga dapat mengajak orang lain untuk berkendara bersama. Salah satu finalisnya adalah sepeda Piqniq karya Andi Abdulqodir, bagian belakang sepeda ini dapat diurai menjadi sepasang kursi dan tempat payung.
Tema lomba 2008 adalah desain sepeda dan gaya hidup. Finalis I, My E-bike, karya Yuniardi Wibowo, berupa sepeda beratap dan ambalan untuk laptop di dekat setang. Finalis lain adalah Troika karya Peppy Megawati, yaitu desain sepeda dengan bagian belakang yang dilengkapi troli belanja beroda. Juara I adalah Boo-boo karya Rian Satya Wijaya, berupa desain sepeda anak yang dapat dibongkar pasang dan bagian-bagiannya disimpan di dalam roda belakang yang seperti tambur.
Desainer muda
Setiap kali lomba, beragam desain sepeda muncul dengan keunikan dan kebaruan masing-masing. Dari lomba ini tampak potensi desainer muda Indonesia yang kaya gagasan dan imajinasi. Barangkali dari kegiatan lomba inilah muncul judul buku ini. Bahwa sepeda tidak hanya untuk dikendarai semata, tapi sebagai media desain untuk memotret zaman dan gaya hidupnya. Selain faktor desain, industri melihat sepeda dari sudut ekonomi sehingga tidak seluruh desain finalis lomba diproduksi.
Ada harapan bahwa industri sepeda, juga industri Indonesia umumnya, tidak lagi hanya sebagai tukang maklon, yaitu hanya memproduksi pesanan dari pemegang merek di luar negeri. Sekarang, setelah berani membuat merek sendiri, dimungkinkan memproduksi sepeda dengan desain sendiri. Potensi untuk itu sangat mendukung, antara lain karena sekolah desain dan alumninya sudah mulai banyak dan selera masyarakat sudah mulai terbangun hingga sepeda tidak lagi dipandang sebagai alat transportasi semata, tetapi juga ekspresi gaya hidup.
Buku tentang sepeda dari sudut pandang desain yang ditulis orang Indonesia ini bisa melengkapi kecintaan pada salah satu alat transportasi manusia yang paling berharga ini dan menambah khazanah buku desain lokal sejenis yang masih terbilang langka.
Jamaludin Wiartakusumah, Dosen Desain Itenas Bandung
Sumber: Kompas, Minggu, 7 November 2010
No comments:
Post a Comment