Jakarta, Kompas - Melawak memang harus lucu. Namun, bukan berarti melawak tidak bisa serius. Sebab, melawak itu pekerjaan cerdas yang bukan sekadar melontarkan banyolan, melainkan harus juga bisa memberikan ”sesuatu” kepada masyarakat.
”Pelawak itu cerdas karena komedi adalah serius. Tanpa keseriusan tidak bisa menghasilkan produk komedi, humor, atau lawakan,” kata Indro Warkop, salah seorang personel kelompok komedi legendaris Indonesia Warkop, saat peluncuran buku Warkop bertajuk Main-Main Jadi Bukan Main di Jakarta, Rabu (10/11).
Meski mencoba sedikit serius dengan pernyataannya, Indro yang kini tinggal sendiri setelah Dono dan Kasino berpulang ke pangkuan Ilahi tetap tidak bisa lepas dari sikap kocaknya. Ada- ada saja celetukan dan pernyataan Indro yang mengocok perut wartawan dan sahabat-sahabatnya.
Buku Warkop terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Aquarius, Warkop DKI, dan Telkomsel ini, kata Indro, sebagai tanda Warkop sudah melunasi utang budaya.
Buku Warkop yang berisi kumpulan tulisan dari sembilan penulis itu juga disisipi bonus CD lawakan Warkop Volume 1 dan 2 yang mengajak pembacanya bernostalgia. CD itu berisi rekaman suara sekitar 30 tahun lalu ketika Warkop masih lengkap, termasuk Nanu Mulyono, Kasino Hadiwibowo dan ”Dono” Wahjoe Sardono yang masih aktif.
Buku setebal hampir 300 halaman tersebut disunting pendiri Warkop yang juga mantan wartawan Kompas Rudy Badil, bersama Indro Warkop.
Warkop atau Warung Kopi berawal dari lima sekawan para mahasiswa Universitas Indonesia. Dari sekedar banyolan di kampus kemudian siaran di Radio Pambors, kelompok ini akhirnya bertahan di dunia hiburan dan film.
Selain Rudy Badil dan Indro, tiga lainnya yang sudah meninggal yakni Nanu Mulyono (1973), Kasino Hadiwibowo (1997), dan ”Dono” Wajoe Sardono (2001). Tiga sekawan Dono-Kasino-Indro atau Warkop DKI tangguh di dunia hiburan sejak 1979.
Dahono Fitrianto, salah seorang penulis, menyebut Warkop menjadi inspirator bagi kelompok humor lainnya. Budiarto Shambazy, salah seorang penulis yang juga wartawan Kompas, mengatakan, Warkop dikelola dengan manajemen modern. Selain itu, isu yang diusung Warkop sangat beragam mulai dari politik, , gender, remaja hingga kritik sosial. Warkop dinilai sebagai kelompok komedi yang lebih ”intelektual”. (ELN)
Sumber: Kompas, Kamis, 11 November 2010
1 comment:
Buku ini, menurut saya, buku nyanyian angsa. Buku perpisahan. Tetapi kalau isinya mampu membuat pembaca yang cerdas menjadi tertawa, terutama mereka yang selama ini tidak bisa tertawa (apalagi muak) melihat suguhan komedi-komedi bodoh film-filmnya, buku ini bakal menjadi buku kenangan yang istimewa.
Terlebih lagi bila kita nanti disuguhi rentetan cerita-cerita yang kaya mengenai tragedi demi tragedi, juga paparan menghumori kekonyolan atau kebodohan, self-deprecating, personil Warkop yang selama ini melulu tersembunyi di balik layar.
Kalau tidak, boleh jadi kita akan hanya mampu mengenang saat film-film Warkop selalu diputar televisi. Utamanya di saat-saat kita merayakan hari lebaran. Di saat kita dengan tulus saling bermaaf-maafan dengan sesama. Tetapi tidak ada maaf untuk produsen film-film Warkop. Karena cakar merekalah yang membuat tiga atau empat insan kocak Warkop itu menjadi ikon yang ndesel-ndesel, yang bersikeras memaksa masuk sebagai junk memory dari khasanah kenangan budaya populer kita.
Tidak ada maaf pula karena mereka hanya menjadi tahanan jeruji besi industri tontonan komersial yang mencekik nalar sehat, yang tidak seperti diangankan oleh Indro Warkop saat ini, nyatanya memang jauh dari selera cerdas dan cendekia.
Sehingga buku ini sepertinya cocok bila kita anggap sebagai upaya Warkop untuk melakukan ritual penebusan dosa. Akan lebih menyentuh lagi bila Indrojoyo Kusumonegoro pribadi, sebagai "the last mohican" yang menulisnya sendiri. Tetapi sepertinya, sebagai hal kronis yang membekuk otak komedian-komedian lainnya di Indonesia, ia tidak mampu melakukannya.
Nampaknya sosok Wahyu “Dono Warkop” Sardono merupakan tokoh dominan, termasuk sebagai penulis naskah dan otak terbaik dari sukses Warkop selama ini. Tetapi kita tahu, pada tanggal 30 Desember 2001, Dono telah mendahului kita semua.
Indro Warkop kini melakukannya dengan meminjam tangan orang lain. Memang bukan hal yang buruk. Sebelum semuanya menjadi sangat terlambat.
Sumber :
Warkop dan Buku Penebusan Dosa
Post a Comment