Judul buku: Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis
Penulis : Hilman Latief
Pengantar : Martin van Bruinessen
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010
Tebal : xxxiii + 307 hlm.
SEBAGAI ormas keagamaan terbesar dan tertua di Tanah Air, Muhammadiyah merupakan perserikatan yang memiliki pengalaman historis yang sangat kaya. Kontribusinya dalam pembangunan peradaban bangsa pun tak dapat disangsikan lagi. Tengoklah gerakan yang acap dimainkannya: Menjadikan pendidikan sebagai fondasi untuk membangun bangsa yang beradab dan pemberdayaan umat sebagai elemen penunjang dalam pengayaan kultural bangsa.
Peranan yang sejak awal menjadi fokus gerakan Muhammadiyah tersebut sangatlah layak dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Nusantara. Sebab, tidak sedikit lembaga sosial-kemasyarakatan yang telah didirikan untuk membantu proses pembangunan di negeri ini. Mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, sampai mendirikan lembaga pengelolaan zakat. Itu semua menjadi bukti Muhammadiyah tetap konsisten dalam memperjuangkan misi keumatan.
Gerakan pemberdayaan masyarakat yang menjadi ciri khas bagi Muhammadiyah itulah yang setidaknya membidani lahirnya buku ini. Di sini, Hilman Latief mampu memetakan secara gamblang ihwal ideologi kesejahteraan dan gerakan keumatan yang selalu diusung ormas keagamaan yang kini usianya hampir mencapai satu abad (berdiri pada 18 November 1912 Masehi).
Menurut Hilman, Muhammadiyah merupakan perserikatan yang sejak awal memosisikan dirinya sebagai “pelayan” umat. Ini terbukti dari gerakan yang dilakukan saat organisasi ini pertama kali didirikan, di mana K.H. Ahmad Dahlan terlebih dahulu membangun panti asuhan dan lembaga pendidikan ketimbang lembaga fatwa yang lebih bersifat ideologis (hlm. 89-90).
Ahmad Dahlan memang dikenal sebagai pribadi yang memiliki komitmen sosial tinggi. Walaupun lahir dalam lingkungan kelas menengah dan bergaul dalam lingkaran kaum priyayi di Yogyakarta, ia memiliki jiwa sosial yang tinggi. Salah satu anekdot yang kerap dirujuk adalah kisah ketika Dahlan mengajarkan makna yang terkandung dalam Alquran Surat Al-Mauun kepada para santrinya secara berulang-ulang, sembari mengingatkan betapa pentingnya menjadikan Islam lebih fungsional secara horizontal.
Bahkan, prinsip reformis Muhammadiyah yang selalu menekankan pentingnya kesejahteraan sosial dan meyakini bahwa sumber-sumber fundamental dalam Islam dapat diterjemahkan ke dalam realitas nyata, telah memberikan inspirasi bagi umat Islam Indonesia untuk melahirkan organisasi sosial-keagamaan yang lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), dan Al-Irsyad Al-Islamiyyah; walaupun dengan pola yang berbeda.
Kemudian, dalam telaah Hilman, ideologi keagamaan dan pergerakan Muhammadiyah memiliki hubungan genetis yang kental dengan gerakan pembaruan modernis-puritanistik ala Muhammad Abduh, Jalaluddin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Abdul Wahhab. Namun, aspek kesejahteraan sosial yang menjadi nilai utama organisasi ini telah menjadikan ia sangat berbeda dengan pola gerakan pembaruan di negara Islam lainnya, tempat di mana tokoh-tokoh besar itu hidup (hlm. 15).
Dalam catatan Martin van Bruinessen, perbedaaan antara Muhammadiyah dengan organisasi keagamaan mana pun, khususnya di negara-negara Islam, terletak pada spirit sosialnya. Sebab, menurut dia, saat ini tidak ada lagi organisasi besar yang mencurahkan begitu banyak waktu dan tenaga untuk melakukan kerja sosial dan membangun lembaga pendidikan seperti Muhammadiyah.
Selain itu, perumusan konsep dan pembentukan lembaga derma oleh Muhammadiyah sangatlah berbanding lurus dengan konsepsi Islam tentang kemiskinan. Sebab, banyak sekali ayat Alquran yang memerintahkan untuk mendermakan sebagian harta kepada orang miskin dan anak yatim, tapi manifestasinya dalam bentuk pendirian lembaga sosial, seperti panti asuhan dan klinik kesehatan, belumlah terealisasi secara utuh.
Alhasil, kendati Muhammadiyah acap didengungkan sebagai organisasi yang berorientasi kesejahteraan, belum banyak studi yang mengelaborasi ihwal konsep filantropinya. Maka, kajian ini bisa dijadikan studi rintisan terhadap misi keumatan Muhammadiyah, dan karena itu layak dijadikan rujukan penting dalam studi organisasi sosial-keagamaan di Indonesia.
Muslim Basyar, mahasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 November 2010
No comments:
Post a Comment