-- Maria Darmaningsih
DI sela kesibukan kami bekerja di Institut Kesenian Jakarta dan lainnya, kami merenung dan merefleksikan perjalanan Indonesian Dance Festival yang tanpa terasa sudah memasuki tahun yang ke-18. Sal Murgiyanto, dengan berbagai pengalamannya dalam dunia tari, memberi andil besar untuk lahirnya IDF.
Sal memberi inspirasi dan motivasi kepada kami, dosen-dosen di Jurusan Tari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), untuk membentuk wadah bagi karya- karya anak muda, untuk mengembangkan kariernya sebagai koreografer tari. Wadah ini diharapkan memberikan kesempatan kepada para koreografer yang terlibat untuk dapat berinteraksi dengan sesama seniman, para pakar di dunia tari, mengembangkan wawasan, ide kreatif, dan jejaring agar memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk berkarya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Weisberg (1993) dalam bukunya, Creativity Beyond the Myth of Genius, kreativitas membutuhkan pengakuan masyarakat, maka dibutuhkan wadah untuk sebuah kesempatan yang mengantar seseorang pada pengakuan sebagai koreografer yang kreatif di masyarakat luas. Dengan didasari cita-cita mulia, para dosen tari di IKJ, di antaranya Sardono W Kusumo, Julianti Parani, Deddy Luthan, Tom Ibnur, dan kami bertiga (Nungki Kusumastuti, Ina M Surjadewi, dan saya sendiri), sebagai institusi pendidikan di bidang seni, menyumbangkan pemikiran dan kegiatan bagi pengabdian masyarakat, khususnya masyarakat tari. Arti pengabdian bagi kami sebagai dosen yang terjun melaksanakan Indonesian Dance Festival (IDF), sungguh memberikan pengalaman dan makna yang mendalam. Kalau saja IDF mampu bertahan sejak tahun 1992 hingga sekarang dan semoga selanjutnya, tampaknya kami telah berhasil melalui proses pembelajaran melalui pengalaman yang menuntut kemampuan creative problem solving.
18 tahun
Setelah 18 tahun hingga saat ini, meski sampai kesepuluh kalinya, perkara pengumpulan dana untuk penyelenggaraan festival yang layak menjadi kebanggaan ini masih tetap mengalami tantangan yang cukup berat. Terkesan IDF berjalan di tempat, meskipun bukan berarti tidak adanya dukungan dana sama sekali, namun sering kali sementara kami harus berkonsentrasi pada isi di satu sisi, di sisi lain pertimbangan dana menjadi penentu arah penyelenggaraannya.
Menyadari bahwa pada kenyataannya kesenian, terutama seni pertunjukan, tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan dan perhatian dari masyarakat di luar kesenian, kami selalu berupaya untuk memperluas pergaulan IDF. Sejak 2008 Gouri Mirpuri, istri Duta Besar Singapura, memublikasikan IDF dengan menyelenggarakan pre- event di tempat tinggalnya untuk penggalangan dana dan menyebarluaskan informasi di kalangan ekspatriat dan kedutaan besar yang ada di Jakarta. Pada 6 Mei 2010, kami menggalang acara fund raising untuk kalangan yang lebih luas, bertempat di restoran di kawasan Jakarta Pusat, dengan menampilkan Eko Supriyanto dan Eno.
Tahun ini The 10th Indonesian Dance Festival 2010 akan diselenggarakan di IKJ dan Taman Ismail Marzuki pada 14-17 Juni, dengan tema ”Powering the Future”. Tema dari hasil diskusi para Artistic Board IDF, Sal Murgiyanto, Daisuke Muto (Jepang), Tan Fu Kuen (Singapura), I Wayan Dibia, Boi G Sakti, dan Iskandar Loedin.
”Powering the Future” ekspresi untuk mendorong generasi muda agar berkarya dan terjadi regenerasi yang sehat dan berkesinambungan di tengah dunia tari yang berjalan lambat disebabkan situasi yang kurang kondusif, yang bisa menyebabkan seorang koreografer berbakat pun bisa patah arang untuk melanjutkan kariernya. Di sinilah salah satu peran penting IDF, di mana kami mengadakan program emerging choreographers sebagai ruang untuk mewadahi koreografer muda yang berbakat.
Tujuan IDF sebagai ajang pertemuan koreografer maupun penari dari dalam dan luar negeri dengan orientasi artistik dan budaya yang berbeda, sebagai sarana pendorong aktivitas dan kreativitas seniman untuk terpacu bekerja sama lintas negara.
Tahun ini, The 10th Indonesian Dance Festival diikuti oleh enam negara (Indonesia, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Jerman, dan Afrika Selatan) dengan hampir 20 orang/grup koreografer yang ternama di negara asalnya. Indonesia diwakili oleh Jecko Siompo, Eko Supriyanto, Asri Meri Sedyowati, Muslimin, Ajeng, Anggi, Fitri. Kami juga merasa perlu menampilkan karya almarhumah Gusmiati Suid sebagai salah satu tokoh pendobrak tari kontemporer Indonesia, yang karya-karyanya kuat berpijak pada tradisi, namun pencapaiaannya sangat kontemporer.
Vincent Mantsoe, penari asal Afrika Selatan, yang piawai akan disandingkan dengan penata tari Indonesia, Jecko Siompo dari Papua, dan menampilkan kekhasan etnik dalam ranah kontemporer. Sedangkan Meg Stuart dari Jerman akan tampil dengan pemanfaatan teater tari dengan berbagai pendekatan disiplin seni. Ekspresi urban art yang sedang digandrungi anak muda metropolitan diwakili oleh tampilan dua kelompok, KIM Jae-Duk dari Korea Selatan dan Contact Gonzo dari Jepang. Khusus penampilan mereka akan dilakukan di sebuah teater black box.
Sudah ada 19 negara (Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, Taiwan, Korea, Singapura, Kamboja, Filipina, Hongkong, Kanada, Perancis, Venezuela, China, Belanda, Australia, Belgia, Italia, dan India) yang pernah tampil di IDF. Penari dan koreografer Indonesia lulusan IDF, di antaranya Martinus Miroto, Boi G Sakti, Eko Supriyanto, Mugiyono Kasido, Sukarji Sriman, dan Ery Mefri.
IDF adalah sebuah peristiwa. Peristiwa yang telah mengukir tinta emas di bidang tari serta menorehkan nama yang bersinar untuk sebuah perjuangan meningkatkan nama Indonesia di kancah internasional.
* Maria Darmaningsih, Penari
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Mei 2010
No comments:
Post a Comment