-- Asvi Warman Adam
WALAUPUN belum diketahui makamnya, Tan Malaka telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno tanggal 28 Maret 1963.
Setelah 46 tahun baru dilakukan penggalian di Desa Selopanggung, Kediri, tanggal 12 November 2009. Lokasi itu ditemukan setelah penelitian selama bertahun-tahun oleh sejarawan Harry Poeze, membantah situs sebelumnya yang dikabarkan di pinggir Kali Brantas.
Rencana semula kesimpulan akan diperoleh dua-tiga minggu sesudah penggalian menjadi berlarut-larut karena kesulitan mendapat hasil DNA di Jakarta. Sampel itu kemudian dibawa ke Australia, Korea Selatan, dan China. Pemeriksaan Y–Short Tandem Repeats (Y-STR) terhadap sampel gigi dan tulang atap tengkorak tidak berhasil karena pengaruh lingkungan yang lembah dan basah di sekitar kerangka yang terkubur di daerah aliran sungai.
Namun, identifikasi yang dilakukan dua dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja dan Evi Untoro serta dokter gigi Nurtamy Soedarsono (ahli odontologi forensik) telah membuktikan kecocokan kerangka jenazah itu dengan Tan Malaka dalam hal jenis kelamin (laki-laki), ras (Mongoloid), tinggi badan (163-165 cm), dan lengan tersilang ke belakang. Menurut keterangan, Tan Malaka ditembak dalam keadaan tangan terikat ke belakang.
Menurut Harry Poeze, dengan kondisi ini sebetulnya sudah terbukti 90 persen jenazah tersebut adalah Tan Malaka, karena berdasarkan keterangan berbagai saksi lokasinya memang di situ.
Bukan yang pertama
Penggalian makam tokoh nasional ini bukan yang pertama. Tahun 1975 telah dilakukan penggalian makam pejuang Peta, Supriyadi, di Banten. Secara forensik terdapat ketidakcocokan kerangka jenazah itu dengan ciri-ciri yang disebutkan keluarga, walaupun Supriyadi tetap diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun tersebut.
Kasus kedua yang menyangkut Oto Iskandar di Nata lebih unik. Oto dibunuh oleh segerombolan pemuda, Desember 1945, dan jenazahnya dibuang ke pantai Mauk, Tangerang. Baru tahun 1959 perkara ini disidangkan di pengadilan. Tahun 1973 Oto diangkat sebagai pahlawan nasional. Pemerintah Daerah Jawa Barat kemudian mengambil pasir di pantai Mauk dan membungkus dengan kain kafan serta memakamkannya secara simbolik di Lembang.
Jadi, keotentikan jenazah Tan Malaka lebih kuat dari dua kasus pahlawan nasional terdahulu. Oleh sebab itu, Kementerian Sosial kiranya tidak ragu lagi memindahkan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata karena anggaran untuk makam seorang pahlawan nasional tersebut memang ada di kementerian ini. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Pasal 33 Ayat 6), pemegang gelar pahlawan nasional berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama.
Sebetulnya ada tiga pilihan, yakni tetap di Kediri, dibawa ke kampung halamannya, atau disemayamkan di TMP Kalibata. Pihak keluarga kandung tampaknya lebih memilih opsi terakhir, karena ini sekaligus merupakan pengakuan pemerintah terhadap kepahlawanan Tan Malaka selama ini. Meskipun diangkat sebagai pahlawan nasional pada era Soekarno dan gelar itu tidak pernah dicabut, sepanjang 30 tahun pemerintahan Soeharto nama Tan Malaka dihapus dalam pelajaran sejarah di sekolah.
Sebagai tambahan saja, Taman Makam Pahlawan Kalibata terletak dekat Rawajati, Jakarta, tempat tinggal Tan Malaka selama menulis bukunya yang monumental, Madilog. Di Kediri, pada situs tempat ditemukan jenazah sebaiknya dibangun sebuah monumen yang dapat dijadikan obyek wisata sejarah ”Di sini pernah dimakamkan Tan Malaka, pahlawan nasional”.
Sementara itu, di kampung kelahirannya di Sumatera Barat didirikan museum Tan Malaka. Momentum Hari Pahlawan 10 November 2010 ini sebetulnya sangat tepat bagi Kementerian Sosial untuk ”merehabilitasi kepahlawanan Tan Malaka” yang telah mereka jadikan off the record selama Orde Baru.
Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI; Penasihat Penggalian Makam Tan Malaka
Sumber: Lampung Post, Rabu, 10 November 2010
No comments:
Post a Comment