-- Asep Salahudin
Bulan téh langlayangan peuting
nu ditatar dipulut ku tali gaib
entong salempang mun kuring miang
ditatar ti Tatar Sunda
dipulut nya balik deui ka dieu
ieuh, masing percaya
(Bulan Langlayangan Peuting)
ADA banyak peristiwa tragis yang terjadi di tatar Sunda baik pasca maupun prakemerdekaan yang membekas dalam layar memori kolektif bawah sadar masyarakat Jawa Barat. Peristiwa demi peristiwa besar yang merajut relasi Sunda dalam konteks politik nasional yang pada ujungnya berpangkal pada peneguhan Sunda sebagai bagian tak terpisahkan dari Nusantara.
Di titik ini, masyarakat Sunda, tak ubahnya juga dengan etnis lain, bahu-membahu dalam mewujudkan Indonesia yang menghargai keragaman (Bhinneka Tunggal Ika), Indonesia yang memiliki kebudayaan luhur yang puncaknya itu ditopang multikulturalisme dan pluralisme yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Hijrahnya Siliwangi ke Yogyakarta dan pagar betis untuk melumpuhkan gerakan Darul Islam (DI/TII) adalah sebagian dari fragmen sejarah tragis itu. Minimal dua peristiwa ini dengan sangat menarik didokumentasikan tokoh pembaharu karawitan Sunda Mang Koko dalam kawih-kawihnya.
Judul kawih di atas ditulis Mang Koko untuk memotret bagaimana pasukan Siliwangi dengan setia mengikuti perintah pemerintah pusat. Hijrah untuk sementara dari Parahyangan jelita yang sangat dicintainya menuju daerah baru demi mempertahankan dan memperjuangkan kedaulatan. Mang Koko mengawalinya dengan menggunakan metafora bulan seperti tampak dalam narasi tadi.
Bulan di mata Mang Koko adalah tanda (silib) dari kehendak pergi dan untuk pulang kembali. Kembali dengan cahaya yang menentramkan, bersua lagi dengan "enung" yang dicintainya sepenuh hati: Bulan téh langlayangan tineung//nu ngoleang dipulut ku angin gaib/....
Bulan menjadi simbol yang dapat memediasi antara manusia yang memiliki hati yang sama. Bulan sebagai metafora dari hasrat menjalin kemanusiaan dalam maknanya yang utuh demi menyambut fajar kehidupan yang lebih berkeadaban: Bedil geus dipéloran//granat geus disoréndang//ieu kuring arék miang//jeung pasukan nu saati//ka wétan muru bijil balebat.
**
DALAM seloroh politik yang sangat menohok diungkapkan bahwa ketika terjadi ketegangan ideologis antara Soekarno dan Kartosuwiryo, yang menjadi korban adalah Mang Karta dan Mang Karna. Pilihan geografis Kartosuwiryo untuk menjadikan tanah Pasundan sebagai basis perjuangannya, bergerilya dari hutan ke hutan, tentu banyak menimbulkan implikasi termasuk implikasi fisiologis dan psikologis.
Dalam memperjuangkan keinginannya, DI/TII menggunakan beragam cara termasuk menebar ancaman sekaligus menawarkan pemahaman negara dalam kerangka ideologi keagamaan yang dipahami secara harfiah, agama yang diapresiasi secara ideologis bahkan fantasi mistis bukan epistemologis (pengetahuan).
Tentu untuk memenuhi kebutuhan logistiknya maka tidak ada cara lain kecuali dengan mengoperasikan teror kepada penduduk setempat seperti simpul diksi yang ditahbiskan kepada mereka sebagai gerombolan. Tidak aneh juga apabila DI pun diplesetkan menjadi Duruk Imah. Memang seperti itu kenyataannya.
Lagi-lagi pasukan Siliwangi yang kemudian bahu-membahu dapat menghentikan laju DI/TII melalui strategi pagar betis. "Kembang Tanjung Panineungan" yang ditulis Mang Koko dengan sangat menarik memotret fragmen tragis peristiwa ini.
Mang Koko memotretnya tidak dari optik narasi besar, namun dari dialog batin antara ibu yang sedang hamil dengan calon anaknya di satu sisi, dan bapaknya di sisi lain yang ikut menjadi bagian dari pasukan pagar betis yang akhirnya harus menemui kematian. Justru pilihan optik ini yang membuat apa yang telah ditulis Mang Koko menjadi terasa amat lembut dan mampu mengoyak sensitivitas kasadaran para pembacanya.
Sayang, Kartosuwiryo historis telah lama meninggalkan kita dengan sekian luka yang ditinggalkannya, namun "Kartosuwiryo simbolis" masih tetap hidup dan menebar daya pikat bagi sekelompok orang yang selalu berhasrat mendirikan negara di luar arus utama yang telah diikrarkan oleh para pendiri bangsa secara sepakat. Agama dalam balutan jubah ideologis dan mistis masih tetap menebarkan pesonanya walaupun sesungguhnya apologis dan a historis, padahal ke depan justru yang harus dihadirkan adalah format keberagamaan (kenegaraan) dalam warna epistemologis yang pasti dapat menawarkan damai dan menentramkan.
* Asep Salahudin, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya, Kandidat Doktor UNPAD Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010
No comments:
Post a Comment