Sunday, May 16, 2010

Jalan Bahasa Afrizal Malna

-- Acep Iwan Saidi

DALAM perkembangan kesusastraan Indonesia, Afrizal Malna dapat ditandai sebagai satu noktah tersendiri, sebagaimana juga Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Soetardzi Calzoum Bachri pada zamannya masing-masing. Noktah itu adalah sebuah deviasi, sebuah titik yang membuat bingkai jadi retak, lalu ia keluar: menyimpang sendiri.

Karena demikian adanya, tidak semua orang bisa memahami sajak-sajak Afrizal meskipun mungkin menyukainya. Bukti ia disukai adalah begitu banyak penyair yang menjadi epigon Afrizal. Sementara itu, salah satu bukti dari sulitnya dipahami adalah tidak satu pun epigonnya itu berhasil, semuanya bisa dibilang gagal menulis puisi.

Akan tetapi, sulit dipahami bukan berarti tidak bisa dipahami. Lewat tulisan pendek ini akan dicoba diurai, apa sebenarnya yang "dilakukan" Afrizal melalui sajak-sajaknya tersebut. Akan tetapi, sebelumnya perlu diketahui bahwa tahun ini, Afrizal menerbitkan kumpulan puisi yang terdiri atas lima kumpulan terpisah sebelumnya. Kumpulan terbaru itu ia beri tajuk ”Pada Bantal Berasap”. Terkait kehadiran buku tersebut pula esai ini disusun.

Jalan keluar dari struktur

Barangsiapa membaca sajak Afrizal dengan frame konvensional bahwa sajak harus me-ngandung makna dan nilai tertentu, kiranya ia akan sangat kecewa. Sebab, melalui sajak-sajaknya, hemat saya Afrizal tidak memiliki ambisi untuk mengedepankan makna dan nilai konvensional tertentu yang biasanya secara parsial terbangun pada masing-masing sajak. Sajak-sajak Afrizal harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah konstruksi gagasan besar yang terakumulasi dari kegelisahan penyair sepanjang proses keberkaryaannya. Bagi saya, kegelisahan yang dimaksud adalah kegelisahan mengenai bahasa-yang dengan demikian mengenai sajak itu sendiri. Melalui sajak-sajaknya, Afrizal seperti hendak mengajak pembaca mencari "jalan keluar bagi bahasa" yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan.

Salah satu contoh terkait topik tersebut, periksalah sajak berjudul ”Blax Box” (hal. 26), misalnya. Melalui sajak ini Afrizal tampak meresepsi sekaligus mempertanyakan konsep linguistik Sausurian yang melihat hukum arbitrer (manasuka) dalam bahasa. Proses penamaan objek (terbentuknya kata) dalam realitas dilihat Saussure sebagai proses yang terpisah dari realitas itu sendiri. Penamaan atas objek adalah pengambilan objek itu dari realitas dan kemudian menempatkannya dalam struktur (sistem) yang disepakati bersama sebagai konvensi. Di dalam struktur, kata-kata kemudian saling berelasi dan membentuk maknanya. Fonem sebagai pembeda bunyi menjadi salah satu yang berperan penting dalam proses pembedaan itu. Kasir memiliki makna semata-mata karena ada kata lain yang berbunyi kasur, misalnya. Dengan demikian, dalam proses penciptaan makna, kata menjadi tidak penting, yang penting adalah relasinya dalam struktur. Alhasil, struktur menjadi yang utama.

Afrizal mengonkretisasi konsep tersebut melalui bait pertama ”Black Box” sebagai berikut: "nabi/ kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi".

Akan tetapi, Afrizal tidak berhenti sampai di situ. Makna kata yang dibedakan karena perbedaan bunyi tersebut kemudian ia kritisi. Penyair ini agaknya tidak percaya dengan hukum tersebut sehingga pada bait berikutnya ia menulis, "tapi setiap kata/yang kita tanam. Jaraknya tak terukur/lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor/keong yang berjalan di atas lidah kita". Lantas Afrizal menempatkan kata sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan tersendiri, menempatkan bahasa sebagai ruh, sebagai realitas yang hidup, bukan sekadar permainan bunyi. Untuk itu, pada bait terakhir ia menulis, "aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.”

Langkah ekstrem di tikungan paradigmatik

Kasus lain dari tawaran "jalan bahasa" Afrizal adalah pengubahan paradigmatik atas bahasa. Merujuk pada semiotika Roland Barthes (yang juga rujukan awalnya dari Saussure) mengenai dikotomi sintagmatik-paradigmatik dalam bahasa, Afrizal lagi-lagi mengedepankan persepsi yang menarik. Pada poros sintagmatik Saussure, kata-kata dalam struktur baru-bisa berfungsi jika hukum strukturnya tidak dirusak, misalnya ia harus tersusun sebagai jajaran subjek (P), predikat (P), dan objek (O). Kata-kata yang hadir (presence) pada struktur ini, dalam poros paradigmatik bisa saling bertukar dengan kata-kata lain yang tidak hadir (in absentia), dan hal ini hanya terjadi pada benak pembaca sebagai asosiasi. Saussure ataupun Barthes tidak membatasi asosiasi ini; yang difokuskan dalam kajiannya (linguistik struktural Saussure dan semiotika struktural Barthes) memang fungsi bahasa sebagai tanda pada struktur itu sendiri.

Dengan rujukan tersebut, bisa dilihat bahwa sajak-sajak Afrizal secara keseluruhan bermain pada poros sintagmatik yang ketat, tetapi sangat liar pada poros paradigmatik. Dengan kata lain, Afrizal konvensional secara sintagmatik, tetapi inkonvensional secara paradigmatik. Perhatikan, misalnya, larik "kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba". Kata kotak-kotak kardus pada larik ini adalah kata yang dipilih secara ekstrem dari poros paradigmatik dan kemudian ditempatkan sebagai subjek pada poros sintagmatik. Kata itu sama sekali tidak mengganggu struktur. Kita bisa secara ekstrem pula mengganti kata kotak-kotak kardus itu de-ngan kata para pemulung, misalnya, sehingga lariknya menjadi "para pemulung sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba". Dengan demikian, larik ini menjadi sangat konvensional.

Cara menyeleksi dan mempertukarkan kata (proses membandingkan, metaforarisasi) yang ekstrem demikian kiranya yang menyebabkan sebagian pihak menilai sajak Afrizal sangat sukar dipahami. Kesukaran itu terjadi karena cara kita melihat bahasa memang sa-ngat konvensional. Bahasa hanya dilihat sebagai alat untuk mendeskripsikan, bukan sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengonstruksi dunia hingga ke titik yang pa-ling misterius.***

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 16 Mei 2010

No comments: