Sunday, November 28, 2010

Teater tanpa Kemarahan

-- Taufik Darwis

LASKAR Panggung adalah salah satu kelompok teater yang cukup tua dan produktif di Bandung yang baru saja berulang tahun ke-15. Sejak berdiri pada 20 November 1995, sudah mementaskan lebih dari 400 repertoar. Dua hari setelah ulang tahunnya, di CCF Bandung, kelompok ini menambah jumlah kuantitas produksinya dengan mementaskan naskah "Dari WAK Menuju TU" versi ke-5 karya dan sutradara Yusef Muldiyana. Usaha pemversian "Dari WAK Menuju TU" ini yang bertepatan dengan ulang tahun kelima belasnya menandai proses pencarian artistik Laskar Panggung yang didominasi kerja dan karya Yusef Muldiyana.

SALAH satuadegan dalam lakon "Dari WAK Menuju TU" karya/sutradara Yusef Muldiyana produksi Laskar Panggung Bandung yang dipentaskan di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung, Senin (22/11).* AGUS BEBENG

Auditorium CCF yang tidak begitu luas itu dimanfaatkan dengan mendirikan enam panggung mini Luki Lukman (sekitar 4 x 3 - 3x3 meter) dari beberapa level dibalut kain putih, yang didirikan di setiap sisi ruangan, salah satu diletakan di sudut rungan, tempat di mana aktor-aktor mempersiapkan perannya. Ini membuat penonton diharuskan duduk di lantai yang tidak didirikan panggung. "Dari WAK Menuju TU" pun dimulai olek musik Yayan Katho yang bergaya balada tetapi dengan lirik yang biasa diucapkan prapertunjukan oleh MC, "Para penonton sekalian lakon akan dimulai, HP harap dimatikan atau tanda getar saja. Mau motret boleh saja, asal jangan memakai blitz. Kalau motret memakai blitz nanti silau, silau, nanti silau, silau, silau, silau, nanti silau."

Para aktor di pangung sudut bernyanyi serempak. Mereka menyebut-nyebut Sulastri (Orhien Rina) yang sedang membaca Alquran di panggung lain, sebagai mualaf yang taat beribadah (mungkin Sulastri juga mualaf yang begitu cepat tanggap belajar membaca dan melantunkan ayat-ayat Alquran, dan mungkin sempat masuk nominasi kompetisi MTQ karena sebagai mualaf, Sulastri begitu pandai mengaji). Di tengah penonton Raja Bela (Deddy Koral) si pemabuk, penjudi memanggil-manggil Sulastri agar segera membukakan pintu, serentak lampu yang disorotkan dari ruang operator oleh penataan Aji Sangiaji. Tempat duduk penonton menjadi panggung juga. Sulastri tidak merespons teriakan Rajabela karena sedang mengaji. Keributan Rajabela terhenti karena Sulastri mengatakan bahwa pintunya tidak dikunci, penonton tertawa. Inilah ketajaman Yusef yang merangkai keributan rumah tangga yang familiar dengan guyonan-guyonan hangat. Kedua-duanya (Rajabela dan Sulastri) melangkah ke panggung yang didirikan di tengah, panggung yang lebih besar dari lima panggung lainya. Rajabela muntah-muntah tetapi Sulastri berkata, "Saya iri Mas, saya iri dengan Mas. Seharusnya saya yang muntah-muntah." Penonton tertawa.

Sulastri meminta cerai karena tidak lagi tahan dengan semua kelakuan buruk Rajabela. Lampu padam semua aktor dan pemusik pun dua orang anak kecil bernyanyi dengan Yayan Katho: "Sulastri dan Rajabela kini sedang berjalan di kota mereka berdua pesta, menuju kantor urusan agama. Sulastri dan Rajabela resmi bercerai tetapi belum talak 3." Sekarang Rajabela bekerja sebagai Satpol PP. Perubahan ditandai dengan paduan nyanyian dengan konfigurasi gerak yang berbunyi arahan Roesly Kelleng, "Setelah berpisah dengan Sulastri Rajabela cari kerja sana sini, berbulan lamanya tak ada lowongan lama-lama nasib baik datang juga.

Kini Rajabela telah menjadi karyawan, kini Rajabela telah memakai seragam Rajabela kini telah jadi Satpol PP." Rajabela yang Satpol PP itu ternyata ingin menikahi Da Silva yang seorang aktivis kemanusian. Akan tetapi Da Silva yang berada di panggung yang didirikan di belakang pemusik menolak, karena Satpol PP itu kasar-kasar.

Ternyata adegan-adegan dibuat Yusef agar berbagi panggung. Panggung di belakang pemusik adalah panggung Bi Rasmi dan Da silva yang diperankan oleh satu orang aktor (Jean Marlon) dengan pembedaan karakteristik diksi Ambon dan bahasa Bi Rasmi yang mengurus anak Dasilva (Cecillia), seperti apa yang dikatakan Bi Rasmi ketika Aanak Dasilva mencari ibunya, "Kalau Bi Rasmi ada, berarti Da Silva tidak ada. Yusef pada adegan ini mencoba lebih mengeksplisitkan aktor agar lebih telanjang, menumbangkan relasi ketubuhan antara aktor dengan kedua peran yang harus dimainkannya.

Di panggung di dekat pintu exit tampak Rahmat Berlian (Kemal Ferdiansyah) sedang melukis. Dia adalah suami yang syah bagi Da Silva. Dengan lukisannya ia mempunyai mimpi mulia untuk membuat komplek pemakaman bagi para seniman lengkap dengan upacara perayaannya yang khas seniman. Kalau pemakaman militer menggunakan pistol, upacara pemakaman seniman perlulah ada pertunjukan rampak kendang atau tarian. Akan tetapi Da Silva menolak karena dia juga menginginkan harta dari penjualan lukisan suaminya. Akhirnya Da Silva meminta cerai. Adegan ini mungkin sebuah medan permainan teks belaka, tetapi bisa juga memiliki kemungkinan lebih jauh sebagai orientasi untuk mengganggu kebudayaan tertentu. Dalam konteks lakon ini adalah militer oleh kebudayaan seniman, satu sikap pembudayaan manusia Yusef kepada seniman lain. Usaha memberi ruang pengakuan bagi penonontonnya.

Rahmat Berlian tertegun, dia putus cinta. Dia jadinya melirik Neng Misda (Sakila Cheqil) yang ternyata menolaknya. Datanglah si Janggo (Indrawan Babil) si demonstran, bertamu ke rumah Neng Misda. Akan tetapi secara tubuh peristiwa bertamu ini tidak dipertemukan, Yusef ingin menghadirkan pengalaman menonton bulu tangkis. Janggo diposisikan di panggung yang pernah dipakai oleh adegan Bi Rasmi dan Da Silva, dengan dua buah kursi diposisikan percis seperti di panggung Neng Misda. Empat orang ronda ke adegan (May, John, Obos, Untung) mereka berkali-kali memainkan kalimat yang diucapkan secara duplikatif, tempat, benda, bunyi, dan ingatan dimain-mainkan oleh tubuhnya yang sengaja dijauhkan dengan relasi kemenjadian dan makna. Janggo dan Neng Misda bergantian berbicara dengan ungkap gestural kepada kursi dan tubuh imajinasi mereka, juga pada kulkas yang tadinya adalah ronda dan anatomi pintu yang berubah melalui fragmentasi dialog verbal, tidak dipresentasikan oleh laku gerak transformatif.

Janggo di terminal. Duduk di sampingnya Mimi (Ria Ellsya Mifelsa), saudari Sulastri, seorang gagu. Janggo menanyakan asal Mimi dari mana. Mimi menjawab dengan menunjukan tangannya bahwa hari sedang hujan dan mengeluarkan satu batang lilin dari tasnya. Janggo menyimpulkan dan Mimi membenarkan yang dimaksudnya bahwa apa yang dikatakannya adalah kata Cililin. Di adegan ini Yusef menegaskan kembali teaternya yang ingin melepaskan dari makna dan mengeksplorasi efek dari repetisi aksi dan permainan bahasa.

Identias urban adalah identitas tumpang-tindih. Kini Sulastri hadir di panggung dengan jalan sempoyongan, botol bir di tangan, listik yang berantakan di bibirnya dan menggunakan pakaian mini. Melalui Mimi, Yusef menyusupkan pengalaman publik infotainment, berita Marshanda yang meluapkan tumpukan kesadarannya di situs internet. Sulastri menyatakan, "Eh Masrhanda. Emangnya elo saja yang bisa stres". Sulastri memutuskan mengakhiri hidupnya dengan mengguratkan cutter ke tangannya. Dua aktor (John dan Untung) dari panggung sudut mereka menuju panggung tengah dengan gestikulasi tubuh yang besar dan syair tajam sekaligus humoristik, karena tetap saja dibawakan secara main-main. Mereka akan mencabut nyawa Sulastri dan nyawa penduduk korban Gunung Merapi. Setelah menyelesaikan tugasnya kepada Sulastri, dia (John) berbicara ke telefon genggamnya, "Siap Bos! Ke Merapi Ya! Cing cai lah." Tidak ada adegan tragis dan transenden dalam teater Yusef. Rajabela datang memanggil Sulastri tetapi dengan vokalisasi yang lebih halus. Rajabela yang dulu amoral, kini dengan niat yang sungguh kembali sebagai ustaz. Akan tetapi, tidak ada air mata di tubuh Rajabela ketika melihat Sulastri meninggal dunia. Dia melakukan salat jenazah di panggung tengah dengan dikelilingi tokoh-tokoh lakon lain yang mengikatkan tali pocong di kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba Sulastri terbangun dan dia mengatakan, "Bang...buka pintunya bang..." Efek apakah yang dihasilkan dari akhir pertunjukan seperti ini?

Teater Laskar Panggung Yusef adalah teater ludik. Sebagai tontonan yang bersifat renggang, kekuatan pengucapan dan penajaman estetiknya ada pada kekuatan hal yang remeh temeh, yang nirmakna, melalui diskontinuitas dan jeda dalam proses presentasi. Ini justru dominan ditunjukkan oleh adegan-adegan Sulastri dan Rajabela ketika tidak dihadirkan di atas panggung. Adegan-adegan dipintal oleh aksi gestural dan transitif yang menghasilkan peristiwa di panggung tampak musikal. Yusef tidak memerlukan bunyi sound scape dan surround pada teaternya, sebagai pengimbangnya Yusef membawa musik Yayan Katho yang lebih naratif. Ini menjelaskan bahwa pertunjukan ini tidak diarahkan untuk menjadi teater perlawanan yang bermarah-marah kepada ideologi tertentu. "Dari WAK Menuju TU" adalah waktu yang melingkar. Waktu manusia yang ditakdirkan untuk mengalami kegagalan dan kemenangan berkali-kali. Yusef menekankan ini dengan musik Yayan Katho di akhir adegan, "Hidup hanya semacam impian yang mengapung di atas air pasang. Kemana kita harus melangkah, mengikuti arus sungai dalam. Hidup semacam impian. Mati bangun dari impian."***

Taufik Darwis, mahasiswa teater STSI Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010

2 comments:

acehdigest.blogspot.com said...

infonya sangat menarik.

acehdigest.blogspot.com said...

gaya tulisannya seru