Sunday, November 14, 2010

Menguak Sisi Kelam Globalisasi

-- Natalia Soebagjo

AHLI China, I Wibowo, dikenal rajin menulis dan membagi ilmunya mengenai perkembangan negeri itu. Analisisnya sering kali dari sudut pandang apa yang perlu kita lakukan untuk menghadapi tetangga raksasa yang semakin berpengaruh. Akan tetapi, selain menghadapi ”ancaman” China, ada ancaman lain yang lebih dahsyat dan sulit dilawan.

Ancaman itu globalisasi, suatu kekuatan yang menguasai dunia dan yang telah menyusup kehidupan kita. Sebagai seorang ilmuwan politik, bagaimana Wibowo bisa berpaling muka dari suatu fenomena yang berhasil menyedot semua dalam perangkap sistemnya dan menyeret kita menyerah padanya, seolah tidak ada pilihan lain selain globalisasi dan ideologi neoliberal yang melekat padanya?

Sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1998, saat menyaksikan betapa cepat anjloknya mata uang di suatu negara bisa merembet ke negara-negara lain, membawa kesengsaraan bagi rakyat kebanyakan di Tanah Air, Wibowo terpanggil untuk lebih tajam menganalisasi keterkaitan dan saling ketergantungan antarnegara akibat globalisasi.

Meskipun tujuan penulisan buku ini untuk membuat evaluasi obyektif atas globalisasi dari sudut pandang ekonomi-politik, keberpihakan Wibowo sudah dapat diterka dari pemilihan judul buku. Hipotesa yang diajukan adalah bahwa negara ”memilih untuk menjadi pelindung para saudagar global daripada pelindung warga negara” karena untuk menghadapi globalisasi, negara rela melepaskan kedaulatannya untuk menjadi pelindung bayaran para saudagar yang membawa modal untuk menyelenggarakan negara. Kritik yang keras tetapi yang mampu didukung dengan argumentasi yang persuasif.

Makelar global

Dengan mewabahnya globalisasi, ”negara” yang semula dibentuk untuk melindungi warga negaranya, pada kenyataannya hanya menjadi sekadar centeng bagi elite politik dan pelaku bisnis, baik lokal maupun global. Hal ini disebabkan oleh fungsi pemimpin negara yang telah direduksi secara ”vulgar” dengan peran utamanya menjaga kepentingan pengusaha. Pimpinan negara harus tunduk pada kekuatan globalisasi yang terobsesi ”economic growth” berdasarkan pasar bebas, perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi dan deregulasi. Menurut Wibowo, para pemimpin negara, policy and decisions makers, bahkan para intelektual sekalipun, menemukan diri mereka menjadi ”makelar global” semata.

Kajian Wibowo menghasilkan gambaran suram tentang globalisasi, yang manfaatnya ditiadakan oleh mudaratnya. Globalisasi dijelaskan sebagai ”interconnectivity” yang mencapai tingkat tertinggi sebagaimana tampak pada extensivity, intensity, velocity, dan impact yang ditimbulkan”.

Untuk mencapai tingkat konektivitas yang demikian tinggi, diperlukan berbagai syarat: teknologi, teknik organisasi, dan ideologi. Ideologi ”globalisme” menyatakan bahwa ”kemakmuran dan kesejahteraan dunia hanya dapat dicapai dengan perdagangan bebas yang dilakukan oleh pengusaha swasta, tanpa intervensi oleh negara di bidang ekonomi”.

Ideologi ”globalisme” ini seirama dan sejalan dengan ideologi ”neoliberal” yang percaya pada fundamentalisme pasar dan peran negara yang minim, bahkan tidak ada. Kaum neoliberal mempunyai sikap ”emoh negara”—istilah yang dipinjam dari Goenawan Mohamad yang berarti ”tidak menghendaki negara”—karena menurut kaum liberal, pasar dapat lebih baik menjalankan roda kehidupan manusia daripada negara dengan konsentrasi kekuasaannya yang mengimpit kemerdekaan individu.

