Saturday, May 08, 2010

[Teroka] Disandera Komunitas Hitam

-- Indra Tranggono

PUJANGGA asal Jawa Ronggo Warsito (1802-1873) mungkin tersenyum pahit melihat kondisi negeri ini. Kadar kegilaan negeri ini telah melebihi zaman edan yang ia tulis dalam serat Kalatida (zaman bimbang). Zaman edan ketika ia hidup tidak menimbulkan penderitaan rakyat sespektakuler terjadi saat ini.

Mungkin Ki Ronggo juga semakin waswas, apakah pada era digital dan neoliberal yang menyembah hedonisme ini orang masih sanggup mawas diri: sak beja-bejane wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada (seberuntung-beruntungnya orang lupa masihlah beruntung mereka yang selalu sadar dan waspada).

Sadar dan waspada butuh asketisme tingkat tinggi, di antaranya dengan mengurangi/menekan hedonisme—segala bentuk kenikmatan yang bisa menyeret ke arus kenistaan. Dalam kenistaan itu, manusia mengalami kematian eksistensial: nilai kepribadian, harkat, dan martabat lenyap hingga yang tersisa hanya wadag (fisik).

Zaman serba wadag melahirkan manusia-manusia pengejar kepuasan personal dan menolak orientasi sosial. Etos kolektif kebangsaan rubuh dan terpuruk. Solidaritas sosial menguap.

Para penyelenggara negara yang lebih sibuk mengurusi dan mengamankan kepentingan modal besar/kuat daripada membasuh luka-luka sosial rakyat telah menggiring masyarakat memasuki sel-sel individualisme. Masyarakat terurai dan terpecah sehingga mudah dihegemoni, dihadapkan pada teror: survival of the fittest, doktrin kapitalisme/neoliberalisme.

Teror ekonomi

Kini, publik tidak lagi menghadapi teror politik yang menggerus kebebasan berpendapat seperti pada era Orde Baru. Teror saat ini adalah teror ekonomi yang serba pasti dan anti-negosiasi. Tanpa didengar, orang dibebaskan mengumbar pendapat sampai lelah, putus asa, lapar dan akhirnya menyerah pada segala bentuk kompromi. Terlalu efektifnya model penguasaan ini membuat rezim tidak perlu risau dengan semua gejolak publik. Orang Jawa bilang, ndableg (cuek) is the best. Seorang aktor istana dengan enteng bilang, masyarakat kini lebih peduli dengan blackberry daripada keadilan.

Teror ekonomi yang manifestasinya adalah tingginya harga kebutuhan pokok, ongkos pendidikan, biaya kesehatan, dan kebutuhan mendasar lainnya telah menjadi teater sehari-hari masyarakat, khususnya kelompok sosial menengah ke bawah. Ironisnya, teater penderitaan itu berjalan seiring dengan teater mafia pajak, mafia kasus/mafia hukum, dan mafia politik yang menguras uang rakyat.

Di tengah kecemasan untuk bertahan dari gerusan kemiskinan dan kebodohan, rakyat menyaksikan dengan mata batinnya, uang miliaran bahkan triliunan tumpah ruah berseliweran dan akhirnya dikorupsi. Inilah kekerasan (para penyelenggara) negara dan kroni-kroninya yang sangat menyakitkan rakyat.

Rakyat pun tergagap mengucap, uang negara melimpah tetapi bukan untuk kita. Rakyat pun akhirnya sadar: dirinya hanya menjadi konstituen temporer yang dibutuhkan ketika pemilu; rakyat tidak dihitung sebagai pemilik sah kedaulatan.

Menurut Bibit Samad Riyanto (2010), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, korupsi dilakukan tiga jenis komunitas hitam, yakni komunitas politik hitam, komunitas ekonomi hitam, dan komunitas hukum hitam. Tiga komunitas hitam itulah yang selama ini menghambat dan memperlemah upaya pemberantasan korupsi, termasuk yang dilakukan KPK.

Tiga komunitas hitam itu bercokol di urat nadi negara dan berpotensi meremas jantung negara. Mereka tidak peduli negara sakit parah dan gagal membangun kesejahteraan dan martabat rakyat, selama negara tetap menjadi anjungan tunai mandiri (ATM) abadi mereka. Mereka menguras ATM itu sepanjang waktu. Ukuran kepuasan bukan rasa kenyang menyantap uang, tapi rasa capek. Celakanya, mereka tidak punya rasa capek.

Jika Ki Ronggo Warsito hidup di zaman superedan ini, tentu akan mendapat inspirasi sangat dramatik. Akan lahir tembang-tembang sosiologis-politik seputar kejahatan terorganisasi di bidang hukum, politik, dan ekonomi. Mungkin akan lahir Serat Kalanyolong—zaman sarat pencurian. Ia tak perlu menyisipkan pesan moral: eling lan waspada karena itu dianggap tidak marketable. Atau, ia justru diam menahan tangis di rongga hatinya.

* Indra Tranggono, Pemerhati Budaya, Bermukim di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010

No comments: