Sunday, May 16, 2010

[Buku] Kearifan Buku yang "Bukan Buku"

AKHIR-AKHIR ini, pikiran saya tertuju pada derasnya naskah kumpulan tulisan yang minta diterbitkan. Saya sampai berpikir, apa penulis kita hanya mampu menulis yang pendek-pendek atau justru pembaca lebih menikmati buku dengan format seperti itu?

Akhirnya saya maklum, banyak sebab sebuah buku bisa laris. Tak selamanya disebabkan faktor intrinsik buku itu sendiri. Tak selamanya juga faktor-faktor penyebab itu jelas. Jeff Herman lewat buku Writer's Guide to Book 2000 mengatakan, "Tak ada patokan eksak apakah sebuah naskah akan jadi buku laris atau tidak." Jadi, industri buku bisa disebut sebagai industri feeling meski tetap saja perlu educated guess (dugaan rasional).

Saya benar-benar appreciate terhadap penerbit yang berani menerbitkan buku-buku kumpulan tulisan, kemudian bisa laku keras. Kenapa? Sebab, buku yang bukan buku seperti itu sebenarnya memiliki beberapa kelemahan. Selain umur tema sangat pendek, tak terhindarkan pengulangan-pengulangan. Karena itu, biasanya editor penerbit menutupnya dengan cara menyusun berdasar tema, memilah-milah, lalu memberinya pengantar yang menggerakkan.

Namun, ternyata banyak juga buku kumpulan tulisan yang tetap digemari orang. Meskipun, tema yang diangkat tidak up-to-date lagi. Bahkan, ada banyak pengulangan. Walaupun antarbab tidak gayut, pembaca tetap antusias membeli. Buku jenis itu biasanya merupakan kumpulan tulisan pengarang terkenal.

Bukankah sebagian buku karangan Dahlan Iskan, Hermawan Kartajaya, Emha Ainun Nadjib, Ary Ginandjar Agustian, dan Gede Prama merupakan kompilasi tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media? Terbukti, ketika diterbitkan menjadi sebuah buku, kumpulan tulisan tersebut sangat diminati pembaca. Mengapa?

Selain brand image pengarangnya demikian kuat, kematangan tulisan menjadi entry point. Bahkan, pembaca bisa merasakan kematangan sebuah buku. Membaca tulisan Emha, misalnya, kita serasa diajak untuk angop (menguap) berjamaah. Jeda sesaat di tengah hiruk pikuk kehidupan. Selesai membaca, kita sering dipaksa untuk tersenyum sambil termenung. Ciri khas tulisan Cak Nun -sapaan Emha- adalah menggabungkan rekaman peristiwa (fakta) dan catatan kaki (realitas) sebuah kejadian. Dia mencoba menyodorkan realitas ke depan pembaca. Bahkan, dengan cerdas dia berusaha menghadirkan kenyataan tersebut langsung ke pusat kesadaran pembaca. Saya kira, buku seperti itu sampai kapan pun tetap lengket dengan zaman. Betapa pun zaman telah berubah.

Demikian juga buku-buku kumpulan tulisan pakar sekelas Hermawan, pastilah sangat diminati praktisi bisnis dan akademisi. Meski beberapa bukunya merupakan kumpulan tulisan, pembaca tidak merasa kehilangan aktualitas dari tulisan guru marketing kelas dunia itu.

Kini saya tidak bisa lagi gegabah dalam menganggap buku kumpulan tulisan sebagai buku kelas dua. Apalagi, buku yang tidak utuh seperti itu pun bisa jadi best seller. Buku Sukses tanpa Gelar (1998), 10 Kiat Distributor MLM (2000), Berwirausaha dari Nol (2000), MLM di Era Internet (2000), dan Agar Menjual Bisa Gampang (2002) adalah deretan kumpulan tulisan pendek Andreas Harefa yang jadi best seller.

Sukses yang sama dialami buku serial Chicken Soup for the Soul yang disusun Jack Canfield dan Mark Victor Hansen. Buku serial tersebut berisi kisah-kisah yang sarat nilai kemanusiaan, yang merupakan sumbangan tulisan banyak penulis dari beragam latar belakang. Kisah-kisah itu muncul dengan gaya dan cita rasa masing-masing, tapi tetap ada benang merahnya.

Awalnya, tak ada satu pun penerbit yang mau melirik proposal buku Canfield dan Hansen itu. Tapi, pencinta buku sering punya logika berbeda dengan para penerbit pada umumnya. Kenyataannya, setelah diterbitkan, buku serial tersebut meledak di pasaran dan menjadikan kedua penulisnya nangkring di peringkat teratas dalam daftar pengarang paling top di Amerika Serikat versi New York Times dan USA Today.

Egaliter dan Empati

Umumnya, sebuah buku cenderung membahas suatu tema secara mendalam dan tuntas. Ibaratnya sumur, sempit tapi mendalam. Hal tersebut berbeda dengan buku kumpulan tulisan, yang ibarat telaga. Yakni, melebar tapi tidak terlalu mendalam.

Meski begitu, buku kumpulan tulisan bisa menjadi buku yang efektif. Mengapa? Pertama, buku kumpulan tulisan tidak bergegas memberikan solusi tuntas atas problem-problem yang kini dibahas. Bahkan, tak jarang buku jenis itu hanya berisi "letupan-letupan kecil". Buku Success, Healthy, Happiness (2010) yang ditulis Ali Murtadlo dan Tatik Suryani, misalnya, mencoba membahas berbagai hal. Tapi, dengan cerdas pembahasan tersebut tetap mempertimbangkan common sense pembaca, yang umumnya tidak suka membaca buku yang bertele-tele dan bikin puyeng.

Sisi arifnya, buku kumpulan tulisan biasanya mencoba untuk tidak menggurui, apalagi menghakimi. Buku jenis itu hanya berusaha membahasakan realitas ke hadapan pembaca. Hermawan pun selalu mengakhiri tulisannya dengan kalimat, "Bagaimana pendapat Anda?" Suatu pertanyaan yang mencerminkan sikap egaliter. Keegaliteran itulah yang membuat buku kumpulan tulisan selalu dapat diterima di berbagai lapisan dan golongan masyarakat.

Kedua, buku kumpulan tulisan mencoba berempati kepada pembaca. Sering penulis buku tersebut memosisikan diri sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat yang tengah dikritisi. Bahkan, ada juga penulis menempatkan diri sebagai murid masyarakat. Misalnya, Cak Nun lewat buku Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki, saat memperbincangkan goyang Inul Daratista. Dia tidak hanya berhenti pada kontroversi goyang yang pernah menghebohkan itu, tapi juga ingin menunjukkan ketidakkonsistenan masyarakat dalam menghadapi sebuah gejala. Misalnya, melarang habis-habisan orang untuk korupsi, tapi jika dirinya kecipratan hasilnya, korupsi seakan-akan menjadi legal. Bagaimana menurut Anda? (*)

Mursyid Burhanuddin, general manager PT Je Pe Press Media Utama

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 16 Mei 2010

No comments: