Sunday, May 16, 2010

”Hadé ka Sémah nu Hadé”

- Lalaki aing lalaki/ tukang nguyup getih jurit/ tukang ngakan bayah perang/ geura datang raja cidra/ geura datang sato jalma/ papagkeun aing ku tumbak/ jajapkeun ku tungtung duhung/ nya hulu aing Citanduy/ hate aing Cisadane/ nunjang ngulon Ujungkulon/ mun saat kakara paragat//

SEBELAS larik puisi tersebut dipetik dari puisi ”Lalaki di Tegal Pati”, karya almarhum penyair Sayudi (1932-2000). Penyair Sunda kenamaan pada zamannya. Puisi yang ditulis pada 1960 itu menggambarkan rasa marah Ki Sunda akan pengkhianatan Patih Gajah Mada di Tegal Bubat, yang membantai habis Raja Pajajaran, Sri Baduga Maha Raja dan pasukannya. Perang Bubat yang terjadi pada abad ke-14 itu, bukan perang antardua kerajaan yang saling berhadapan. Akan tetapi merupakan pembantaian yang dilakukan Gajah Mada dan pasukannya, yang pada saat itu Sri Baduga berniat mengantarkan putri kesayangannya untuk dinikahi oleh Raja Hayam Wuruk, atasan Patih Gajah Mada. Peristiwa berdarah itu tidak akan pernah bisa dihapus oleh gelombang zaman dalam ingatan Ki Sunda. Terlebih dalam kasus tersebut, Citraresmi, anak kesayangan Sri Baduga, lebih memilih mati bunuh diri daripada digadabah (diperlakukan secara tidak hormat) oleh mereka yang telah membantai keluarganya tanpa ampun.

Soméah hadé ka sémah, demikian tema yang diusung dalam acara ”Tepang Sono Inohong Jawa Barat”, yang digelar Pikiran Rakyat pada 30 April 2010 di Hotel Homann Bandung menarik untuk dicermati sebab acara tersebut membicarakan kembali apa dan bagaimana sikap Ki Sunda terhadap sémah. Kasus Bubat pada satu sisi bisa dijadikan pelajaran, sebagaimana dikatakan Dhipa Galuh Purba yang dalam kesempatan tersebut bertindak sebagai moderator dengan narasumber Hawe Setiawan, Acil Bimbo, Hidayat Suryalaga, dan Tjetje H. Padmadinata. Dalam kehidupan dewasa ini, adanya kenyataan bahwa Ki Sunda rela digadabah deungeun sudah menjadi rahasia umum. Sikap tandang Citraresmi harus dibangkitkan lagi, membela kehormatan hingga titik penghabisan. Digadabah dalam konteks yang demikian mempunyai makna dan pengertian yang luas.

Berkait dengan itu, ada hal yang menarik dikatakan Hawe Setiawan, bagaimana mungkin Ki Sunda akan hadé ka sémah, kalau Ki Sunda sendiri tidak sadar boga imah? Dalam konteks yang lebih lanjut adalah, bagaimana mungkin Ki Sunda bisa memperlakukan para tamunya dengan hormat, atau berpikir kritis terhadap tingkah laku para tamunya, bila Ki Sunda sendiri tidak mempunyai kesadaran bahwa dirinya punya nilai-nilai budaya, dan tata nilai lainnya yang harus dianutnya dengan teguh. Dalam pengertian lebih lanjut, Ki Sunda dalam konteks yang demikian harus menggali kembali dan memantapkan kembali apa itu yang disebut nilai-nilai kesundaan, dalam konteks yang lebih luas.Karena apa yang disebut sémah dalam pengertian yang lebih lanjut bukan berupa sosok yang bisa dilihat dan diraba wujudnya, melainkan juga bisa berupa sesuatu yang kasat mata, seperti produk-produk budaya asing yang penyebarannya dilakukan lewat dunia maya.

Nilai-nilai kesundaan, itulah pokok soal yang harus dicermati, sebagaimana digambarkan penyair Sayudi dalam puisi ”Lalaki di Tegal Pati”. Berkaitan dengan itu, sungguh tepat seperti apa yang dikatakan oleh Tjetje H. Padmadinata, bahwa soméah hadé ka sémah masih bisa kita jungjung tinggi nilai-nilai tersebut bila diterapkan kepada sémah nu hadé. Sehubungan dengan itu pula, Tjetje sependapat dengan Hawe, bahwa Ki Sunda harus kembali mendalami nilai-nilai kesundaan dalam berbagai sendi kehidupan. Sebab, bila Ki Sunda abai terhadap nilai-nilai yang demikian, selamanya akan menjadi orang yang kalah. Mawas diri, itulah yang menjadi kuncinya, sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Hidayat Suryalaga dan Acil Bimbo.
**

DALAM sambutannya, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengatakan, bahwa Ki Sunda harus terus meningkatkan kemampuannya dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Bila saat ini tidak ada Ki Sunda yang menjadi nomor satu atau nomor dua di pucuk pemerintahan pusat, di masa-masa mendatang kesempatan tersebut harus direbut oleh Ki Sunda.

Apa yang dikatakan oleh Ahmad Heryawan sama menariknya dengan yang dikatakan oleh empat pembicara tadi, yang intinya bermuara pada daya kebangkitan Ki Sunda dalam menyongsong alam hidup yang baru, yang dimulai dari dalam diri Ki Sunda sendiri, yakni mageuhan nilai-nilai budaya Sunda. Ini artinya pada sisi yang lain, Ki Sunda ulah kurung batokeun.

Diselenggarakannya acara tersebut oleh Pikiran Rakyat, sebagaimana dikatakan Direktur Utama Pikiran Rakyat, H. Syafik Umar, tiada lain untuk mempererat tali silaturahmi para inohong di Jawa Barat, untuk bersama-sama membangun kehidupan di Jawa Barat agar lebih baik lagi di masa mendatang. Dalam konteks yang demikian, Pikiran Rakyat pada satu sisi mempunyai perhatian yang sangat serius dalam memajukan bidang pendidikan, dan bidang-bidang lainnya dalam konteks kebudayaan.

Paling tidak dari acara yang digelar ”PR” tersebut, ada banyak yang bisa dipetik. Nilai-nilai itu bukan hanya terletak pada apa dan bagaimana soméah hadé ka sémah harus diterapkan dalam kehidupan Ki Sunda menghadapi tantangan zaman yang kian berat oleh benturan nilai-nilai. Akan tetapi juga menikmati kembali nilai-nilai estetika budaya Sunda lewat lantunan tembang Sunda Cianjuran yang dibawakan oleh Deden Guntari dan Ida Idawati, serta pertunjukan Prakpilingkung dari Nano S., S.Kar.

Berkaitan dengan itu pula, Ki Sunda harus sadar ruang dan waktu agar luka lama seperti yang terjadi di Bubat itu, tidak terulang. Sikap mengalah bila pada akhirnya ditindas, tidak lagi harus dipertahankan. Itu ditegaskan berkali-kali oleh Tjetje H. Padmadinata. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh almarhum penyair Sayudi, dalam penutup puisi yang ditulisnya, kari ngeunteupkeun ka hareup/ tinggal nyawang ka nu anggang/ mangka ludeung ku katineung/ waspada ku pangaboga//. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010

No comments: