-- Wayan Kun Adnyana
RABU (12/5) sekitar pukul 22.00 Wita, ketika masyarakat Bali diliputi suasana perayaan hari raya Galungan, pelukis Nyoman Sukari berpulang. Sebagaimana diwartakan Kompas, Minggu (2/5), pelukis kelahiran Ngis, Karangasem, 6 Juli 1968, itu telah lebih dari sebulan tergolek berjuang melawan serangan penyakit.
Nyoman Sukari (WAYAN KUN ADNYANA)
Sesungguhnya, sudah dua kali seniman penggali alam mistik Bali ke dalam wajah seni lukis kontemporer Indonesia itu berjuang dalam perih sakit yang merajam lever dan paru-parunya sebelum akhirnya penyakit itu merenggut nyawanya. Di tahun 2005, ia juga sempat mengalami hal yang sama, hingga beberapa bulan opname di rumah sakit, tetapi kemudian pulih dan sembuh. Semangat berkarya pun kembali beringas, dengan semena memoles cat minyak di kanvas-kanvasnya yang berukuran besar. Banyak rekan perupa menasihati agar Sukari mengganti cat berpengencer terpentin itu dengan akrilik, tetapi ia bergeming.
Kabar kepulangan salah satu pentolan kelompok seniman Sanggar Dewata Indonesia (SDI) itu memang membuat masyarakat seni rupa Bali dan Yogyakarta berduka. Status Facebook, pesan singkat telepon genggam, berseliweran mengabarkan berita dukacita itu.
Masih hidup
Dalam benak kolektif seni rupa Indonesia, tentu Sukari masih hidup, bahkan akan tetap hidup. Ia sosok fenomenal. Kemunculannya di medan seni rupa Indonesia era 1990-an hadir bak bintang. Dibicarakan, diburu kolektor, dicemburui, pun karya ”mistik kontemporer” yang digalinya selalu dibahas.
Karya dan sosok Sukari telah populer di usia muda. Ia pengobar semangat sekaligus sumber inspirasi bagi teman-teman seangkatannya, baik di Kelompok Sebelas SDI maupun Spirit 90 (angkatan 1990 ISI Yogyakarta). Guyub dalam berkarya artistik, kedua organisasi informal para perupa ini memang memunculkan nama-nama perupa Bali tangguh, seperti Nyoman Sukari, Made Sumadiyasa, Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Made Mahendra Mangku, dan Made Wiradana.
Bahkan, jika membaca garis sejarah bagaimana karya-karya pelukis muda Bali kisaran umur 25-30 tahunan memantik riuh boom seni rupa, sepertinya dimulai dari generasi Nyoman Sukari dan pelukis Made Sumadiyasa di Yogyakarta. Bagaimana tidak, ketika masih duduk di bangku kuliah, saat teman-teman pelukis seangkatan di ISI Yogyakarta sedang suntuk menggauli tugas-tugas dari dosennya, kedua pelukis tadi telah menjadi pusat perhatian. Karya-karya mereka dipandang sebagai karya pelukis sungguhan, bukan lagi karya studi mahasiswa yang wajib dikoreksi para pengajar di kampus.
Berbeda dengan Sumadiyasa yang menggali impresi-impresi alam ke dalam kanvas, Sukari lebih pada penyusuran mistik dan ritual Bali sebagai titik tolak berkarya. Karya-karya Sukari yang beringas dengan sapuan warna, citra totem-totem purba yang seram, bahkan menjadi semacam ”genre” baru rupa seni lukis Yogyakarta medio 1990-an. Artistik ”mistik” yang ekspresif itu perlahan menggeser pesona seni lukis ”surealis Yogya” yang di era 1980-an menjadi primadona.
Semangat berkemerdekaan dalam membadankan citra-citra ikonik tradisi Bali itu menjadikan Sukari sebagai tokoh sentral kebangkitan—apa yang kemudian—disebut sebagai abstrak-ekspresionisme Bali. Cara-cara pengungkapan penanda budaya-budaya Bali lama dengan kebebasan tanpa kontrol; spontan, berenergi, sekaligus mempribadi. Tentu saja ini berbanding terbalik dengan yang dirintis generasi akademis seni rupa pertama Bali, semacam Nyoman Tusan yang lebih dekoratif.
Lebih unik lagi, Sukari mewatakkan kehidupan sehari-harinya nyaris tak berjarak dengan gelagat ekspresi seninya tersebut. Di saat perhatian publik begitu riuh, ia tetap menjadi sosok Bali; egaliter dalam bergaul, selayak hidup di alam agraris pedesaan. Ia sangat jauh dari kehidupan elitis modern, sebagaimana lazim mendera kehidupan perupa muda di puncak perhatian yang tampil bak selebriti.
Di kalangan perupa-perupa Bali yang bermukim di Yogyakarta, Sukari adalah sosok pengempu, selayak wali bagi adik-adik kelasnya, terutama ketika anak-anak Bali di rantau itu sedang menggelar upacara nikah atau upacara bagi bayi. Suami dari Nyoman Aryaningsih ini mempunyai jalur khusus dengan para pendeta Hindu di Yogyakarta.
Sungguh tidak ada yang mengada-ada dalam kehidupan dan kesenian Sukari. Ia terobsesi untuk menguak tabir dunia mistik dalam kehidupan masyarakat Bali karena ia sendiri menjalaninya dengan bergaul kepada para empu, pun kepada tetua, dan pendeta. Ide dalam berkarya seni bukan menjadi sesuatu yang dicari. Ihwal berkesenian adalah laku keseharian itu sendiri.
Belakangan, karya-karya Sukari justru bertolak dari peristiwa sehari-hari dalam citraan yang berbeda. Ia mengamati kehidupan ”sial” kaum urban perkotaan yang muram. Lukisan-lukisannya dipenuhi wajah-wajah murung dengan sapuan-sapuan yang tebal. Ini bukan sebuah lompatan, tetapi semacam pengalihan sudut pandang dalam melihat realitas di sekitar hidupnya. Dengan cara itu, ia pernah mengatakan, seni bukan sesuatu yang berjarak, melainkan penghayatan atas kehidupan itu. Kini, Sukari benar-benar menghayati hidup dalam laku yang berbeda. Ia pergi di saat memulai lagi mencari posisi seni rupanya....
* Wayan Kun Adnyana, Penulis Seni Rupa, Pengajar di FRSD ISI Denpasar
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Mei 2010
No comments:
Post a Comment