-- Bill Watson
MEMBACA banyak karangan belakangan ini mengenai perlunya kita prihatin pada pembinaan watak bangsa, saya merasa terdorong untuk menyumbang satu dua pikiran mengenai hal ini. Khususnya hubungan antara pelajaran sastra dan pembentukan kepribadian bangsa. Uraian kita dapat diawali dengan mencatat, para filsuf dalam pembahasannya mengenai persoalan etika dan penguraian prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari senantiasa mempergunakan cerita untuk mempermudah penyampaian maksudnya. Cerita ini kadang-kadang mereka ciptakan, kadang mereka kutip dari mitos atau cerita klasik. Di mana pun dan di zaman apa pun di seantero dunia terjadi praktik demikian.
Agar membina rakyat berpikir dengan sehat dan cerdas mengenai tugas dan tanggung jawab terhadap orang lain dan alam di sekelilingnya, guru dan pelipur lara (tukang cerita) dari dahulu kala selalu bercerita mengenai kejadian yang merupakan contoh teladan. Contoh ini kemudian menjadi bahan rujukan untuk membentuk watak masyarakat dan memperhalus daya pertimbangannya.
Sastra bagi anak
Di dunia Barat yang mewarisi tradisi Yunani, cerita terkenal ialah dongeng Aesop yang tertulis 2.500 tahun lalu yang menceritakan perangai binatang tetapi di dalam dongeng tersebut menyindir perangai manusia. Anak-anak sampai sekarang sangat menggemari cerita ini, umpamanya kisah penggembala yang berteriak adanya serigala. Kalau saya menceritakan dongeng-dongeng ini pada cucu saya, Alfie, yang kini berumur 4 tahun, dia selalu tertawa dan minta saya mengulang cerita dan menerangkan perangai buruk yang berakibat celaka.
Di nusantara, kita memiliki khazanah cerita kancil yang serupa, dan Alfie juga menikmati dengan penuh semangat cerita kancil dan harimau yang acap saya baca. Demikian langkah awal untuk membentuk landasan kuat supaya bangsa kita berbudi luhur ialah bercerita pada anak.
Akan tetapi, pada zaman sekarang, kita semua sibuk, dan dengan bermacam-macam alasan, kita sering mengabaikan tanggung jawab kita sebagai orang tua ( dan sebagai kakek dan nenek), dan dengan pasrah menyerahkan tugas bercerita kepada layar televisi. Alangkah berbahaya!
Program televisi jarang menyediakan bibit pikiran sehat bagi anak kecil, kecuali kita selalu mendampingi anak kita sementara dia menonton, kita tidak tahu apa yang ditontonnya dan apa kesimpulan yang diperolehnya dari tontonan. Mengingat kebiasaan jelek ini, kita perlu mengambil tindakan bijak untuk mengubah kebiasaan kita. Di keluarga, kita harus selalu memperingatkan diri mengenai kepentingan (dan kenikmatan) meluangkan waktu bercerita kepada anak.
Apa salahnya kalau pemerintah menyelenggarakan kampanye untuk mendorong masyarakat berprihatin pada kenyataan ini. Toh, kampanye mengenai keselamatan di jalan dan kesehatan di rumah sudah banyak. Apa salahnya kita berkampanye juga mengenai kesehatan mental dan moral dan faedah membaca cerita?
Di samping itu, tentu saja sekolah memainkan peranan penting pula, tetapi Kementerian Pendidikan Nasional harus menjamin, dalam kurikulum sekolah, terutama di sekolah dasar, banyak waktu diluangkan untuk menyampaikan cerita, dan guru perlu menyadari juga, cerita bukan hal sampingan tetapi pokok pengajaran. Tambah pula pembuat acara televisi harus berpikir kembali bentuk yang sebaik-baiknya untuk acara mereka dan bagaimana menciptakan suasana supaya anak mau menonton dan berdiskusi bersama dengan orang tua.
Remaja dan dewasa
Sebenarnya, para filsuf moral tidak membatasi manfaatnya mengajar lewat cerita pada pendidikan anak kecil. Malah karena menganggap hal itu cukup lumrah, mereka mengutamakan usahanya dalam mencerdaskan dan memperhalus kerangka penilaian orang dewasa. Filsuf terkenal yang suka mempergunakan cerita klasik dan menguraikannya dengan saksama untuk menjadi buah renungan, di antaranya Alasdair MacIntyre dan Bernard Williams. Keduanya sering merujuk kepada mitos dan lakon Yunani kuno untuk menerangkan dilema susila ruwet. MacIntyre, umpamanya, dalam buku After Virtue (1985) membahas masalah Antigone sebagaimana dikemukakan Sophocles dan Williams dalam buku Shame and Necessity (1993) mempersoalkan keputusan Agamemnon untuk mengorbankan anaknya sendiri, Iphigeneia, demi keselamatan rakyat Yunani. Tidak begitu berbeda sebetulnya dari seorang dalang yang menceritakan kebimbangan Arjuna dalam Bharata Yudha berhadapan dengan kemustahakan berperang dan darmanya mencabut nyawa wakil Kurawa, Karna, yang Arjuna anggap sebagai saudara dekat.
Tentu saja kebiasaan memakai cerita dari kitab suci untuk menanamkan kesadaran moral menjadi inti pengajian semua agama. Akan tetapi, kita tidak boleh menyerahkan seluruh tugas membina watak bangsa kepada guru agama saja. Bukan saja karena penyerahan tersebut merupakan pelepasan tanggung jawab kita, tetapi karena tidak mungkin pelajaran moral akan tertanam dengan sehat dan berakar kecuali ditunjang dan diiringi dengan usaha dari para pendidik lain di samping guru agama, baik di ruang kelas maupun di rumah. Justru karena hal itu cukup disadari pakar pendidikan, kurikulum sering diatur mereka sedemikian rupa sehingga daya kritis siswa dilatih dalam beberapa mata pelajaran yang diharapkan akan membarengi pelajaran agama dan memperkuatkan rasa tanggung jawab siswa dan kepekaannya terhadap manusia di sekelilingnya. Dalam kurikulum sejarah, sospol, hukum, dan pendidikan kewarganegaraan, siswa tergugah untuk ikut serta menyelami, membahas, dan mengungkapkan pendapat mengenai masalah yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari.
Pengajaran sastra
Dalam usaha membekali mereka dengan alat intelektual yang dapat membantu mereka berpikir dengan tajam dan mengenal benar-benar kepribadian diri mereka, pengajaran sastra sangat memberikan kontribusi. Akan tetapi, bukan sembarangan pengajaran sastra, bukan pengajaran sastra sebagaimana diselenggarakan di sekolah-sekolah di Indonesia sekarang dan sebagaimana diujikan dalam Ujian Nasional. Pengajaran itu cuma hafalan, bukan pendidikan.
Pengajaran yang saya maksud ialah usaha mengarahkan siswa untuk menjiwai dan menghayati karya penulis sastra terkemuka. Usaha ini bukan hal mudah; siswa belum tentu tertarik pada ulasan buku yang membutuhkan jerih payah untuk menyelami hal-hal yang kadang-kadang susah dipahami. Mereka suka menghafal saja sebab mudah. Akan tetapi, kalau sebagai guru kita dapat merangsang mereka dan meyakinkan mereka atas manfaat dan kegairahan membaca sehingga timbul kemauan dari mereka sendiri untuk melibatkan diri sepenuhnya dalam arus cerita, kita boleh merasa bangga. Tentu saja kita harus yakin atas mutu dan pentingnya pelajaran satsra. Tidak mungkin kita dapat meya-kinkan orang lain jikalau mereka melihat bahwa kita tidak merasa bahagia dan nikmat luar biasa dari menekuni sastra.
Membina watak bangsa berkat pengajaran sastra bukan merupakan sesuatu yang baru; sejak awal ia sudah diterapkan, sebelum manusia pandai menulis dan membaca. Dan sampai sekarang pengajaran sastra menjadi inti kurikulum sekolah di mana pun di dunia. Sayang bahwa dalam zaman teknologi dan kemajuan kini banyak negara seolah lupa atas hal ini. Sekarang sudah waktunya kita meninjau kembali isi kurikulum sekolah dan memberi tempat layak pada pengajaran sastra. Kesehatan watak bangsa di kemudian hari akan ditentukan oleh kesungguhan kita menerapkan gagasan ini.
Bill Watson, visiting Professor School of Business and Management, ITB, Emeritus Professor University of Kent, UK. Horison On-line Interactive Editorial Team.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment