-- Agus Sunarto
CINTA merupakan salah satu tema besar yang tidak akan habis dieksplorasi dalam penciptaan karya seni. Terlebih di dalam puisi. Hampir semua penyair menuliskan pemahamannya tentang cinta. Baik sebagai wahana ekspresi ataupun sebagai satu cara komunikasi penyair terhadap realitas di sekelilingnya. Berbicara tentang cinta bukan hanya berbicara tentang bahasa ungkap yang dimiliki perorangan atau personal tetapi sudah menjadi bahasa yang universal.
Maka kemudian cinta tak lekang oleh jaman. Meski didengungkan oleh ribuan penyair, para kreator yang mengekspresikan hati dan pikirannya di dalam karya-karyanya, dari jaman dulu sampai sekarang. Tetap saja cinta layak untuk dibicarakan. Layak untuk dikumandangkan. Tidak usang untuk disuarakan.
Evi Idawati bukan penyair baru dalam Sastra Indonesia, meskipun kiprahnya merambah hampir disemua ranah seni, teater, sinetron, film dan masih banyak lagi. Tetapi sudah empat buku puisinya diterbitkan. Pengantin Sepi (2002), Namaku Sunyi (2005), Imaji dari Batas Negeri (2008) dan yang sedang anda baca sekarang ini adalah Mencintaimu (2010).
Evi Idawati termasuk penyair yang produktif. Dia tidak hanya menulis puisi, tetapi juga cerpen, novel dan juga skenario. Karya-karyanya banyak tersebar di media massa. Sebuah kebanggaan bagi IsacBook untuk menerbitkan kali kedua buku puisi penyair perempuan Indonesia ini setelah buku puisi Imaji dari Batas Negeri yang diterima masyarakat pecinta sastra dengan baik.
Di dalam buku barunya itu, Evi Idawati mengeksplorasi cinta sebagai pencapaian kemanusiaannya yang dituangkan lewat bait kata yang indah, lembut dengan pengendapan makna yang memikat. Mencintai dan mengasihi manusia yang mendasari cintanya kepada Sang Pencipta. Membaca puisi-puisi Evi Idawati dalam kumpulan ini, anda akan diajak menjelajah dan menemukan makna-makna baru tentang cinta.
Sajak-sajak Evi Idawati dalam antologi ini dapat digolongkan sebagai sajak-sajak imajis. Hampir semua bertumpu pada citra-citra lihatan (Viasual image) atau citra-citra kongkrit.
Kadang citra-citra itu dibangun seakan sebuah swa-cakapan (monolog) yang tak memberi tempat kepada lawan bicara untuk menjawab. Sajak-sajak jenis ini mulai menonjol pada tahun 1970an, antara lain dengan munculnya antologi Mata Pisau Sapardi Djoko Damono, dan kemudian diikuti banyak penulis angkatan berikutnya, tetapi sedikit sekali yang berhasil dan konsisten.
* * *
Evi Idawati adalah penyair angkatan 2000-an yang berhasil menghidupkan kembali aliran ini walaupun dewasa ini cenderung dilupakan. Corak pengucapan sajak-sajaknya cenderung sederhana, tetapi didukung oleh semangat puitik yang memadai.
Kata Abdul Hadi WM dalam catatannya untuk buku ini, sementara Baban Banita Ketua Prodi Sastra Unpad mengatakan bahwa sesungguhnya, puisi-puisi Evi Idawati diwarnai oleh ragam kerinduan pilu yang berisi cabik-cabik luka perang. karena kesejajaran sekaligus kejauhan antara kehendak dekat kepada Tuhan dengan keinginan dekat kepada kekasih manusia. Jika kehendak dekat pada Tuhan segalanya pasti, yakni kepasrahan dan permintaan yang sekaligus, absolut dan sangat tunggal.
Sedangkan pada kekasih manusia, keinginan dekat itu seperti angin yang terus melayang-layang dalam kepastian dan ketidakpastian. Keinginan tersebut kemudian campur aduk jadi satu: antara cinta yang dipayungi kepasrahan juga rasa ketidakpercayaan pada kekasih manusia.
Anda bisa mendapatkan puisi-puisi cinta Evi Idawati dan menjadikan koleksi yang bisa ditempatkan bersama buku-buku lain yang anda miliki. Semoga Sanggup memberi inspirasi dan pemahaman bagi siapapun yang membacanya sepanjang waktu.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 15 Mei 2010
No comments:
Post a Comment