-- Ninok Leksono
DALAM beberapa waktu terakhir, kembali banyak diwacanakan upaya untuk mengembangkan kemaritiman. Terakhir, di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (21/5), berlangsung peluncuran buku karya arsitek Martono Yuwono yang disertai dengan acara bedah buku Semangat Kebangkitan Nasional–Kembali ke Laut.
Hal itu masuk akal, mengingat dua pertiga wilayah Indonesia merupakan laut. Seperti kita pelajari dari sejarah nasional, ada banyak bukti bahwa warga Nusantara yang merupakan pendahulu bangsa Indonesia pernah memperlihatkan diri sebagai ”orang pelaut” yang tangguh. Sejarah maritim nasional akan dengan yakin menyebut kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai, dan Demak sebagai kerajaan maritim yang membanggakan.
Oleh bermacam sebab, tradisi kemaritiman Nusantara ini surut secara berarti. Padahal, Indonesia pernah begitu semangat memperjuangkan Hukum Laut yang dimaksudkan untuk mendukung Wawasan Nusantara, yang intinya menegaskan status Indonesia sebagai negara maritim. Kita bahkan juga semangat untuk mengklaim zona ekonomi eksklusif; yang seperti namanya, ingin kita eksploitasi sepenuh-penuhnya untuk memajukan bangsa dan negara.
Kultur maritim
Selain sejarah, sebenarnya ada lagi alasan kultural yang baik untuk menjadi sumber inspirasi bagi kebangkitan bangsa. Mengutip Direktur Pusat Kajian Masalah Laut dan Pengembangan Peradaban Maritim Muhammad Karim, Martono menulis, secara sosio-antropologis kultur maritim lebih progresif dibandingkan dengan kultur daratan. Interaksi di antara komunitas yang tinggal di wilayah pantai juga lebih dinamis. Dinamika oseanografi air laut—yang diperlihatkan oleh gelombang, arus, dan angin—cenderung memengaruhi perilaku dan sistem nilai dalam konstelasi budaya dan politik masyarakat pantai. Sifat-sifat terbuka, berani, egaliter, menerima keragaman lebih berkembang di komunitas pantai.
Masyarakat pantai—melalui pelayaran dan perdagangan—juga cenderung memiliki jiwa interaktif lebih tinggi dengan komunitas luar yang secara kultural, etnis, dan agama berlainan. Sebagai hasilnya, mereka punya pandangan yang lebih pluralistik dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pedalaman.
Hanya saja, bersama dengan hilangnya tekad untuk menjadi bangsa yang berciri maritim, hilang pula peluang untuk menggali karakter atau trait unggul dari masyarakat pantai tersebut.
Kini, ketika kehidupan di darat semakin pengap dengan tekanan sosial-ekonomi yang semakin berat, Martono dan sejumlah kalangan lain yang punya keyakinan pro-maritim ingin membangkitkan kembali kejayaan maritim. Mungkinkah itu, apa syaratnya?
Dukungan teknologi
Atas dasar sejarah, ”kembali ke laut” oleh Martono disebut sebagai hak kultural. Sejumlah upaya sebenarnya mencerminkan tekad ini. Secara simbolik, tekad ini juga dicerminkan dengan sejumlah pelayaran bersejarah, seperti pelayaran KRI Dewaruci, Pelayaran Phinisi Nusantara ke Vancouver (1986), Ekspedisi Phinisi Bugis Amanagappa ke Madagaskar (1992), lalu Pelayaran Borobudur untuk menapak tilas rute perdagangan kayu manis pada masa lalu hingga ke Afrika Barat (2003). Ada lagi satu elemen lain yang disebut, yakni satelit Palapa yang mengarungi antariksa mengelilingi dunia.
Akan tetapi, cukupkah misi-misi tersebut di atas menghidupkan kembali jiwa maritim bangsa Indonesia? Rupanya, agar tekad maritim di atas menjadi berkah bagi kesejahteraan Indonesia, masih dibutuhkan kerja lebih banyak.
Kini, diharapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa secara nyata membenahi kehidupan nelayan dengan memberi mereka kesempatan untuk berkembang dan menjadi tuan di negeri sendiri. Selama ini yang banyak terdengar adalah justru makin maraknya kapal nelayan asing yang terlibat dalam illegal fishing, yang disebut-sebut merugikan negara tidak kurang dari 5 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Hal itu bisa terjadi karena Indonesia kekurangan kapal patroli, juga kekurangan kapal nelayan yang dapat mengambil ikan di laut dalam. Sementara nelayan asing memiliki kemampuan itu, bahkan mereka disebut juga telah menerapkan teknologi satelit guna memandu kapal mereka menuju titik-titik yang menjadi konsentrasi ikan di laut.
Untuk urusan kapal ini, agar bangsa bisa kembali menjadi ”a sea-faring nation”, tidak bisa lain industri galangan kapal nasional juga perlu direvitalisasi. Kita membayangkan, kalau saja cita-cita ”kembali ke laut” ini dapat diwujudkan, industri kapal nasional bisa berproduksi tanpa akhir. Ini karena pesanan akan terus mengalir dan, ketika pesanan ke-500, misalnya, diselesaikan, kapal pertama sudah perlu diganti.
Bisa juga ditambahkan, selain memproduksi kapal nelayan, industri kapal juga perlu dikembangkan untuk pembuatan kapal-kapal jenis lain, seperti kapal patroli Bea dan Cukai, kapal patroli keamanan laut, bahkan kapal perang. Maklum saja, wilayah laut yang luas juga mengamanatkan pengamanan kedaulatan.
Bahkan, apabila visi kelautan yang terkait dengan upaya pengembangan ekonomi juga ingin direalisasikan, bisa dituju pula aktivitas eksploitasi laut dalam, di mana diperkirakan terdapat nodul mineral bernilai tinggi, tetapi membutuhkan teknologi lebih canggih untuk menggarapnya.
Jadi, wacana memulihkan hak kultural baru akan lengkap apabila ia juga disertai dengan peningkatan kemampuan teknis untuk mewujudkannya. Kita sudah belajar dari pengalaman bahwa mewujudkan tekad melalui wacana—atau glorifikasi masa lalu—tidak akan membawa kita ke mana-mana.
Sumber: Kompas, Rabu, 26 Mei 2010
No comments:
Post a Comment