-- Rosihan Anwar
RAJA Banda tidak resmi itu sudah tak ada lagi. Subuh, Jumat, 12 November 2010, seorang diri di kamar tidurnya di rumah di daerah Permata Hijau dia diam-diam berangkat menghadap Al Khalik. Putrinya, Tanyia, mendapatkan dia tiada lagi bernapas.
Pukul sembilan pagi saya tatap wajahnya yang memancarkan kedamaian. Terbaring di ranjang sederhana. Belum sempat dibenahi jenazahnya. Terakhir bertemu dengan dia di rumah saya tanggal 5 September 2010 pada hari meninggalnya istri saya, Ida Sanawi (1923-2010).
Dia sahabat sangat dekat dengan Ida yang kini disusulnya. Dia adalah Des Alwi (17 November 1927-12 November 2010) yang beberapa hari sebelum tutup usia meninggalkan amanah, bila meninggal bawa dia ke Banda Neira.
”Raja Banda” meminta supaya dikuburkan di Banda walaupun berhak dimakamkan di Kalibata sebagai pemegang anugerah Bintang Mahaputra.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad telah datang ke kamar tempat Des masih dibaringkan, berunding dengan pihak keluarga mengenai pengangkutan jenazah dengan pesawat terbang ke Banda dan pemakaman ”Raja Banda” atas tanggungan negara. Fadel segera akan melaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Des Alwi telah memahami operasi bedah jantung di Jakarta. Keadaan jantungnya membaik, penyakit ginjalnya yang sedang dirawat dapat diatasi, tapi paru-parunya belum bekerja bagus. Karena menganggap dirinya sudah cukup pulih, Des minta pulang saja. Akhirnya ajalnya sampai juga. Dari Tuhan kita berasal, kepada Tuhan kita kembali.
Anak angkat Hatta-Sjahrir
Riwayat hidup Des Alwi telah banyak diceritakannya sendiri dalam pelbagai buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Dalam kolom singkat obituari ini tidak akan dirinci sejarah Des Alwi. Saya hanya akan melukiskan selayang pandang arti tokoh yang unik ini.
Sebagai bocah belum genap berusia 10 tahun, Des bertemu di kade pelabuhan Banda dengan dua orang tahanan politik yang baru tiba dari Boven Digul, yaitu Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Mereka bertanya apakah Des tahu kediaman Dr Tjipto Mangunkusumo yang dibuang oleh Belanda ke Banda Neira dari 1930 hingga 1941.
Des menjawab tahu, juga tahu rumah Mr Iwa Kusuma Sumantri, tahanan politik yang lain. Semenjak 11 Februari 1936 itu kehidupan Des Alwi berubah sama sekali dan dia mencapai hal-hal yang tidak termimpikan sebelumnya.
Des memperoleh kesempatan pendidikan lebih bagus, diajar di sekolah privat yang dipimpin oleh Hatta dan Sjahrir. Des dan adik-adik perempuannya belajar bahasa Belanda yang lebih mantap. Des melalui proses osmosis menyerap pengetahuan politik, menjadi sadar akan perjuangan nasionalis untuk mencapai Indonesia merdeka.
Di Zaman pendudukan Jepang, Des Tinggal di Jakarta, selalu bagaikan di bawah sayap perlindungan Hatta dan Sjahrir.
Yang satu membayar uang sekolah Des, yang lain menyediakan pemondokan bagi Des bersama adik perempuannya.
Des dikenal sebagai ”anak angkat” Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Kendati tidak mengikuti pendidikan secara formal, Des belajar banyak. Dia mendengar orang berdiskusi. Melihat orang melakukan aksi politik ”di bawah tanah” menentang Jepang.
Dan pada saat tiba revolusi dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Des, walau masih remaja, siap turut berjuang mempertahankan Merah Putih, Indonesia raya, dan Pancasila.
Des kemudian dapat kesempatan belajar di Inggris mengikuti pendidikan teknik. Di London, dia berkenalan dengan mahasiswa Melayu seperti Tunku Abdul Rahman dan Tun Abdul Razak, yang kelak jadi PM Malaysia.
Kembali ke Indonesia dia bekerja di Kementerian Luar Negeri. Dia menikah dengan Ann, gadis Manado. Dia jadi diplomat sebagai Atase Penerangan RI di Swiss dan Manila. Dia bergabung dengan gerakan PRRI-Permesta karena tidak bisa menyetujui politik Nasakom Presiden Soekarno. Dia muncul sebagai perantara untuk menghentikan aksi ganyang Malaysia yang dirintis diam-diam oleh Jenderal Soeharto.
Terjun ke bisnis
Soekarno jatuh. Des Alwi bisa balik ke Tanah Air sebagai orang bermartabat. Dia menceburkan diri dalam bisnis. Meskipun tidak kaya raya seperti taipan dari konglomerat, Des Alwi bertekad dengan modal sendiri membangun Banda Neira, menciptakan aktivitas ekonomi yang lebih menguntungkan seperti pariwisata, mengingat Banda Neira kaya dengan kecantikan lingkungan dan keajaiban terumbu di dasar.
Des Alwi punya satu modal sangat berharga. Dia pandai bergurau dengan orang, dia pribadi menyenangkan, walaupun tidak belajar khusus dia adalah empu humas atau master PR yang sangat baik. Karena itu dia berhasil meletakkan Banda Neira di peta bumi pariwisata dunia.
Tokoh-tokoh seleb seperti Pangeran Bernard dari Nederland, Princess of Wales, dan lain-lain datang berlibur ke Banda, yang kini berkat usaha Des tercatat sebagai destinasi turis. Des punya hobi membeli film-film dokumenter tentang perjuangan Indonesia di zaman revolusi dari berbagai sumber di dalam maupun di luar negeri.
Koleksinya banyak dan merupakan harta budaya yang tidak kecil artinya bagi pembelajaran sejarah dan mendidik generasi muda untuk menghayati nilai-nilai perjuangan dan idealisme bangsa Indonesia.
Sebagai manusia biasa, Des Alwi tentu pula ada kelemahan dan kekurangannya. Tapi dalam satu hal dia bertaat asas dan konsisten. Dia menciptakan agar bangsa dan negara kita ini dibina oleh para pemimpinnya dengan semangat ketulusan dan keadilan, bebas dari feodalisme dan totaliteris dengan sikap betul-betul merakyat dan tidak satu saat pun melupakan kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani serta rohani segenap penduduknya.
Rosihan Anwar, Wartawan Senior
Sumber: Kompas, Sabtu, 13 November 2010
No comments:
Post a Comment