Sunday, November 14, 2010

Lawak: Dari Basiyo ke Warkop

-- Frans Sartono

INDONESIA baru-baru ini telah kehilangan seorang atlet loncat tinggi. Dalam pertandingan kemarin, atlet itu meloncat tinggi sekali dan tidak kembali lagi....



Kutipan di atas adalah banyolan Indro Warkop yang direkam dalam album Warung Kopi Prambors Volume 1 terbitan Pramaqua tahun 1979. Pramaqua adalah semacam ”kongsi” antara perusahaan rekaman Aquarius dan Radio Prambors, Jakarta, yang saat itu menyebut diri sebagai Tempat Anak Muda Mangkal.

Aquarius sendiri saat itu juga menjadi panutan ”anak muda” dalam urusan musik. Album kompilasi yang mereka terbitkan menjadi tren dan acuan remaja era 1970-an. Johannes Soerjoko, pemilik Aquarius yang mampu membaca arah selera kaum muda, dengan jeli menangkap lawakan ala Warkop itu sebagai sesuatu yang bakal disukai kaum muda.

Ia pun memperlakukan kaset lawakan itu lebih daripada album musik. Soerjoko tidak main-main. Ia berani membayar flat sebanyak Rp 10 juta untuk album pertama Warung Kopi yang sampulnya bergambar secangkir kopi. Itu jumlah yang besar untuk ukuran tahun 1979. Pasalnya, album musik dengan teknik produksi mewah sekalipun Aquarius ”hanya” membayar Rp 5 juta.

”Tetapi, Warkop yang baru muncul berani saya bayar flat sepuluh juta rupiah,” kata Ook alias Johannes Soerjoko dalam buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang diluncurkan pada Rabu (10/11) di Jakarta.

Dan, ternyata album Warkop itu tidak main-main pula. Ook tidak main-main. Pramaqua menjual album lawak Warung Kopi untuk pasar muda. Benar, dalam waktu 45 hari, album Warkop terjual 180.000 dan sampai terakhir diproduksi telah terjual 259.000 kaset. Dua album Warung Kopi, yaitu Volume 1 dan Volume 2, kini muncul kembali dalam bentuk CD yang disertakan dalam buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main dengan Rudy Badil dan Indro Warkop, dua ”sisa-sisa laskar” Warkop, sebagai editor.

Budaya pop

Kehadiran kaset lawak Warkop pada tahun 1979 itu menjadi fenomena kebudayaan pop budaya. Sosok berawak Wahyu Sardono, Kasino, Indrojoyo Kusumonegoro, dan Nanu Mulyono pada tahun 1978 sudah dikenal publik lewat penampilan mereka di TVRI. Kaset lawak mereka yang kemudian keluar menjadi kejutan bagi publik.

Warkop menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda pada zamannya. Ia didengar di kamar remaja yang juga menikmati musik rock dari Led Zeppelin, Black Sabbath, sampai Pink Floyd. Bahan lawakan seperti kisah Si Kopral dengan ”pral... ketopral... pral ketopral... pral...” atau kisah seputar dongkrak yang naik turun menjadi bahan obrolan di sekolah atau di mana pun kaum muda nongkrong. Bahan-bahan lawakan Warkop seperti dikutip di atas menurut Rudy Badil sebenarnya sudah lama beredar di kalangan mahasiswa, terutama mahasiswa Universitas Indonesia yang merupakan ”habitat” Dono, Kasino, dan Badil.

Materi lawakan semacam itulah yang selama ini belum menyembul ke panggung atau pentas di televisi dan kaset lawak yang memang sudah tren saat itu.

Mungkin hanya sebuah kebetulan ketika kaset Warkop lahir tahun 1979, pada tahun itu juga komedian legendaris pelawak Basiyo meninggal dunia. Namun, dua peristiwa tersebut bisa dibaca sebagai penanda perubahan zaman di jagat lawak Indonesia.

Basiyo seperti mewakili komedian yang tumbuh dari budaya agraris. Warkop menampilkan lawakan dengan bahan dari kehidupan urban. Mereka tumbuh dari kalangan dengan budaya baca. Lawakan dengan bahan tertulis atau bahkan gaya ”joke reading” terasa dalam album Warung Kopi, termasuk lelucon soal atlet loncat tinggi. Atau juga pasien rumah sakit jiwa yang merasa dirinya sebagai lampu yang sebelumnya sudah banyak beredar di majalah.

Basiyo (1911-1979) dari Yogyakarta terkenal dengan model dagelan Mataram. Basiyo lahir dari budaya lisan dan tumbuh di pentas seni pertunjukan rakyat. Ia menggunakan lawakan dengan bahasa Jawa. Materi lawakannya seputar kehidupan rakyat agraris lapisan bawah mulai dari tukang becak dalam ”Basiyo Mbecak”; Tipu menipu dalam dagang sapi (Mblantik), Seputar maling (Maling Kontrang-kantring), sampai cerita klasik (Sam Pek Eng Tay).

Basiyo diterima luas oleh pendengar pengguna bahasa Jawa. Buktinya, tak kurang dari 50 judul kaset lawak pernah dibuat Basiyo dan kawan-kawan. Sampai hari ini kaset dagelan Basiyo masih banyak dijumpai di toko-toko di Jakarta. Penggemar Basiyo juga mengunggah lawakan Basiyo di internet.

”Etnic slur”

Kehadiran album Warkop bersamaan dengan terbitnya buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main itu menandai terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Indikatornya adalah adanya pengeditan bagian lawakan yang dianggap akan menimbulkan interpretasi berbeda di kalangan pendengar. Misalnya lawakan berkait dengan apa yang oleh Badil disebut sebagai etnic slur lelucon yang berkait dengan identitas etnis yang merupakan bagian dari folklor.

Dulu dengan tangkas Warkop bermain slur etnis dan tiga dekade silam publik bisa menerima dengan dewasa. Menurut Badil, etnic slur itu sebelumnya sudah beredar di lingkungan pergaulan kampus UI. Misalnya lelucon tentang orang Jawa yang kalau sendirian bermain perkutut. Jika berdua mencari kutu. ”Lebih dari empat, berlima, transmigrasi keluar Jawa....”

Kini ada bagian dari lawakan itu yang dihilangkan. Serasa ada bagian yang hilang pula dalam kehidupan rakyat sebagai sebuah keluarga besar Indonesia. Humor sebenarnya bisa merekatkan.

Sumber: Kompas, Minggu, 14 November 2010

No comments: