Sunday, November 21, 2010

Pembelajaran Sastra: Antara Tuntutan Kurikulum dan Kemerdekaan Ekspresi Guru

-- Riki Utomi

Pendahuluan

Mempelajari sesuatu pada intinya berupaya menggeluti dan memahami dengan sedalam-dalamnya tentang segala hal terkait dalam sebuah pelajaran itu. Tentu di sini ada sebuah usaha yang dimotori apakah itu dari faktor tindakan usaha diri sendiri atau motivasi dari orang lain. Maka, sudah barang tentu pembelajaran yang dimotori oleh hal seperti itu akan menjadi apik dipelajari. Dalam hal ini pembelajaran Bahasa Indonesia yang didalamnya juga termaktub pelajaran sastra. Pembelajaran sastra memang disandingkan dengan bahasa. Dia (sastra) itu memang tidak dapat bersanding dengan pelajaran lain selain bahasa. Ibarat jodoh yang tak dapat diambil oleh pihak lain. Maka, bahasa menjadi sumber pendamping yang selalu dirasakan hangat oleh sastra. Juga menjadi teman yang senantiasa akrab untuk berdua dalam mengarungi kehidupan yang penuh dinamika, dimana antara bahasa dan sastra tumbuh dan berkembang sejalan dan seirama.

Tulisan sederhana ini tidak membicarakan persoalan antara bahasa dengan sastra tetapi akan menyinggung kedudukan sastra dalam dunia pendidikan. Dirasakan, sejak dulu, pembelajaran yang satu ini menjadi sebuah pelajaran yang kurang efektif. Dikatakan kurang efektif, karena sastra menjadi sebuah hal yang tidak diprioritaskan bahkan di”kucilkan” di tengah-tengah “masyarakat” pelajaran lain. Sastra menjadi sebuah pelengkap penderita dalam tatanan pelajaran bahasa Indonesia yang hanya sebagai bunga-bunga rampai yang tidak memuaskan. Betapa jauh pembelajaran yang sudah tertinggal dengan metode yang monoton? Yang hanya dapat menghafal sederetan nama dan karya sastrawan. Sampai tempat dan tanggal lahir tokoh tersebut dan sampai kepada nama orang tuanya atau pun hobi dari tokoh sastrawan itu. Dari satu sisi itu memang tidak salah, tapi lambat laun hal seperti itu tidak membawa suatu perubahan yang besar. Mereka (siswa) itu tidak dapat berbuat untuk melakukan dari apa yang sudah dibaca dari berbagai karya tokoh sastrawan itu.

Berbuat yang berarti menjadikan sesuatu baik mengembangkan kreatifitas menulis dan pengembangan diri ke arah positif dalam mencipta karya. Ini menjadi hal yang cukup dirasakan sulit untuk mengembangkannya. Apalagi, memang, generasi saat ini adalah generasi nol buku seperti yang dikatakan oleh Taufiq Ismail tentang hal itu. Membaca karya sastra bukan lagi menjadi sebuah kesukaan dan hobi dan lebih parahnya, membaca tentang hal lain pun yang dinilai praktis juga jauh dari kegiatan siswa sekarang ini. Memang, ada beberapa siswa yang memiliki hobi membaca tetapi sejauh mana dampak besarnya dari hal tersebut masih menjadi sebuah problematika. Kita tentu merasa takjub dan berdecak kagum terhadap perkembangan cara belajar dan pola pikir masyakarat di negara maju semacam Malaysia atau Singapura yang menjadi tetangga kita, bahkan Malaysia sekarang ini pun sudah melangkahi kita dan meninggalkan kita yang masih tertatih-tatih.

Membebaskan Belenggu Rantai Kurikulum
Kurikulum adalah sebuah keterikatan yang menuntut segala sesuatu serba diatur. Menjadikan bagian dari tatanan baku yang harus di’amin’kan. Segala sesuatu yang terdapat dalam kurikulum seperti sebuah ‘kitab suci’ yang mesti diamalkan. Apakah sejauh itu kurikulum telah memberi kelapangan dan nuansa langgeng bagi guru tersebut? Pembelajaran sastra yang dinilai sangat luas pengembangannya memerlukan sebuah situasi yang mesti diselalu disesuaikan dari keadaan tempat, situasi, intelektual siswa, dan gurunya sendiri. Maka, pembelajaran sastra tidak semata-mata mesti terikat pada hal ihwal yang tercantum dalam kurikulum.

Bukan berarti lepas sama sekali dari rel kurukulum, tapi pengembangan yang diseusuaikan oleh situasi sangat diharapkan karena membaca situasi oleh guru merupakan bentuk pengejawantahan dari pembelajaran itu. merupakan hal menarik apabila guru memiliki jangkauan pengetahuan tentang sastra dan mampu berbuat untuk mengembangkan pembelajaran tersebut dengan lebih efektif. Untuk hal itu perlu dipertimbangkan masalah alokasi waktu dan situasi yang mendukung.

Berbicara masalah hal-hal yang mendukung sangat berpengaruh pada pembelajaran sastra yang nantinya bisa menarik perhatian pada siswa. Guru yang memiliki motivasi yang kuat akan berusaha untuk mengembangkan pembelajaran sastra lebih terarah dan tidak monoton. Pembelajaran sastra yang intinya memerlukan banyak apresiasi lebih mengarah kepada daya cipta dan penghayatan. Maka situasi yang ribut, misalnya, tentu sangat mengganggu atau situasi yang dimana siswa tidak berminat alias ‘buta’ pada sastra tentu menjadi sebuah hal yang sangat mengganggu. Untuk itulah pembelajaran sastra menjadi suatu hal yang sangat serius untuk diperhatikan.

Mencari Celah
Pengembangan pemebelajaran sastra memang memerlukan perhatian yang serius. Tidak ada setengah-setengah dalam menumbuhkan minat siswa dalam hal itu. Mengapa? Karena sastra adalah pembelajaran apresiasi. Membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menciptakan karya karena karya yang baik membutuhkan pemikiran dan penghayatan yang cermat pada kehidupan. Dia (karya itu) tidak sembarang cipta. Ada nuansa permenungan yang diambil dari berbagai nilai-nilai yang tercermin pada kehidupan.

Untuk itu, tidak mudah memberikan daya optimal pada pelajaran sastra. Apalagi pelajaran sastra masih disandingkan dengan bahasa indonesia. Itu artinya masih belum ada kebebasan penuh dalam memberikan lebih banyak penyampaian sastra apalagi kalau sudah sampai dalam proses menciptakan dan mengapresiasinya. Ini juga merupakan hal yang mungkin bisa menghambat daya kreasi siswa.

Sebaiknya ada upaya yang lebih baik dan terarah. Katakanlah, Pertama, masalah alokasi waktu. Waktu yang dapat digunakan mesti seimbang dengan materi sastra yang intinya banyak menghaji dan menghayati, juga mengapresiasi karya sastra. Kedua, perlunya pelatihan-pelatihan khusus kepada siswa dengan menghadirkan secara langsung penulis-penulis (sastrawan) yang dapat memberikan langsung materi sastra dan pengalaman-pengalaman proses kreatifnya. Ini tentu saja dapat menjadi motivasi dalam menumbuhkan minat kecintaan siswa dalam pelajaran sastra.Ketiga, siswa diharapakan dapat memberikan kontribusinya pada pertumbuhan sastra dan dalam jangka panjang ada daya kreatif siswa yang mampu memberikan hasil yang bisa diharapkan. Keempat, adanya tercipta iklim positif yang mampu memberikan ruang kaji diskusi yang memperkaya pengetahuan siswa dalam pelajaran sastra.

Harapan
Tentu sebuah harapan besar dari siapapun, terlebih guru bahasa Indonesia yang memiliki andil besar dalam menumbuhkan minat siswa dalam menyukai sastra. Memang tidak mudah untuk menarik siswa dalam berkarya sastra, karena pembelajaran sastra tidak langsung tampak hasilnya. Pemebelajaran sastra membutuhkan waktu yang panjang. juga semangat yang tinggi dari guru yang bersangkutan, juga secara tidak langsung adanya peran peduli dari pemimpin sekolah yang seharusnya dapat melihat dengan bijak dan penuh perhatian untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan khususnya pelajaran apresiasi sastra. Bukankah nama sekolah akan terbawa dengan baik pada keberhasilan pembelajaran sastra? Semoga.

Riki Utomi, Alumnus FKIP UIR Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis puisi, cerpen, dan esai di sejumlah media. Turut menggerakkan rumah kreatif Cahayapena dan Kualamerbau. Saat ini berproses di sebuah sekolah kejuruan di Kabupaten Kepulauan Meranti. E-mail: rikiutomi@ymail.com. Tinggal di Selatpanjang.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 November 2010

No comments: