-- Frans Sartono dan Sri Rejeki
PADA musim kemarau tahun 1940 saya melihat Bengawan Solo kering airnya, padahal pada musim hujan airnya berlimpah. Dua keadaan yang sangat berlainan ini memberikan kesan yang dalam sekali bila dihubungkan dengan kehidupan manusia dan alam. Dimulai dengan senandung, saya goreskan pensil pada secarik kertas bekas pembungkus rokok dan terciptalah ’Bengawan Solo’.”
Maestro keroncong Gesang Martohartono turut menyanyi saat dihibur penampilan grup keroncong siswa-siswi SMA Pangudi Luhur Santo Yosef di rumahnya di Kampung Kemlayan, Solo, Jawa Tengah, Senin (10/5). (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)
Itu ucapan Gesang Martohartono yang direkam dalam album Tribute to Gesang terbitan GNP tahun 2007. Ide lagu itu lahir September 1940 ketika Gesang duduk di tepi Bengawan Solo di Pesanggrahan Langenharjo milik Keraton Surakarta.
Lagu masyhur ”Bengawan Solo” yang melegenda itu lahir dari kebersahajaan Gesang.
Dalam usia 92 tahun, Kamis (20/5) pukul 18.07, Gesang meninggal dunia di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah. Ia dirawat sejak 12 Mei karena komplikasi gangguan jantung koroner, infeksi saluran pernapasan. Jumat siang ini, rencananya almarhum akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Pracimaloyo, Solo, dengan upacara militer.
Dalam satu wawancara dengan Kompas tahun 2002, ia mengatakan, ”Saya ini bukan pemusik yang pintar, apalagi ahli musik. Kalaupun dibilang pemusik, ya (saya), termasuk pengarang lagu yang kampungan,” kata seniman kelahiran Notodiningratan, Solo, 1 Oktober 1917.
Lulusan sekolah Ongko Loro Muhammadiyah (1929) di Punggawan, Solo, ini juga mengaku bukan orang sekolahan yang dapat didikan khusus soal musik. Ayahnya, Martodihardjo, adalah pedagang batik.
Tumbuh layaknya remaja di kampungnya, Kemlayan, yang banyak dihuni seniman, anak ke-5 dari 10 bersaudara itu bergabung dengan grup keroncong Kampung Marko, singkatan dari Marsudi Agawe Rukun, Kesenian dan Olahraga. Ia lalu bergabung sebagai penyanyi dalam sejumlah grup keroncong: Kembang Kacang, Bunga Mawar, dan Irama Sehat. ”Bengawan Solo” termasuk lagu yang ditulis dengan cara ”awam”. Menurut sebuah versi, ”Bengawan Solo” lahir dari rengeng-rengeng atau senandung Gesang. Kemudian, dua rekannya, Slamet Wigyosuharjo dan Sunaryo, menuliskan notasinya.
”Hanya” 44 lagu digubahnya. Pada umur 24 tahun, ketika jatuh hati dengan gadis asal Kampung Notosuman bernama Sawaliyah, Gesang menulis ”Saputangan”, lagu yang sampai hari ini menjadi lagu standar keroncong. Saat berpisah dengan orang yang dicintainya, ia menulis ”Pamitan” (1940) dalam bahasa Jawa. Era 1990-an, lagu itu dibawakan dalam bahasa Indonesia oleh Broery Pesolima.
Ketika ia terkagum-kagum dengan panorama Taman Tirtonadi, lahirlah lagu ”Tirtonadi” (1942), taman milik Puri Mangkunegaran. Ketika bergabung dengan kelompok sandiwara Bintang Surabaya di Surabaya, Gesang menggubah ”Jembatan Merah” (1943).
Jauh sebelum orang mengenal ”Imagine” dari John Lennon, Gesang telah menulis impian tentang dunia yang damai, ”Dunia Berdamai” (1942). Patriotisme Gesang terlihat dalam beberapa lagu, sebutlah ”Sebelum Aku Mati” (1963). Pada masa perjuangan, sekitar clash kedua, lahirlah ”Dongengan” berbahasa Jawa. Lagu itu berisi pesan agar para pejuang (atau siapa pun) tidak lupa pada rakyat yang pada zaman perjuangan bersusah payah membantu perjuangan. Akhir lagu itu mempertanyakan ”Suk yen aman walese apa?” (Nanti kalau sudah aman, apa balasanmu?).
Gesang telah pergi dan meninggalkan warisan lagu-lagu abadi. Apa balasan kita untuk Gesang, juga Gesang-Gesang yang lain, yang telah berkarya untuk negerinya?
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Mei 2010
No comments:
Post a Comment