-- Bandung Mawardi
PADA 1994, budayawan Umar Kayam (almarhum) mengajukan sebuah inisiatif untuk melihat konstitusi negeri—dari rumusan awal hingga amandemennya—sebagai sebuah ”bacaan kultural”. Pemahaman ini perlu diwartakan kembali pada saat para elite meributkan pasal-pasal konstitusi sekadar sebagai bacaan politik atau bacaan hukum saja. Bahkan, diyakini secara absolut ”kebenaran-kebenaran” yang terkandung di dalamnya.
Maka dengan itu, UUD 1945 juga Pancasila, sebagai ideologi yang termaktub di dalamnya, pun kian keras dan membatu dalam tafsir yang sarat kepentingan politik dan hukum. Kondisi ini membuat proyek demokrasi mirip laboratorium sesak rumus, tetapi melupakan makna kehadiran manusia. Kondisi tersebut membuat kisah demokrasi di negeri ini hampir melupakan kultur berembuk sebagai modal historis dari adab dan adat pelbagai komunitas lokal.
Penerjemahan berembuk sebagai musyawarah dalam praktik politik kini tak lebih dari gula-gula, pemanis yang artifisial. Berbagai produk politik, hukum, ekonomi, atau pendidikan memang memiliki klaim sebagai hasil kerja rembukan atau musyawarah, tetapi ia mengandung bias dan manipulasi. Manipulasi itulah yang membuat demokrasi di negeri ini terluka, dan sejarah lokalitas pun terbantai oleh doktrin-doktrin politik modern yang tak memiliki rahim di negeri ini.
Pewartaan dan penguatan kembali kesadaran akan produk-produk konstitusional sebagai ”bacaan kultural” berpeluang mereparasi luka itu, membuka kemungkinan tafsir yang lebih elegan dan multiperspektif. Kesadaran ini susut karena para elite memilih pertengkaran demi klaim tafsir atas nama pamrih hukum, politik, atau ekonomi.
Pertarungan tafsir dengan segepok argumentasi demi memenangi urusan. Mereka membaca sekian undang-undang dan peraturan mirip mengeja abjad secara terbata, tetapi arogan. Mereka alpa tentang ”bacaan kultural” sebagai strategi mendekati dan mencari solusi.
Rembuk Gelap
Politik Indonesia adalah politik pertarungan untuk menang atau kalah. Filosofi musyawarah mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila telah diabsenkan karena gairah kekuasaan dan kapital. Proyek demokrasi termaknai dalam model transaksi atau konflik. Pelupaan ”bacaan kultural” juga menentukan keruntuhan kultur berembuk karena uang sanggup bicara atau jabatan sebagai penentu jalannya dialog.
Pentas kultur berembuk memang masih disajikan di parlemen atau ruang-ruang kekuasaan, tetapi tak tercatatkan dalam nalar dan dokumen resmi. ”Rembuk belakang” atau ”rembuk gelap” justru lebih kerap terjadi dan mengunci hasil tawar-menawar kekuasaan dan kepentingan.
Kultur ”rembuk gelap” menentukan nasib Indonesia. Kekisruhan kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, atau kesehatan, bahkan kasus korupsi, kerap rampung melalui ”rembuk gelap”. Pelaku dari ”rembuk gelap” adalah para elite, oknum, pengusaha, hakim, jaksa, polisi, cukong, mafia, atau makelar, sesuai kepentingan dan harga.
Berembuk atau musyawarah sebagai fondasi demokrasi disingkirkan demi meloloskan kebijakan memaksa dan mengikat. Berembuk telah tergantikan melalui bahasa kekerasan atau penekanan.
Demokrasi dalam tradisi
Umar Kayam justru sejak lama mengingatkan tentang musyawarah sebagai modal pertumbuhan demokrasi. Modal besar itu tidak perlu harus mengimpor dari Amerika atau Eropa. Komunitas sosial-kultural di negeri ini telah memiliki modal itu sejak lama. Kultur masyarakat berembuk bersemi di Sumatera, Jawa, Bali, dan lain-lain.
Kultur itu dinamai Kerapatan Nagari, Rembuk Desa, Musyawarah Subak, dan lain-lain. Modal-modal ini dimatikan oleh politik pasar bebas dalam paket demokrasi global. Lokalitas mesti dikorbankan atas nama kebijakan global yang sebenarnya menyembunyikan kepentingan sempit dari kuasa modal.
Pembelajaran demokrasi di negeri ini tampak mengandung kesalahan. Model memasok modul demokrasi ala Amerika atau Eropa ternyata tak manjur dalam memenuhi hak-hak rakyat.
Tiada lain, alternatif tradisi mesti berani dihidupkan. Kultur masyarakat berembuk mesti digairahkan kembali dengan semua konteksnya. Kesadaran atas segala produksi konstitusi sebagai ”bacaan kultural” juga harus mencerahkan perspektif untuk menunaikan misi demokrasi. Jalan masih terbuka dan ”bimbang demokrasi” memerlukan jawaban.
* Bandung Mawardi, Ketua Redaksi Jurnal Kandang Esai, Koordinator Bale Sastra Kecapi Solo
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Mei 2010
No comments:
Post a Comment