-- Sukardi Rinakit
SUDAH hampir tengah malam waktu itu, Franky Sahilatua tiba-tiba berkata, ”Nama gerakan kita nanti adalah ’Menyeberang’. Kita harus mengondisikan rakyat untuk berani menyeberang, melawan segala ketakutan. Hanya dengan melawan mereka akan dapat menyeberang dari hidup miskin menjadi sejahtera, dari harga pangan mahal menjadi murah dan melimpah. Orang miskin tidak lagi diperlakukan sebagai anak tiri Republik.”
Ia ingin memulai gerakan itu dengan memohon restu dari tokoh lintas agama dan forum rektor. Setelah itu, ia ingin mengajak Garin Nugroho, Moeslim Abdurrahman, Romo Benny Susetyo, saya, dan sahabat yang lain, termasuk sopir langganan kami di Yogyakarta, Sunardi, untuk keliling ke titik-titik strategis di Tanah Air. Dongeng kebangsaan harus dimulai. Lagu ”Anak Tiri Republik” serta ”Sirkus dan Pangan” ia rancang untuk menjadi darah dan napas dari gerakan itu.
Franky tidak tahan melihat kemiskinan rakyat, harga pangan yang melambung, kekerasan mengatasnamakan agama, dan elite politik yang bebal. Pendeknya, meskipun terbaring sakit didera kanker sumsum tulang belakang, hati dan pikirannya tetap untuk orang-orang pinggiran yang terempas dan merana. Ia sudah tidak tahan lagi melihat jubah Republik yang begitu kotor.
Elan lambat
Kejengkelan Franky pada keadaan yang relatif stagnan, jika tidak boleh dikatakan mundur, apabila dilihat dari kohesivitas sosial merefleksikan kecintaan sejatinya kepada Indonesia. Hatinya tulus untuk Indonesia. Untuk itulah ia memutuskan bergabung dengan gerakan sosial Nasional Demokrat ketika itu, dengan satu tujuan pasti, meneguhkan kembali hak rakyat sebagai pemilih sah Republik. Ia meninggal dengan tetap menggenggam cita-cita itu.
Mencermati Indonesia pada kuartal pertama tahun ini, saya mengambil kesimpulan simplistis bahwa nilai kinerja pemerintah saat ini tetap C, tidak berubah sejak awal berkuasa. Tidak ada hal istimewa, apalagi terobosan spektakuler yang membanggakan. Pembangunan infrastruktur tidak banyak bergerak, tumpang tindih peraturan belum juga terurai, birokrasi dan korupsi tetap mencengkeram, barang impor dari China membanjir, kekerasan atas nama agama masih berlangsung, penanganan ulat lambat, negosiasi dengan perompak Somalia untuk pembebasan sandera tidak jelas, dan harga beras hingga kini masih mahal. Rasanya sulit mencari titik pijak untuk mengibarkan kebanggaan pada kepemimpinan nasional saat ini.
Ada kesan, sampai kuartal pertama tahun ini perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih berkutat pada lingkaran sempit politik, yaitu menata koalisi partai pendukung pemerintah. Sekretariat Gabungan (Setgab) sebenarnya tidak begitu penting lagi ketika waktu efektif untuk menjalankan amanah kekuasaan tinggal 2,5 tahun. Lebih baik pemerintah fokus pada satu program saja sebagai maskot, misalnya menggenjot pembangunan infrastruktur, terutama di pedesaan. Langkah itu jauh lebih bermakna dan meninggalkan jejak sejarah daripada sekadar menata struktur kepengurusan dan jadwal rapat Setgab.
Tanpa maskot pembangunan, sulit untuk menghindari kesan kritis bahwa selama memerintah Presiden hanya mengibarkan bendera pencitraan. Banyaknya kunjungan kepala negara dan pemerintahan tahun ini, misalnya, jika tidak menghasilkan investasi yang menumbuhkan industri penghasil barang di dalam negeri sebenarnya juga sia-sia. Kesan yang timbul, pemerintah tidak saja dianggap gagal meyakinkan mereka, tetapi sekali lagi hanya mengejar pencitraan diri. Terlebih lagi kalau acara kuliah umum Presiden semakin intensif diadakan.
Dalam elan eksekutif yang lamban tersebut, ironis memang ketika kita juga mendapati perilaku kebanyakan anggota DPR yang bebal. Logika dan argumen yang mereka sampaikan sering kali tanpa dilandasi pemahaman bahwa bernegara adalah berkonstitusi. Sejujurnya saya sampai malas membahas mereka, wakil rakyat yang membodohi rakyat.
Pulau-pulau integritas
Meski demikian, fenomena Indonesia memang aneh. Ketika para elite politik nasional sibuk melakukan transaksi politik dan mengabaikan kenyataan bahwa dunia sekarang ini dihadapkan pada perubahan-perubahan ekstrem dan kompleks (Canton, 2006; Friedman, 2009), muncul tokoh-tokoh lokal yang menyelamatkan Tanah Air. Mereka adalah pulau-pulau integritas yang membuat warganya tersenyum, punya kebanggaan dan harga diri. Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan adalah sebagian dari pulau-pulau integritas itu.
Masyarakat Yogyakarta pasti bangga dengan kehidupan yang multikultur, harmonis, dan bebas berkreasi secara kultural. Di Jawa Timur, warganya memendam kebanggaan karena provinsi itu menjadi lahan subur yang dikejar investor. Kemiskinan juga dibabat tanpa toleransi di brang wetan itu. Sumatera Selatan membangkitkan optimisme publik dengan berani menjadi tuan rumah SEA Games 2011. Suatu upaya reinkarnasi kultural dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya dulu.
Lahirnya pulau-pulau integritas itulah yang juga diharapkan Franky Sahilatua. Mereka adalah pilar-pilar otonom yang menegakkan kewibawaan Indonesia. Kepada para elite politik yang hanya berbedak citra, ia pernah berkata, ”Yen kebanjur, sayekti kojur (Kalau diterus-teruskan, pasti hancur).” Kita tunggu saja. Selamat jalan, sahabat.
Sumber: Kompas, Selasa, 26 April 2011
No comments:
Post a Comment