Sunday, May 09, 2010

Polemik: Nalar Uang dan Nalar (Pengarang) Sastra

-- Bandung Mawardi

SEORANG lelaki suntuk membuat esai-esai kecil tentang harga sastra, sejarah ekonomi sastra, uang dalam jejak kolonialisme-modernitas, transformasi ekonomi-sosial-kultural dalam proyek menjadi Indonesia, dan rezim korporasi sejagat dalam sastra. Pembacaan dan pencatatan atas sekian teks sastra Indonesia membuat lelaki itu menundukkan kepala karena merasa kerepotan mendapati ilustrasi dan persemaian imajinasi atas pelbagai garapan tema-tema dalam sastra di Indonesia pada abad XX.

Tumpukan sekian novel sebagai pilihan untuk membaca tanda-tanda zaman hampir membisu. Lelaki itu memilih untuk melacak jejak uang kendati harus memilih dengan agak sembrono karena belum menemukan peta ”ekonomi sastra” di negeri ini.

Pembacaan terselamatkan ketika menggauli teks-teks sastra Melayu Tionghoa. Pengarang-pengarang dari kalangan Tionghoa dengan gairah tak biasa mulai membuka jalan kesadaran untuk memerkarakan uang dengan acuan-acuan ”faktual”. Pengisahan dalam anutan sastra dan jurnalistik kentara menampilkan kepekaan atas peran, makna, dan efek uang dalam pelbagai komunitas sosial di Hindia Belanda. Kepekaan ini mungkin ditunjang dengan antusisme kalangan Tionghoa mengurusi sektor-sektor ekonomi. Uang menjadi diskursus besar dan menentukan nasib di geliat kolonialisme.

Inilah daftar pendek mengenai penggarapan tema uang dalam sastra Melayu Tionghoa: Lo Fen Koei (1903) oleh Gouw Peng Liang, Oey Se (1903) oleh Thio Tjon Boen, Dengen Duwa Cent Jadi Kaya (1920) Thio Tjin Boen, Berkahnya Malaise (1933) oleh Kwee Tek Hoay, Satu Milliun (1938) oleh Soe Lie Piet, dan lain-lain. Deretan teks sastra ini merupakan dokumen zaman. Para pengarang kerap memberi klaim bahwa cerita itu dituliskan dengan pengajuan ada kejadian atau fakta. Pembaca digoda untuk memberi ”keberimanan” dan anutan atas pernyataan klaim. Simaklah keterangan dalam pembuatan judul dan tata bahasa pada sampul: ”cerita yang betul suda kejadian di pulo Jawa dari halnya satu tuan tana dan pachter opium di Res”, ”yaitu satu cerita yang amat endah dan lucu yang betul sudah kejadian di Jawa Tengah”.

Peka

Pencatatan mulai dilakukan untuk mengetahui wacana uang dalam sastra. Sekian teks sastra itu lumayan memberi ilustrasi tentang situasi Hindia Belanda dan persepsi orang atas pelbagai hal mengenai uang. Kisah mengejutkan muncul dalam Oey Se. Tokoh Oey Se takjub melihat bocah main layangan terbuat dari uang kertas. Hasrat uang pun tumbuh. Oey Se minta bertemu dengan bapak si bocah. Bapak ini tinggal di dalam hutan dan naif alias tidak tahu kalau kertas-kertas di keranjang itu adalah uang. Makna uang tak menyentuh nalar. Seni merayu dilancarkan untuk mendapati uang kertas dalam dua keranjang. Oey Se berhasil membeli uang itu dengan harga murah.

Simaklah: ”... maka sekarang Oey Se dapat harta kira-kira kurang lebih f 5.000.000 (lima miliun rupiah) tapi sebab di dusun tiada kenal itungan, maka ia dibayar f 14.” Uang telah membuat si bapak itu dan Oey Se ekstase: ”Si tuan rumah kaget lihat duit begitu putih sebab uang f 14 buat orang miskin begitu ada besar sekali harganya, lebih lagi si Oey Se jadi lemas dan merasa tida karuan di dalam dirinya....”

Persepsi atas uang terbentuk dalam kondisi perbedaan latar kelas sosial, derajat ekonomi, dan nalar. Persamaan dan kontras ini mesti diletakkan dalam konteks zaman pada saat gerak ekonomi di Hindia Belanda memusat pada kalangan tertentu. Nalar uang ada untuk kepemilikan otoritas. Persepsi kaum miskin terhadap uang terbentuk karena nalar lapar atau nalar pertahanan hidup. Perbedaan nalar uang untuk keserakahan atau hasrat kapitalistik melampaui dari nalar uang dalam jerat kemiskinan dan ketidaksanggupan masuk dalam lingkaran ekonomi produktif.

Pencatatan atas uang ini memang hampir menginsafkan atas pamrih seorang lelaki membuat proyek kecil untuk riset sastra. Lelaki itu mafhum ada tendensi untuk memperkarakan uang dalam sastra di luar Balai Pustaka atau pencapaian pengarang-pengarang Pujangga Baru. Pikat sastra Melayu Tionghoa melahirkan kesadaran tentang sensibilitas pengarang untuk memerkarakan uang secara reflektif, kritis, dan dokumentatif. Pikat ini menjadi modal untuk keluhan atas pengabaian peran sastra Melayu Tionghoa dalam penulisan sejarah (resmi atau baku) sastra di Indonesia. Data-data ini bisa dipakai untuk tidak meratapi atas ketidaksanggupan pengarang sastra Indonesia modern dalam menggarap tema uang. Lelaki itu sadar, tetapi merasa ada kegagalan atau kekurangan saat para pengarang dalam sejarah sastra resmi memakai tema uang sebagai instrumen atau wacana sekunder. Pemahaman atas kondisi ekonomi, fakta sosial-kultural, arus modernitas, kegenitan kolonialisme, atau represi politik.

Nalar

Lelaki itu sengaja memilih kutipan dari Berkahnya Malaise untuk menunjukkan kepekaan pengarang sastra Melayu Tionghoa terhadap makna uang dalam suatu zaman. Simaklah alinea pembuka ini sebagai tanggapan kreatif atas situasi 1930-an: ”Yang malaise atawa economisch depressie sudah mendatengken kasangsaraan heibat pada manusia di seluruh dunia, itulah semua orang sudah tau. Bagimana besar kadukaan, kasedihan, kasusahan dan kakalutan yang ditumbulkan oleh malaise, itu pun sudah cukup banyak dituturken satiap hari, hingga sekalipun anak-anak kecil bisa mengarti bagimana heibatnya kasukeran yang manusia musti tanggung dan hadepken di ini masa lantaran malaise punya gara-gara.”

Kutipan ini informatif dan kentara memiliki tendensi untuk mendedahkan fakta-fakta ekonomi, sosial, politik, dan kultural di Hindia Belanda saat malaise menimpa dunia. Makna uang menjadi menentukan dalam narasi Kwee Tek Hoay. Sastra tak sekadar bicara uang sebagai pemanis atau pelengkap. Kwee Tek Hoay justru mengantarkan pembaca untuk menelisik relasi uang dengan pelbagai lini kehidupan manusia. Garapan kritis dalam sastra memungkinkan model kritik sastra menjadi multidimensional ketika harus mengurusi uang.

Lelaki penulis esai ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Kompas, 7 Maret 2010) memberi tawa kecil saat membaca esai tanggapan dari Binhad Nurrohmat dengan titel ”Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang?” (Kompas, 14 Maret 2010). Binhad seperti mau mengoreksi tentang pernyataan ketidakpekaan pengarang di Indonesia dalam menggarap tema uang. Koreksi itu dikuatkan dengan pengajuan contoh: Telegram (1972) oleh Putu Wijaya, Pasar (1995) Kuntowijoyo, Belenggu (1940) oleh Armijn Pane, dan Ronggeng Dukuh Paruk (1982) oleh Ahmad Tohari. Binhad justru terkesan memihak kelihaian Nikolai Gogol dalam Shinel (1842). Binhad mengingatkan apa atau terpikat oleh apa? Silakan novel-novel itu diajukan sebagai contoh kendati kurang mengena dalam pamrih sorotan uang dan modernitas.

Lelaki itu masih memikirkan tentang keterputusan atau pergeseran wacana uang dalam garapan sastra di Indonesia. Sekian teks sastra Melayu Tionghoa telah jadi pemula. Antusiasme pengarang Tionghoa ini tentu dipengaruhi oleh pelbagai fakta kelas sosial, kekuatan ekonomi, nalar kapitalistik, imperatif politk-kolonialisme, atau hasrat modernitas. Mengapa pengarang-pengarang dalam jejak sejarah resmi sastra Indonesia dan sajian sekian teks sastra hari ini abai dengan uang. Apakah sudah tak ada titik temu atau intimitas antara nalar uang dan nalar (pengarang) sastra?

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Sumber: Kompas, Minggu, 9 Mei 2010

No comments: