-- Yurnaldi
BERBAGAI laporan dan dokumentasi kuno menyebutkan, di perairan Indonesia terdapat puluhan ribu kapal tenggelam. Kapal-kapal karam beserta muatan berharganya, dari abad ke-4 sampai dengan Perang Dunia II, tentu menjadi peninggalan budaya bawah air yang menarik dikaji.
Sebanyak 12.415 benda muatan kapal tenggelam (BMKT) telah diangkat dari bangkai kapal di perairan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Rabu (5/5). Setidaknya ada 10 ciri untuk menentukan usia dan asal keramik. (KOMPAS/LASTI KURNIA)
Selain menarik dikaji, kapal tenggelam beserta muatannya telah menjadi komoditas ekonomis dengan nilai jual tinggi. Buktinya, hasil pengangkatan kapal tenggelam di Laut Jawa, sekitar 12 mil perairan utara Cirebon, Jawa Barat, nilai jualnya ditaksir minimal Rp 720 miliar.
Sebelum ada pengangkatan yang telah memperoleh izin dari pemerintah itu, pengangkatan ilegal dari dulu sampai sekarang masih terus berlangsung. ”Kini, pihak kepolisian tengah melakukan penyelidikan terhadap pengangkatan benda cagar budaya (BCB) di daerah Blanakan, Kabupaten Subang, yang diduga (kembali) melibatkan seorang arkeolog maritim Berger Michael Hatcher,” kata Direktur Peninggalan Bawar Air, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Surya Helmi.
Kasus-kasus sebelumnya, Berger Michael Hatcher berhasil melelang tinggalan arkeologi dasar laut Indonesia secara ilegal. Warga negara Australia kelahiran Inggris tahun 1940 itu menjadi miliarder setelah menemukan 225 batang emas dan 160.000 buah keramik di perairan Riau. Hasil jarahannya itu dilelang di Balai Lelang Christie, Amsterdam, tahun 1986 senilai 16 juta dollar AS.
Kasus-kasus pencurian BCB dasar laut ini tidak saja menyebabkan rusaknya situs karena tak mengindahkan nilai kultural, tetapi Indonesia juga akan kehilangan informasi yang penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan karakter bangsa dan sejarah perjuangan bangsa.
Muatan keramik
Dari kapal-kapal tenggelam, hampir selalu keramik ditemukan dalam jumlah relatif besar. Bambang Budi Utomo dari Puslitbang Arkenas yang menjadi editor buku Kapal Karam Abad ke-10 di Laut Jawa Utara Cirebon
mengatakan, kapal tenggelam yang artefaknya telah diangkat berasal dari kapal niaga, barang dagangannya sebagian besar, bahkan hampir 90 persen berupa keramik. Selebihnya adalah tembikar dan barang-barang kaca.
Pihak perusahaan pengangkat artefak dasar laut di laut Jawa utara Cirebon melaporkan, benda yang diangkat berjumlah 541.341 buah, terdiri dari 519.942 buah benda keramik dan 21.399 buah benda-benda dari berbagai bahan, seperti kayu, kaca, logam, dan lain-lain.
Dari 256.943 buah keramik yang bernilai ekonomis, sebanyak 221.124 buah adalah porselin dan bahan batuan, sementara sebanyak 35.819 buah adalah terbikar. Dari jumlah ratusan ribu buah keramik itu, setidaknya terdapat sembilan bentuk wadah, yaitu mangkuk, piring, cepuk, pasu, teko, guci, buli-buli, pedupaan, dan tempat tinta.
Identifikasi keramik
Porselin dan bahan batuan sangat jelas bukan buatan lokal. Selama ini barang-barang seperti itu telah ditemukan di berbagai situs di Indonesia, dan diketahui berasal dari berbagai negara, seperti Tiongkok, Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, dan Kamboja), Timur Tengah, Jepang, dan Eropa (seperti Belanda dan Jerman).
Menurut Widiati, peneliti dan ahli keramik kuno, Keramik yang sering ditemukan di Indonesia berasal dari China (abad ke-2–20 Masehi), Thailand (abad ke-13–18 M), Vietnam (abad ke-8–18 M), Eropa (abad ke-17–20 M), Jepang (abad ke-17–20 M), dan Timur Tengah (abad ke-7–14 M).
Bagaimana mengidentifikasi keramik sehingga diketahui masa pembuatan keramik itu?
Menurut Widiati, dalam mengidentifikasi temuan keramik, pihaknya lebih dulu mencermati unsur bentuk utuh dari keramik tersebut.
”Setelah itu dicermati unsur ruang, yaitu tempat di mana benda itu ditemukan (situs), dan atau tempat asal benda itu dibuat (negara, provinsi, distrik, dan tungku). Setelah itu juga dicermati unsur waktu, pertarikhan, yaitu pertanggalan relatif dari masa pembuatan keramik porselin atau bahan-bahan tersebut. Biasanya berdasarkan masa pemerintahan di China yang sudah diketahui,” ujarnya.
Warna glasir
Widiati, yang kini Kepala Subdit Pengendalian Pemanfaatan pada Direktorat Bawah Air Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, berpendapat, untuk menentukan kapan keramik itu dibuat, antara lain dapat diketahui berdasarkan warna glasir atau pola hias. Misalnya, keramik-keramik Vietnam yang berglasir warna tunggal, seperti putih, hijau, atau hitam, diketahui berasal dari sekitar abad ke-13 hingga ke-14. Atau keramik Thailand yang mempunyai hiasan berupa ikan yang diletakkan pada bagian permukaan dalam dari dasar wadah diketahui berasal dari abad ke-14.
Setidaknya ada 10 ciri yang dapat digunakan untuk keperluan analisis keramik. Tujuannya untuk mengetahui asal daerah pembuatan, bentuk asal dan pertanggalan. Kesepuluh ciri itu adalah bentuk pecahan, besaran, orientasi pecahan, jenis bahan dasar, warna bahan dasar, pola hias, teknis hias, warna glasir, teknik glasir, dan sisa pengerjaan.
Untuk menentukan asal daerah pembuatan, digunakan ciri yang meliputi bentuk pecahan, besaran pecahan, ketebalan, orientasi, jenis bahan dasar, pola hias, warna glasir, dan teknik glasir. ”Adapun untuk penentuan masa pembuatan keramik diperlukan pengamatan terhadap bentuk, jenis bahan dasar, warna bahan dasar, pola hias, teknik hias, dan warna glasir,” ujar Widiati.
Jejak pembuatan, kalau kita jeli bisa ditemukan suatu tanda —yang sengaja atau tidak sengaja—tampak pada permukaan porselin atau bahan batuan setelah terjadi proses pembakaran.
Tentang temuan keramik di perairan utara Cirebon, berdasarkan identifikasi dan tipologi benda-benda keramik itu, merupakan keramik abad ke-10 Masehi dari masa Dinasti Lima.
Sudah tentu, melalui hasil identifikasi keramik ini, ada sedikit-banyaknya tambahan data untuk merangkai sejarah kebudayaan masa lampau Indonesia.
Sumber: Kompas, Kamis, 20 Mei 2010
No comments:
Post a Comment