--Hardi Hamzah
PERDEBATAN panjang tentang ideologi terus bergulir, ini terjadi pada paruhan pertama 79-an, di mana ketika itu sedang gencar-gencarnya penataran P4, suatu indoktrinasi yang berbau proyek parsial dan pragmatis.
Pancasila, selama 32 tahun menjadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan ilmuan ketika itu. Sementara itu, di pihak pemerintah terjadi indoktrinasi besar-besaran. Karena indoktrinasi disesuaikan dengan kehendak untuk mengukir kesejarahan rezim, bagaimanapun dikesankan di rezim Soeharto Pancasila sangat sakti, meskipun hari lahirnya tidak pernah diperingati. Sosok bagaimana Pancasila kok bisa sakti, tetapi kelahirannya tidak pernah ada, itulah sejarah. Di era ini, Pancasila menjadi patok utama suatu merek dagang politik, namanya demokrasi Pancasila.
Sementara itu, dalam perdebatan akademis, Mubyarto (1982) mencari bentuk ekonomi Pancasila, dan Arief Budiman meng-counter-nya dengan sosialisme modern yang egalitarian. Kendati belum ada benang hijau yang jelas tentang Pancasila itu sendiri, perdebatan tentang Pancasila terus dilakukan. Yang cukup spektakuler ketika itu, adanya kongres di Yogya tentang Pancasila sebagai epistimologi sains sosial (1987). Kongres yanng berlangsung dua puluh tiga tahun lampau itu, kenyataannya tidak menghasilkan apa-apa.
Di era Sueharto, Pancasila memang sangat sakral untuk diotak-atik. Pancasila hanya boleh dirujuk lewat formulasi P4 dan BP7, ketika itu koridornya telah baku, ia diimplementasikan dari penataran ke penataran, sehingga rutinitas proyek ini hanya sekadar instrumen pelengkap penderita atau pelengkap penggembira dari rezim yang ada. Jadilah Pancasila hanya sebagai huruf-huruf mati di bawah bayang-bayang status quo. Padahal, ideologi, kalau hanya di bawah bayang-bayang status quo, hampir dapat dipastikan, ideologi akan mandul, tidak mengakar, bahkan jauh dari rakyat. Terlebih lagi ideologi itu terkurung oleh kekuatan militer, ia justru akan menampilkan bentuk pseudo idelogy (ideologi semu), dalam arti ketidakpastian dan kepura-puraan di tingkat elite politik. Karena ideologi akan larut oleh kegamangan dan kediktatoran. Itulah yang terjadi pada era Soeharto melalui pemanisnya demokrasi Pancasila.
Di era reformasi, ketika dunia semakin tak terbendung, masing-masing membawa napasnya sendiri-sendiri. Semisal, puritanisme agama dalam berbagai bentuk haroqah, munculnya aliran Islam keras, ekstrem kanan, tadikalisme, sekularis, Islam nasionalis, dan lainnya. Maka Pancasila yang kita agung-agungkan sebagai way of life itu mati suri, setidaknya pingsan di tengah arus yang over loading dewasa ini. Arah dan pandangan kita, pun menjadi tidak jelas, belum lagi kita meniadakan GBHN, dan menganakemaskan otonomi, ekonomi pasar, politik anarkistis, pilkada dengan segala kehebohannya, Pancasila sudah jauh tercecer.
Dalam tulisan ini, penulis, hanya sekadar melihat, betapa Pancasila sebagai way of life, sesungguhnya telah dan harus, bahkan secara sederhana, mudah mengimplementasikannya. Ini kalau sebagai bangsa kita concerned, bahwa Pancasila adalah dasar negara. Kita lihat saja, Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jelas, kita adalah masyarakat yang berketuhanan. Dan ritus keagamaan yang normatif itu, jalankan saja dahulu, nanti kita bicara tentang nilai yang berkaitan dengan kualitatif. Tapi coba ritual biarlah, tapi kita jalankan salat lima waktu. Lantas Sila Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kok rasanya kita semakin lama semakin jauh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pengungkapan skandal HAM yang tercecer, ketidakpedulian kita terhadap kaum duafa semakin menguatkan kita sebagai bangsa yang tidak beradab.
Persatuan Indonesia, sebagai sila yang ketiga. Ancaman disintegrasi pragmatis seperti OPM nyata-nyata semakin menunjukkan kekuatannya. Konflik horizontal dan kolonialisasi budaya kita serta kepulauan kita oleh bangsa serumpun, tidak sedikit pun kita memberi perlawanan yang berarti. Kalaupun ada, itu hanya gagah- gagahan kaum elite yang tidak menganggap rakyatnya serius untuk menyatukan orientasi. Ini dapat terlihat ketika Malaysia sekehendak hati mencabik kebudayaan kita.
Sedangkan Sila Keempat, yang mengajak kita untuk berdemokrasi melalui musyawarah lewat wakil-wakil kita, ternyata wakil-wakil kita justru mendahulukan conflict of interest dan vested interest, bahkan menjadi pelacur yang memakai topeng kekuasaan. Kalau empat sila ini telah tercecer, lalu, tentu kemustahilan bila sila kelima yang beresensi keadilan sosial bagi seluruh rakyat bisa terwujud. Sebab, apa pun pengertiannya, bila terjadi satu saja deviasi (penyimpangan) terhadap butir Pancasila, yang terjadi adalah siapa menyubordinasi siapa. Majikan hanya tahu kewajiban buruh, tanpa pernah mau tahu hak-hak buruh. Sementara itu, politisi yang bertopeng tadi, hanya mau adil bila kepentingannya terpenuhi oleh jajarannya. Indikasi ini terlihat pada sekgab koalisi, yang dengan dibentuknya sekgab koalisi ini rakyat semakin tercecer. Dengan demikian, simpul sederhananya, Pancasila tetap kita taruh di menara gading yang tinggi, implementasi adalah suatu kemustahilan, kasihan founding father kita.
* Hardi Hamzah, Ketua Kelompok 11 dan staf Ahli Mahar Fondation
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 Mei 2010
No comments:
Post a Comment