Saturday, November 27, 2010

[Teroka] Mengembalikan Eksistensi Tayub

-- Junaidi Abdul Munif

TAYUB selama ini distereotipkan sebagai sebuah seni pertunjukan tari yang mengumbar erotisisme dan jauh dari moralitas. Erotisisme tayub ditemukan dalam maraknya goyang erotis penari serta ”tradisi” menyelipkan uang sawer ke kemben penari.

Kesan inilah yang didapat penulis sejak kecil. Ketika ada tetangga yang punya hajat dan nanggap tayub (tledhek), penulis dilarang orangtua untuk menonton. Katanya itu tontonan orang dewasa. Terlebih sejak adanya peristiwa seorang laki-laki berbuat tak senonoh terhadap penari dan menimbulkan kecemasan, sejak itu pula tayub seperti mati.

Tayub semakin tersingkir oleh budaya yang lebih religius. Tayub juga dianggap sebagai sebuah seni pertunjukan yang usang. Munculnya orkes dangdut, dengan penyanyi muda yang lebih segar dan berani dalam bergoyang, semakin menenggelamkan eksistensi tayub.

Stereotipisme tersebut menimbulkan putusnya pengetahuan dan regenerasi tayub. Anak-anak muda sekarang tak banyak yang mengenal tayub. Mereka lebih mengenal seni pertunjukan yang dianggap lebih modern, seperti konser musik pop dan dangdut. Imbas lain adalah tayub menjadi seni yang tak laku ditanggap. Pada akhirnya, tayub tidak lagi menghidupi secara ekonomi para penggiatnya.

Sakralitas tayub

Dalam buku Gendhing dan Tembang yang diterbitkan Yayasan Pakubuwono X disebutkan, tayub awalnya memang tarian rakyat jelata yang sudah dikenal sejak abad XI. Kemudian Raja Kediri menjadikan tayub sebagai tarian kerajaan dan mementaskannya untuk penyambutan tamu agung kerajaan. Pada abad XII, tayub digunakan untuk penobatan Raja Jenggala. Dia mewajibkan para permaisuri menari tayub saat menyambut kedatangan raja di pringgitan.

Harmanto Bratasiswara dalam bukunya, Bauwarna Adat Tata Cara Jawa, menjelaskan, tayuban adalah tarian yang dilakukan oleh wanita dan pria berpasang-pasangan. Tayub bermula dari cerita kadewatan (dewa-dewi), saat dewa-dewi mataya (berjoget berjajar) dengan gerak yang guyub (serasi).

Pada zaman Wali Sanga, tayub digunakan untuk syiar agama Islam sehingga nilai-nilai agamis pun dimasukkan dalam tarian.

Di masyarakat agraris yang masih kental dengan kultur animisme dinamisme, tayub adalah bentuk ritual ketika terjadi peristiwa penting, seperti panen dan menyembuhkan orang sakit. Filosofi dari tari berpasangan pria dan wanita adalah simbol kesuburan (Soedarsono; 1990).

Mengapa tayub menjadi berkesan erotis dan jauh dari moralitas, itu tak lepas dari penjajahan Belanda di Indonesia. Ketika orang-orang Belanda menyaksikan tayub, karena budaya mereka yang memang membolehkan minuman keras, dan dibawa ke dalam pentas tayub, muncullah tayub yang jauh dari nilai-nilai religius. Tayub menjadi sangat berbeda dengan sejarah kemunculannya.

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, History of Java, dan Clifford Geertz dalam bukunya, The Religion of Java, pun mengamini bahwa tayuban adalah budaya yang dipenuhi aroma minuman keras dan erotisisme perempuan yang menari. Geertz bahkan dengan sinis mengatakan bahwa tayub mengandung pelacuran terselubung. Ini terjadi karena mereka meneliti tayub sesudah zaman penjajahan.

Aset budaya

Harapan untuk memunculkan kembali sakralitas tayub bisakah dilakukan? Pada zaman modern dan pragmatis ini, nilai filosofis suatu budaya mungkin hanya cerita usang yang layak dikubur dalam-dalam. Generasi zaman ini adalah generasi pragmatisme yang oleh Charles Sanders Peirce dikatakan sebagai sebuah cara pandang yang menerima kebenaran suatu pemikiran dinilai dengan fungsionalnya dalam kehidupan praktis.

Sementara tayub juga menghadapi masalah sebagai budaya lokalitas yang tergerus di negeri sendiri. Tayub kalah dari kesenian pop yang menjamur di masyarakat dan mengancam eksistensi tayub. Tayub semakin terpinggirkan oleh masyarakat yang menjadi tempat hidupnya dulu.

Namun, harapan untuk mementaskan tayub ke luar negeri terbuka lebar. Beberapa tahun lalu, tayub dari Grobogan juga pentas di Belanda. Beberapa waktu lalu Pemerintah Kabupaten Blora tak bisa membiayai tayub untuk pentas ke luar negeri karena kesulitan biaya dan tak adanya sponsor (Kompas Jateng, 3/2/2010).

Ini sebenarnya ironi dari masyarakat kita yang tak mencintai budaya sendiri. Kita baru ribut-ribut tentang budaya sendiri saat diklaim oleh bangsa lain. Karena itu, segala upaya mesti dilakukan untuk menepis kesan miring tersebut. Eksistensi tayub mesti dijaga karena itu terbukti dihargai oleh bangsa asing. Regenerasi penari, penabuh gending, juga mesti dijaga. Tidak harus nilai-nilai religiusitas simbolik yang kita gali kembali dan dapat dari tayub, tetapi harga diri bangsa kita di mata bangsa lain.

Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 November 2010

No comments: