Saturday, November 27, 2010

Sejarah: Krisis Pangan, Aceh hingga Mataram

NEGERI yang sering disebut kaya raya dan makmur itu tidak berarti aman dari krisis pangan. Beberapa abad yang lampau krisis pangan juga mendera berbagai kerajaan di tanah ini.

Krisis pangan dengan berbagai sebab terjadi hingga memunculkan kelaparan. Kisah pangan yang demikian parah menjadi catatan bagi kita bahwa krisis pangan yang berlanjut pada kelaparan bisa saja kembali terjadi.

Kita bisa membayangkan, pada masa itu dengan jumlah penduduk yang sedikit, kelaparan sudah menyerang sejumlah kerajaan. Sepertinya kita pun harus mulai menyadari bahwa krisis pangan masih mengancam kita.

Dari sejarah kita bisa belajar mengenai cara-cara mereka mengatasi krisis pangan. Pada saat yang bersamaan kita jangan sampai mengulangi krisis pangan itu.

Krisis di Aceh

Kerajaan Aceh yang berdiri pada 1507 sangat bergantung pada pasokan beras dari luar. Kebanyakan daerahnya berawa sehingga menjadikan mereka bergantung pada pengiriman beras dari luar. Kondisi ini memunculkan pemain-pemain yang selalu mencari keuntungan semata. Anehnya, hingga beberapa lama kesultanan tidak berdaya menghadapi mereka.

Laporan-laporan penjelajah Eropa pada 1602, seperti dikutip dari buku Aceh, Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), menyebutkan, beras jarang ada dan kalau toh ada harganya sangat mahal. Melihat situasi ini, mereka ikut mencari keuntungan. Mereka malah mendatangkan beras dari berbagai tempat untuk dijual ke Aceh. Mereka juga mendatangkan budak dari India untuk menanam padi di wilayah Aceh.

Masalah semakin bertambah ketika sekitar tahun 1605, menurut Kitab Bustan us-Salatin, terjadi kemarau dan berakibat kelaparan. Dalam buku itu disebutkan hal ini merupakan bencana besar.

Pada masa itu disebutkan bayang-bayang ketakutan dan kelaparan selalu menghantui jalan-jalan di Aceh. Tempat itu menjadi tempat matinya berpuluh-puluh budak sekaligus, bahkan sebelum mereka sempat bekerja.

Dalam kasus Aceh ini krisis pangan muncul karena kondisi alam yang tidak begitu mudah dijadikan sawah karena masih berawa, adanya gengsi penduduk untuk menjadi petani, permainan para orang kaya yang sengaja mengeruk keuntungan di tengah masalah pangan di Aceh, dan kepemimpinan sultan yang lemah.

Masalah ini mulai dikendalikan ketika Sultan Iskandar Muda yang berkuasa pada 1607-1636 tampil memimpin Aceh. Di dalam negeri, ia mulai mengontrol perilaku orang kaya yang mempermainkan harga beras seenaknya dan melakukan pembagian beras kepada rakyat miskin. Langkah ini diawasi agar tidak diselewengkan. Ia juga mencari budak ke luar. Ia juga membeli beras di luar demi ketenteraman di dalam negeri.

Krisis di Banten

Kesultanan Banten yang sebenarnya adalah produsen beras pernah menjadi negara yang kesulitan beras. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1675. Keadaan di tempat itu disebut memprihatinkan karena hanya tinggal 20 ikat padi untuk setiap keluarga di ibu kota. Jumlah padi itu sama dengan jatah sekitar 40 kilogram per keluarga atau hanya bisa bertahan untuk satu bulan.

Penguasa Banten kemudian meminta pengiriman beras dari daerah lain, seperti Mataram, tetapi tetap saja mereka sulit mendapatkan beras. Para pedagang dari Mataram sudah sering mengirim beras ke Banten hingga merasa tidak perlu memasok beras lagi ke Banten. Mereka lebih senang membelokkan pengiriman beras ke Batavia yang pada waktu itu juga kekurangan beras.

Di dalam buku Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII dikisahkan, Sultan Ageng sampai terpaksa meminta bantuan Inggris untuk mendapatkan beras dengan menggunakan kapalnya. Langkah ini tetap saja tidak bisa menolong negeri yang sebenarnya dikenal sebagai lumbung beras karena kerajaan ini sejak awal memilih kebijakan agraris dibandingkan dengan berdagang.

Persediaan beras semakin lama semakin mengecil. Akibatnya, harga beras dilaporkan melonjak beberapa kali sepanjang tahun. Harga beras dengan berat sekitar 20 ton pada awal tahun sekitar 20 real, kemudian menjadi 50 real pada pertengahan tahun. Menjelang akhir tahun, harga beras dengan berat yang sama menjadi 400 real.

Dalam salah satu laporan disebutkan, penyebab krisis pangan ini adalah angin barat daya tidak membawa hujan. Akibatnya, panen pada musim tanam masa itu tidak menentu. Keadaan semakin parah karena hama berupa tikus bermunculan dan menyerang tanaman padi di sawah.

Pada tahun 1676 Kesultanan Banten dilaporkan tidak memiliki beras lagi. Persediaan di Mataram juga sudah tidak ada. Sangat mungkin Kesultanan Mataram juga tengah mengalami kekurangan beras menyusul kekeringan yang melanda wilayah itu.

Banten akhirnya mengimpor beras dari Siam (Thailand) dengan mengirim satu kapal. Satu kapal Inggris mengirim beras dari Benggala ke Banten.

Setelah panen pada masa berikutnya, pasokan beras kembali muncul dari beberapa kota di Pulau Jawa, tetapi harganya tetap tinggi. Krisis pangan terus berlanjut pada tahun 1677 dan 1678.

Penyediaan beras tetap mengkhawatirkan hingga sultan memerintahkan dilakukan upacara di seluruh negeri agar penanaman padi dan panen bisa berhasil. Semua penduduk harus berpuasa dan berdoa selama enam hari agar hujan turun untuk menyelamatkan panen. Pasokan pangan kembali normal pada tahun berikutnya.

Sejumlah pengelana dari Eropa yang melihat kejadian itu menyebutkan, Banten tidak sampai mengalami kelaparan. Akan tetapi, krisis pangan tersebut tergolong sangat berat karena sebelumnya Banten dikenal sebagai negara yang mengekspor berbagai produk pangan.

Krisis di Mataram

Kerajaan Mataram beberapa kali mengalami krisis pangan. Pada suatu masa dilaporkan kekeringan melanda Mataram karena hujan tidak turun, akibatnya mereka kekurangan pangan.

Mataram menjadi negeri yang sakit. Pengemis dan penderita kudis tampak di jalan-jalan, baunya seperti bangkai. Banyak pengemis yang mati dan bergelimpangan di jalan serta mati mengambang di sungai. Tidak sedikit penggawa kerajaan yang juga meninggal. Kekeringan disebutkan melanda Mataram sehingga wilayah itu tak layak ditinggali.

Krisis pangan terjadi pada periode berikutnya. Raja Amangkurat II yang berkuasa dari tahun 1677 hingga 1703 dilaporkan dirundung kesusahan karena banyak prajurit kecil yang sakit demam. Harga pangan dilaporkan sangat mahal. Prajurit di Kartasura dan orang- orang pedesaan tidak memiliki pangan. Situasi ini membuat raja sedih dan kusut pikirannya.

Ia kemudian memanggil adiknya, yaitu Pangeran Puger. Ia meminta bantuan Pangeran Puger untuk ikut menyelesaikan masalah krisis pangan itu.

”Aku memanggilmu karena negeri kita sedang menghadapi masa sulit. Pangan mahal harganya dan kalau itu terjadi Raja akan dipandang hina. Prajurit rendahan sangat menderita, mereka hanya makan gadung. Kalau negeri ini tidak pulih, pasti yang bertakhta di Kartasura akan menerima hinaan. Kalau Tuhan tidak menolong supaya Kartasura kembali murah pangannya, aku akan meninggalkan kerajaan. Aku malu memandang prajurit itu,” kata Raja.

Akan tetapi, Puger meminta agar kakaknya itu tidak mundur. Ia yang akan meninggalkan istana dan akan menyelidiki apa yang sebenarnya tengah terjadi. Puger kemudian pulang ke rumah dan berganti busana dan menyamar sebagai santri. Ia berkeliling ke berbagai tempat. Ia berjalan sendiri tanpa didampingi prajurit.

Para prajurit malah mengira ia adalah santri yang biasa mengemis beras di pasar karena beras sangat mahal harganya. Dari pemantauan Puger, gadung dan ubi telah dijadikan sebagai pengganti nasi. Rakyat kecil sudah sangat menderita. Ia hanya bisa berdoa dan terus berdoa ketika melihat penderitaan itu.

Dalam buku Babad Tanah Jawi kemudian disebutkan, Puger mendapatkan ide untuk mengurangi penderitaan rakyat. Ia menetapkan harga beras yang terbeli oleh rakyat di semua pasar. Empat puluh hari setelah itu dilaporkan beras kembali murah harganya, rakyat tenang, dan Kartasura kembali pulih.

Dari sejarah krisis pangan di tiga kerajaan itu terlihat bahwa ada dua hal menjadi penyebab krisis pangan, yaitu fenomena alam dan rezim yang lemah.

Krisis pangan yang muncul terkait dengan fenomena alam muncul karena cuaca dan juga kondisi lahan yang buruk. Sementara krisis pangan yang muncul karena rezim yang lemah, seperti pada Kesultanan Aceh sebelum Sultan Iskandar Muda, terjadi akibat rezim mudah dipermainkan pedagang dan tak bisa mengambil sikap.

Kedua penyebab krisis pangan tersebut masih ada hingga sekarang. (ANDREAS MARYOTO)

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 November 2010

No comments: