-- Silvester Petara Hurit*
BANDUNG Dance Festival 2 digelar di STSI Bandung, Kamis-Sabtu (20-22 Mei). Festival dengan tema "Menerabas Batas" melibatkan sejumlah seniman tari dalam ruang dialog dan silahturahmi karya.
Tema Bandung Dance Festival 2 mengaksentuasikan spirit seni: eksplorasi dan penemuan pelbagai kemungkinan ekspresi. Bahwa seni tidak bisa dipenjara oleh batas, ia senantiasa bergerak keluar dan membawa serta pada dirinya rekaman keringat dan seabrek misteri pengalaman yang diserap selama proses panjang perjalanannya.
Seni punya bahasa dan muatan makna yang kompleks. Apalagi tari dengan modalitas tubuh dan geraknya. Tubuh merupakan ruang personal. Sebagai ruang personal, ia memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang juga sangat personal sifatnya. Ia, kendati merupakan rea-litas materi dengan volume dan massivitas tertentu, tetapi memiliki sifat-sifat yang meng-alir, unik, liar, dan tak tertebak. Jauh melampaui hakekat materi itu sendiri. Di sekujur tubuh tersebar simpul-simpul saraf hidup yang memiliki responsivitas dan daya tanggap tertentu. Setiap sel pembentuknya memiliki bahasa, sejarah, biografi, dan kecerdasannya sendiri.
Oleh karena itu, festival dalam pengertiannya sebagai perayaan bisa dibaca sebagai perayaan dan pengagungan individualitas diri personal subjek pelakunya. Individualitas memberi pengayaan terhadap tubuh sosial. Tubuh spesifik penari yang menyembul dan menggeliat menjadi medium ekspresi yang paling aktual. Memperlihatkan problematika, keunikan, dan kompleksitas diri manusia serta lapis-lapis persoalannya.
**
LEWAT karyanya "Penjara Waktu", Maria Bernadeta Aprianti, koreografer dan penari asal Flores, bersama Poppy Parisa membaca tubuhnya di dalam gerak waktu. Cermin yang menyimpan bayang maya diri-sejati menyajikan kenya-taan kefanaan. Bahwa manusia tak luput dari gilasan waktu. Kenangan demi kenangan, bayangan kekuatiran seakan menjadi hidup. Ada upaya menanggalkan segala yang berlabel pembajuan untuk menyingkap yang sejati, yang tak lekang oleh waktu. Sarung tenun khas Flores adalah pera-ihan terakhir. Pembajuan kembali diri secara simbolik. Meraih keutuhan keagungan. Tubuh bersinggungan dengan sarung yang bukan lagi sarung. Ia menyimpan sesuatu yang sakral, yang mitis, dan mendebarkan. Maria Bernadeta bersama tubuh dan keseluruhannya masuk ke dalamnya. Menemukan jejak asal-usul, menziarahi jagat batinnya sendiri.
"Scents " karya Herry "bod"nk" Suwanto asal Solo menghadirkan tubuh gelisah. Tersekat antara harapan, perjuangan hidup, dan ketidakpastian nasib yang diakibatkan oleh ketidakadilan penghargaan atas pekerjaan para nelayan gurem. Para penari berikhtiar membawa ke dalam dirinya kepenatan dan kegalauan para nelayan yang terombang-am-bing antara kenyataan, tanggung jawab, dan mimpi-mimpinya yang patah. Tubuh dan tariannya di pentas menjadi bagian faktual problem sosial yang aktual.
"Penari Malam" karya Dhendi Firmansyah menghadirkan realitas penari malam dalam keindahan, sensualitas, dan geliat aksi tubuh. Hasrat dan gairah adalah kenyataan purba yang tidak bisa sepenuhnya dikontrol oleh normativitas kultural karena ia merupakan kenyataan natural dari kebertubuhan manusia.
"On Off" karya N.D. Styan menghidupkan kelesuan lewat tubuh dan gerak. Kehidupan yang tak dirawat oleh sentuhan perhatian tak bisa tumbuh sepenuhnya. Sedangkan Wanotama karya Veronika mengaksentuasikan keceriaan, tubuh gemulai, dan wajah segar Jaipongan. Tubuh menebar aroma kesegaran lewat gerak. Kesegaran membuat tubuh dipuja dan dihasrati. Akan tetapi bukan sebatas tubuh wadak. Ada daya lain, spirit lain dari tubuh yang memancar keluar, menari, menjamah, dan emberi tenaga. "Stigmata" karya Hany Sulistia meng-angkat fenomena unik dan tidak lazim dari tubuh. Ada tanda-tanda tertentu yang muncul secara mengejutkan, sewaktu-waktu, dan nonpermanen pada bagian-bagian yang spesifik dari tubuh. Bagian yang spesifik lantas menjadi kenyataan yang besar dan berarti bahkan membalikkan keutuhan yang lengkap. Ketidaklaziman memperlihatkan keunikan, misteri, serta sifat unpredictable dari tubuh.
Karya Datam Ali, "Topan Cacing Cau" menghadirkan jebakan sifat tamak tubuh dan usaha untuk mentransendensikannya lewat gerak laku dan kegigihan asketis.
Sementara Arianto Sapto Nugroho bersama Alpha Plus Dancer mengunggulkan fisikalitas gerak tubuh di dalam karya yang berjudul "Outer Limit".
Ria Dewi Fajaria meng-ibaratkan tubuh sebagai kenya-taan yang terbeban goresan kecewa, luka, amarah, dan sakit melalui judul "Tabularasa". Tubuh Tabularasa adalah tubuh yang coba melakukan idealisasi namun diborgol oleh beban negatif emosi dan hawa busuk situasi yang melingkunginya.
"Tanah Merah" karya Jefriandi Usman dari Jakarta membumikan tubuhnya dengan tergolek mengerut, berguling ke lantai panggung. Bermain di level bawah melewati batas me-rah. Tubuh yang "menyebumi". Memasuki api, air, tanah, dan angin. Menghormati alam yang memerah. Yang tengah menjelma darah oleh keperihan yang tak lagi dirasa oleh manusia yang menghuninya. Jefriandi Usman menjadikan tubuhnya tubuh dan tarian ritus. Meraih alam sebagai bagian integral dengan dirinya dan keseluruhan eksistensi kesehariannya.
Koreografer Ayo Sekolah Sunaryo dari Bandung menampilkan "Perempuan Jerami". Upaya untuk menggali kembali peran dan ketangguhan tubuh perempuan agraris.
"Jejak Yang Tertinggal" karya Lalu Suryadi dari Lombok pun mengetengahkan perempuan sebagai tubuh yang bertahan, tubuh yang masih terjaga di tengah arogansi terhadap kehidupan. Walau tinggal jejak, mengalami penelanjangan dan pelucutan martabat, perempuan bertahan oleh kelembut-annya. Kelembutannya menyiratkan kekuatan tubuh dan kepekaannya terhadap pelbagai bentuk ekspresi kekerasan yang mengabaikan denyut-denyut kecil kehidupan. Perempuan dalam keagungannya yang terkoyak lantas pada akhirnya tetap menjadi tempat semua kehidupan bersimpuh.
"Phallus Tarung Atau Candu Dan Ingatan" merupakan hasil koreografi kolaborasi Ine Arini, Fajar Satriadi, dan Alfiyanto. Tubuh dan watak Phallus melahirkan tarung. Wajah keras dengan arsitektur tubuh yang menyeringai terkuak dari tubuh Alfiyanto. Sedang semesta suara dari Fajar Satriadi kemudian menggumpal menjadi tarian semesta kekerasan yang depresif.
**
SENI tari mengandaikan keindahan gerak, irama, dan komposisi yang hadir meruang. Akan tetapi, jika melihat tari sebagai perayaan gerak dan ketu-buhan, ia menyisakan satu rea-litas lain dari tubuh yang tak diakrabi. Yakni tubuh dalam wajah dan geraknya yang tidak indah, yang jelek, dan bahkan menjijikkan. Pembagusan, pengindah-indahan adalah tubuh kontaminasi. Tubuh yang dalam arti tertentu terkondisi, ter-frame, dan terobyektifikasi oleh tatapan mata selera dan citra. Sedangkan tubuh sebagai sebuah kenyataan real dari kedirian, menyimpan kedua-duanya sekaligus melampauinya. Ia bahkan berada di luar batasan teori dan defenisi-defenisi, melampaui yang indah dan bagus.
Menemukan tubuh dalam kenyataannya yang jujur adalah menghadang dan membongkar sistematisasi, sensor, dan proseduralisasi yang membuat tubuh kehilangan ruang interaksi, keintiman dan interrelasi dengan tubuh lain secara merdeka dan tanpa batas. Tubuh yang coba hadir untuk memahami kesesatan dan gila massal dari tubuh-tubuh gerombolan de-ngan menemukan ekspresinya yang paling natural. Karya tari idealnya tidak hanya mengeks-plorasi kebagusan tetapi juga mengeksplorasi kejelekan. Menyajikan kejelekan, menjadi "liar" demi membebaskan tubuh dari pembakuan gerak. Menjadi tubuh yang tidak biasa. Bukan tubuh kebanyakan. Tubuh kontra- image. Tubuh kompetitif, tubuh yang menolak kompromi, tubuh "arogan" yang memiliki posisi tawar terhadap tubuh konstruksi; tubuh kebanyakan, termasuk di dalamnya tubuh tari yang terdefenisi.
Silvester Petara Hurit, esais, pemerhati seni pertunjukan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010
No comments:
Post a Comment