Wibowo menunjukkan sisi humanisnya dengan merindukan suatu negara yang melindungi warganya, terutama melindungi mereka yang tak mampu melindungi diri sendiri menghadapi serangan globalisasi. Mereka yang marginalized, seperti buruh dan tani. Bagaimana mereka kuasa bertahan melawan kekuatan multinational corporations (MNCs)—perusahaan- perusahaan raksasa yang menguasai pasar dunia dan seluruh bidang manusia? Apalagi bila negara lebih mementingkan MNCs, memberi kemudahan bagi mereka masuk ke pasar domestik atas nama globalisasi, daripada melindungi warga negaranya sendiri yang semakin sulit bertahan hidup.

Jalan tengah

Wibowo mengkritik secara tajam dan pedas globalisasi tetapi tidak kesulitan menawarkan solusi yang definitif. Kutipan pembuka adalah kata-kata Paul Valery (1871-1945): si l’état est fort, il nous écrase, s’il est faible, nous pérrisons—bila negara kuat, kita digilas, bila lemah, kita binasa. Yang dicari Wibowo adalah jalan tengah antara kekuatan negara dan pasar, suatu titik nyaman di antara ’a rock and a hard place’ tetapi bagaimanakah menemukan titik tengah tersebut?

Ia menaruh harapan pada akan bangkitnya kembali negara yang sesuai hakikatnya, dalam suatu sistem yang demokratis. Untungnya dengan adanya krisis keuangan global tahun 2008, tanda-tanda kebangkitan ini sudah mulai terlihat karena akhirnya telah muncul kesadaran kembali akan lemahnya kekuatan pasar dan sistem perekonomian kapitalis neoliberal. Negara mulai menggeliat bangkit.

Wibowo juga mengandalkan kekuatan warga negara yang mengatur diri dalam LSM-LSM untuk melindungi diri dari dampak negatif globalisasi dan neoliberalisme. Kemampuan LSM untuk melawan terlihat dari semakin besarnya World Social Forum, suatu pertemuan akbar LSM sedunia yang dilaksanakan seiringan dengan World Economic Forum. Bermula dengan peristiwa ”The Battle of Seattle” yang berhasil menggagalkan konferensi WTO pada tahun 1999, LSM-LSM dunia mulai bergerak bersama untuk mencari pemikiran alternatif dari neoliberalisme. Wibowo menyadari bahwa tidaklah mudah untuk mengorganisasi LSM yang mempunyai agenda berbeda-beda dan sangat luas, tetapi mereka mendorong kita untuk mencari alternatif, paling tidak untuk memperlunak atau soften dampak negatif dari globalisasi.

Dalam bahasa yang lugas, Wibowo berhasil menjelaskan konsep-konsep ekonomi politik secara sederhana agar orang awam sekalipun dapat dengan mudah menangkap argumentasinya. Buku diawali dengan prolog, kemudian disusul dengan 4 bab, masing-masing dengan pengantar. Ke-4 bab tersebut bicara soal negara; aktor dan predator global; negara centeng dan warga negara; serta bagaimana menyikapi globalisasi. Mengingat bahwa setiap bab berdiri sendiri, bisa dibaca secara terpisah dan tidak perlu berurutan, bagian-bagian tertentu terasa seperti pengulangan, terutama penjelasan mengenai MNCs.

Kekurangan kecil dari buku ini adalah design dan layout, terutama pencantuman tabel-tabel, yang tidak menarik dan makan halaman. Akan tetapi, kekurangan ini tidak mengurangi nilai isi buku ini. Semua pihak yang tertarik pada masalah globalisasi wajib membacanya. Terlepas apakah sependapat atau tidak dengan Wibowo, buku ini amat berharga sebagai pengantar yang memprovokasi pembaca untuk mendalami masalah globalisasi. Bagi yang terkena pancingannya, Wibowo memberi daftar sumber tulisan dan catatan-catatan akhir yang bermanfaat sebagai petunjuk jalan menuju pemahaman yang mendalam agar mampu melawan globalisasi yang semakin tak terelakkan.

Natalia Soebagjo, Direktur Eksekutif, UI Center for the Study of Governance

Sumber: Kompas, Minggu, 14 November 2010

No comments: