Ketika Matahati Bicara
SURAT kabar hanya bertahan sehari. Sedangkan buku bisa bertahan 1.000 tahun. Demikian kalimat bijak yang diyakini sebagian besar wartawan, termasuk Ahmad Suroso, kelahiran Yogyakarta tahun 1960. Oleh karena itulah, Redaktur Pelaksana sekaligus Plt Pemimpin Redaksi Tribun Batam (sejak tahun 2009) menerbitkan buku berisi kumpulan editorial atau Tribun Corner yang setiap hari muncul di harian yang ia pimpin. Suroso memberi judul bukunya, Ketika Matahati Bicara.
Tulisan di editorial Tribun Batam merupakan refleksi terhadap peristiwa yang sedang menjadi perbincangan publik, baik lokal, regional, maupun nasional. Isinya merupakan perpaduan antara topik hangat yang sedang berkembang di masyarakat dan ekspresi sikap kritis, optimistis, atau kegalauan dan sedekat mungkin mencoba menyuarakan suara publik.
Diterbitkan oleh PT Grafika Wangi Kalimantan, Ketika Matahati Bicara diberi pengantar Moh Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, yang juga ”teman” penulis saat kuliah di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Senandoeng Radja Ketjil
SEBANYAK 15 penyair berhimpun di dalam sebuah buku berjudul Senandoeng Radja Ketjil. Beberapa di antaranya cukup beken di dunia tulis-menulis. Sebut saja di antaranya Hendry Ch Bangun, Prijono Tjiptoherijanto, Edi Sedyawati, Eka Budianta, Handrawan Nadesul, dan Kurniawan Junaedhie.
Mencermati nama-nama itu, tak pelak lagi mereka adalah orang-orang mapan. Kiprahnya dalam peta perpuisian Indonesia juga sudah tak asing lagi, bahkan sebagian besar telah ikut mewarnai dinamika kesusastraan Indonesia tahun 1980-an. Jadi sesungguhnya mereka, secara sosial-ekonomi, bukan kelompok marjinal dan tak pernah kehabisan pekerjaan.
Sekarang boleh kita bertanya: apa maunya orang-orang mapan ini berhimpun dan bersepakat menerbitkan puisi? Demikian pertanyaan Maman S Mahayana, pemerhati sastra, di dalam epilog buku itu.
Selain menyumbang beberapa judul puisi, Handrawan Nadesul, seorang dokter, juga menulis prolog atas buku yang diterbitkan Penerbit Kosa Kata Kita ini. Ia memberi judul ”Berpuisi untuk Memperkaya Diri”.
”Antologi ini lahir bukan tanpa sebab,” kata Handrawan. (*)
Sumber: Kompas, Senin, 22 November 2010
No comments:
Post a Comment