-- Putu Fajar Arcana
APA yang bisa dikerjakan dalam bilik 6 x 7 meter? Di tangan perupa seperti Sunaryo bilik itu bisa lahir menjadi karya instalasi tentang pohon-pohon yang merintih dan bumi yang bergejolak lalu meruapkan bencana.
Istimewanya, karya instalasi bertajuk ”Titik Bumiku” itu dipamerkan 18-21 November 2010 dalam Design.ID 2010, sebuah pameran interior internasional di Jakarta Convention Center, yang jelas-jelas berorientasi dagang. Dalam ajang itu Sunaryo seperti berada di tengah pasar, yang riuh oleh transaksi. Ia berani menyeberangi kebiasaan dalam pameran dagang dengan senjata etika kesenian.
”Saya coba mengajak mereka membuat stan yang tidak harus berorientasi transaksi seketika,” ujar Sunaryo. Dalam mewujudkan karya ini, perupa kelahiran Banyumas ini bekerja sama dengan sebuah produsen keramik mewah. ”Saya bersedia dengan syarat, tidak ada transaksi dan pameran produksi keramik. Ternyata itu dituruti, ya saya berkarya,” kata Sunaryo.
Titik Bumiku adalah karya yang independen. Ia tidak memiliki kaitan apa pun dengan produk keramik yang menjadi sponsor pameran. Di pintu akhir bilik memang terdapat brosur produk-produk keramik yang diproduksi oleh satu perusahaan. Tetapi, tidak terdapat contoh barang yang dijajakan.
Lingkungan
Di luar bilik, Sunaryo ”menancapkan” sebatang pohon jati seukuran pelukan orang dewasa yang sedang merangas. Pada bagian atas pohon ditancapkan besi-besi dan beton. Jelas ini simbol tentang kondisi lingkungan kita sekarang. Pohon berbeton ini adalah ancang-ancang untuk memasuki bilik yang di dalamnya menyimpan tragedi tentang hancurnya sebuah peradaban kehijauan.
Pada bagian pertama sebuah lukisan tentang hutan terbakar di dinding. Sunaryo menyapukan cahaya merah ke arah lukisan dan seseorang yang sedang bergerak sembari menaburkan dedaunan kering. Lalu di bagian kedua sebuah karya video instalasi tentang lingkungan yang di depannya terdapat batu besar dengan sebuah keris tertancap di atasnya. Di situlah titik bumi, ketika eksploitasi atas nama keuntungan berbalik menjadi penghancuran.
Titik puncak dari karya terletak di bilik ketiga. Sunaryo melapisi dinding dengan cermin yang saling berhadapan. Di antara cermin itu ia memasang beberapa tonggak pohon yang ditebang serta sebuah keran air.
Kedua cermin yang sedang berhadapan itu kemudian saling memantulkan obyek yang berada di antara keduanya. Terciptalah dataran luas dengan pohon-pohon yang ditebang serta tetesan air dari sebuah keran. Lagi-lagi ini sebuah peringatan tentang hancurnya lingkungan kita akibat eksploitasi manusia sehingga air pun menyusut tajam.
Dalam bilik hitam ini Sunaryo sedang mengkritik perilaku semena-mena terhadap lingkungan, yang hasilnya bisa saja banjir yang melanda Jakarta, sebagaimana yang ia juga ia pajang dalam karya ini. Sunaryo juga sedang memaparkan betapa karya seni diciptakan dengan sebuah gagasan yang relasinya begitu intim dengan realitas.
”Seni adalah gagasan dan dagang adalah transaksi, maka di sini saya sedang bertransaksi tentang gagasan,” katanya. Transaksi dalam pengertian Sunaryo tentu mengarah pada beberapa hal. Pertama, bisa jadi mengarah pada konteks pameran yang dilakukan di tengah-tengah pameran dagang. Ia sedang mencoba bernegosiasi dengan kondisi untuk menyodorkan gagasan tentang sebuah karya yang tidak harus tampak komersial.
Kedua, Sunaryo jelas sedang melakukan ”jual-beli” gagasan dengan para penikmat pamerannya. Jika Anda tidak tersentuh setelah menyaksikan kajian-kajian yang dipresentasikan Sunaryo, jangan-jangan Anda kehilangan kepekaan terhadap tragedi.
Pada dasarnya bilik hitam Sunaryo adalah sebuah tragedi di tengah riuh-rendah transaksi dagang yang berlangsung di lobi gedung Balai Sidang itu. Ia hadir menjadi titik idealistis dalam hamparan konsumtivisme, yang terkadang menyesatkan. Maka itu, seharusnya sebuah pameran dagang mengarah pada sinergi produk-produk konsumsi yang ramah terhadap lingkungan.
Hanya dengan cara itu, kita terhindar dari kemungkinan melakukan perusakan terhadap lingkungan secara ”sengaja” tetapi tanpa disadari. Dalam pameran dagang ini, Titik Bumiku justru menemukan habitatnya yang tepat. Dan, belum tentu berbicara banyak jika ia dicabut lalu dipamerkan secara mandiri.
Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010
No comments:
Post a Comment