Wednesday, May 26, 2010

[Teropong] Mutu Pendidikan: Angan-angan Patah Bersama Ijazah

ENTAH apa yang diangankan para motor ujian nasional ketika memutuskan kebijakan itu. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, ujian nasional justru menjauhkan angan dan harapan sejumlah siswa. Ijazah, bagi sebagian siswa, bagai hidup-mati perekonomian keluarga.

Salah satunya, sebut saja Murni (17), siswi SMA Gotong Royong Yogyakarta. Betapa merindunya ia pada ijazah SMA. Bukan sebagai formalitas, melainkan pintu masuk mendapat pekerjaan yang entah apa.

Faktanya, sulung keluarga miskin itu harus mengulang ujian nasional, 12-15 Mei 2010. Dan, kembali ia tak yakin lulus pada UN ulangan. ”Saya takut mengecewakan keluarga lagi,” katanya seusai mengerjakan UN ulangan mata uji Bahasa Inggris dan Geografi di SMA Negeri 3 Yogyakarta, Rabu (12/5).

Siang itu, Murni terlihat lelah dan muram. Semangatnya padam. Pelajar Jurusan IPS SMA Gotong Royong Yogyakarta itu seakan tahu hasil UN ulangannya. Secara psikologis ia runtuh. Padahal, ia harus memperoleh ijazah tahun ini juga. Amat dia perlukan untuk mencari pekerjaan. Ibunya sakit dan berhenti bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya hanya penjaga kios di Stasiun Kereta Api Tugu.

Selama ini, pendapatan ibunya merupakan pendapatan tetap keluarga, kurang dari Rp 300.000 per bulan. Pendapatan ayahnya tak pernah pasti. Kadang Rp 5.000, kadang bisa Rp 20.000 per hari. Pendapatan itu masih harus dibagi untuk pengobatan ibu dan ongkos sekolah adik Murni yang masih kelas V SD.

Alhasil, bagi Murni, ikut bimbingan belajar adalah kemustahilan. Membeli buku kumpulan soal pun amat berat. Itulah mengapa ia memilih sekolah murah dengan sarana minim.

Untuk menambah penghasilan keluarga, Murni, ketika masih kelas II SMA, bergantian dengan ayahnya menjaga kios. Jam kerjanya pukul 14.00 hingga pukul 19.00 atau pukul 19.00 hingga pukul 23.00.

Sejak itu, prestasi sekolah Murni menurun. Ia tak punya waktu belajar. Waktu senggangnya banyak dihabiskan mengurus pekerjaan rumah tangga. Menonton televisi? Tak ada di rumahnya. Sesekali, ia membawa buku ke kios, tetapi deru kereta dan kebisingan stasiun membuyarkan konsentrasi.

”Secara akademis, sebenarnya ia bisa lulus ujian. Di SMP, ia lancar-lancar saja,” kata gurunya, Yitro.

Murni paham betul kendala yang menghambatnya lulus UN. Namun, ia tak punya daya mengatasinya. Kegalauannya terpendam tanpa tahu jalan keluar. ”Saya malu dan kecewa, tetapi mau menyalahkan siapa atau mau bagaimana? Saya juga tak tahu. Yang penting sekarang, bagaimana caranya bisa cepat dapat ijazah,” ujarnya pelan.

Ia menolak ditemui di rumahnya di kawasan Tompeyan, sekitar 4 kilometer barat perempatan Tugu, ikon kota Yogyakarta. Alasannya, keluarganya miskin sehingga ia malu.

Bantul

Belasan kilometer dari rumah Murni, di Dusun Pedes, Argomulyo, Bantul, permasalahan serupa merundung Pawestri Sujayati (18), siswi SMA Negeri 1 Sedayu, Bantul. Dari enam mata pelajaran, Pawestri gagal di tiga mata uji UN, yaitu Kimia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Dari 330 peserta UN utama di sekolahnya, 116 pelajar di antaranya gagal.

Selama kelas III, Pawestri mengandalkan catatan dan fotokopi catatan teman-temannya. Ia berniat mengikuti Paket C bila tetap gagal UN ulangan demi ijazah. ”Saya harus bekerja secepatnya. Apa saja, yang penting bisa segera membantu ekonomi keluarga,” katanya di rumahnya yang sederhana.

Pendapatan orangtua Pawestri sangat minim. Dari memburuh di sawah, ayahnya memperoleh empat karung beras setiap panen sekitar empat bulan sekali. Beras itu hanya cukup untuk makan keluarganya. Pendapatan tunai diperoleh dari pekerjaan sambilan ibunya: mengasuh anak tetangga, Rp 200.000 sebulan.

Untuk SPP dan uang saku Pawestri, Mariyati (46), ibunya, harus menyisihkan setidaknya Rp 117.000 setiap bulan. Lebih dari separuh penghasilannya.

Padahal, Mariyati masih membiayai anak keduanya di kelas V SD. ”Ibaratnya, makan pakai garam tidak apa-apa asal anak-anak bisa sekolah. Paling tidak sampai lulus SMA,” tuturnya.

Oleh karena itu, Mariyati sangat kecewa anaknya gagal UN. Ia berharap Pawestri segera bekerja meringankan ekonomi keluarga. Di angan-angan Mariyati yang sederhana, sekolah adalah jembatan mengubah nasib. Namun, angan-angan itu begitu rapuh.

Tak pandang bulu

Murni dan Pawestri adalah dua dari 9.237 pelajar SMA/MA/SMK pelajar di DIY yang gagal UN utama tahun ini. Jumlah itu 23,7 persen dari total 39.938 peserta UN utama di DIY tahun 2010 atau turun 18,8 persen dari tahun lalu.

Kegagalan itu bukan milik si miskin. Tak pandang bulu. Termasuk memudarkan impian pelajar yang secara ekonomi terbilang mampu dengan kemampuan akademis di atas rata-rata.

Salah satunya siswa SMA Negeri 1 Yogyakarta, Angga Roudhatul (17). Ia terpaksa batal ikut ujian seleksi masuk beberapa perguruan tinggi negeri yang dicita-citakannya. Angga gagal pada mata uji UN Kimia dengan nilai 3,75.

Padahal, selama di SMA, nilai rapor Angga tak pernah kurang dari 8. Nilai-nilai Angga di lima mata uji UN lainnya pun di atas rata-rata minimal kelulusan 5,5. Angga sebenarnya sudah diterima di Jurusan Agrobisnis Universitas Gadjah Mada melalui jalur ujian tulis yang dikenal sulit ditembus. Ibu Angga, Anik (43), berharap pemerintah bijak memberlakukan UN sehingga ujian tak menambah beban masyarakat. Menurut Anik, UN lebih tepat dijadikan alat memetakan pendidikan, bukan syarat kelulusan sekolah.

Pemberlakuan UN sebagai syarat kelulusan membuat pelajar tertekan. Orangtua pun ikut cemas. Selain itu, UN juga menambah beban ongkos pendidikan.

Lalu, apa hasil UN bagi dunia pendidikan itu sendiri? Sejauh ini, evaluasi UN hanya menampilkan angka dan statistik kelulusan. Bagi sebagian siswa, UN bahkan menjadi tembok penghalang di antara cita atau angan siswa. (IRE/ENG)

Sumber: Kompas, Rabu, 26 Mei 2010

No comments: