Thursday, May 27, 2010

Industri Kreatif: Merawat Semangat Warga

-- Ninuk Mardiana Pambudy

Dalam Jakarta Fashion & Food Festival pertengahan Mei lalu di Kelapa Gading, Jakarta Utara, selain pergelaran karya para perancang mode, parkir bus besar bertulis Airplane di mulut tempat festival.

Panduan tren menjadi pegangan pengusaha dalam mencipta produk sesuai perubahan gaya hidup konsumen. Indonesia Creative Center menjadi yang pertama membuat panduan tren mode yang memasukkan unsur gaya hidup orang Indonesia dalam buku 2011 Surf-vival. (2011 SURF-VIVAL REPRO KOMPAS/DANU KUSWORO)


Untuk komunitas distro Bandung, bus itu tidak asing lagi. Sebagai toko berjalan, bus itu biasa berkeliling di Kota Bandung dan kota-kota lain di sekitarnya, termasuk Jakarta. Tetapi, ini kali pertama bus itu hadir dalam acara mode. Selama ini telanjur ada kesan, produk distro adalah antimode.

”Sebenarnya tidak begitu. Produk distro juga produk mode, tetapi bukan arus utama, lebih produk alternatif. Kami, kan, berangkat dari streetwear, komunitas band, surfer. Lagi pula, rata-rata pendiri distro tidak belajar desain mode,” kata Fiki Satari, pemilik Airplane System, Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK) 2006-2009, dan Direktur Program Bandung Creative City Forum (BCCF) 2008-2012.

Kehadiran Airplane di Jakarta Fashion & Food Festival (JF3) lalu memang atas undangan panitia, tetapi menurut Fiki juga untuk memperluas pasar. ”Pembeli ternyata tidak tertarik baju yang didiskon, tetapi pilih kaus katun organik. Itu memberi saya ide mendiferensiasi produk, masuk ke kelas premium,” kata Fiki yang terkejut dengan hasil penjualan selama dua minggu acara.

Kehadiran Airplane, menurut Wakil Ketua JF3 Musa Widyatmodjo, adalah bagian dari upaya mengaitkan semua aktor industri mode agar terbentuk basis yang luas untuk menuju pameran dagang mode. Musa yang pernah menjadi Ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia mengatakan, mode harus tumbuh sebagai industri, bukan sekadar memenuhi pesanan individu. Harapannya, bukan saja citra Indonesia akan berubah dari ”tukang jahit” dan ”tukang bajak” menjadi gudang desainer kreatif dengan karya orisinal, tetapi juga terjadi nilai tambah tinggi, dan lapangan kerja.

Dalam cetak biru industri kreatif 2008, pemerintah memproyeksikan tahun 2015 industri kreatif akan menyumbang 8 persen dari seluruh nilai barang dan jasa dalam negeri dengan nilai Rp 135 triliun dan menyerap 6,06 juta pekerja. Tahun 2025 sumbangannya 11 persen dari produk domestik bruto (PDB) senilai Rp 237 triliun dan menyerap 9,33 juta pekerja. Meskipun telah dikenali aktor penggeraknya dan komponen yang harus dikembangkan, sampai saat ini belum terasa gerak terintegrasi secara nasional.

Yang tidak putus bergerak adalah dua aktor ekonomi kreatif di luar pemerintah, yaitu pelaku bisnis yang menerjemahkan ide kreatif ke dalam kegiatan ekonomi, dan intelektual yang antara lain terdiri dari cendekiawan, akademisi, dan praktisi.

”Kalau di pemerintahan pusat dan daerah, saya merasa energinya malah menyurut. Saya sendiri memilih fokus mengembangkan energi kreatif kota saya, Bandung,” kata Ridwan Kamil.

Menjaga api

Sebagai ketua BCCF, arsitek dan pengajar di Institut Teknologi Bandung, Ridwan, menularkan ”virus” kesadaran menjadikan ruang kota sebagai perangsang ide dan ekonomi kreatif melalui jalur pendidikan dan komunitas. Dalam tugas akhir mahasiswa, misalnya, dia menggabungkan kerja mahasiswa berbagai jurusan untuk mengembangkan produk kreatif yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat kota.

”Kami sudah membuktikan, bila ruang kota diberi sentuhan desain kreatif, warga akan mengapresiasi. Taman di Dago terbukti didatangi warga. Warga jadi punya pilihan, tidak selalu harus ke mal,” kata Ridwan tentang taman pojok di bawah jalan layang Pasopati. Pencapaian-pencapaian kecil BCCF yang dilakukan konsisten ternyata berhasil menarik minat warga berpartisipasi. ”Sudah ada penerbit buku dan komunitas fotografi yang berpartisipasi mengelola dua taman lagi yang didesain secara kreatif, dilengkapi wi-fi,” kata Ridwan.

Di JF3, juga terjadi sinergi antara individu dan komunitas, salah satunya terbentuknya forum sekolah mode dan tekstil. ”Mengikuti cetak biru pemerintah tahun 2025, industri mode sebagai penyumbang terbesar ekonomi kreatif memberi Rp 92 triliun pada PDB dan dan menyerap 5,6 juta pekerja, berarti butuh 2-3 persen kreator, desainer, dan penggerak industri mode yang berarti 3.730-5.600 orang per tahun, ditambah pekerja 2,8 juta orang. Ini hanya bisa diciptakan melalui pendidikan,” kata Irwan A Noe’man, pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Creative Center (ICC).

Untunglah tumbuh keyakinan pada individu dan komunitas untuk tetap menjaga semangat ekonomi kreatif di tengah hiruk-pikuk politik elite yang melupakan kewajibannya kepada rakyat banyak.

Tren

Salah satu komponen penting industri mode adalah informasi tentang tren. Tren menjadi pemandu arah bagi perancang mode agar karyanya sejalan dengan selera masyarakat.

Tren mode umumnya disusun lembaga yang menyurvei dan mengamati gaya hidup di sejumlah kota, menemui bermacam orang yang dianggap memengarui gaya hidup, mengamati isu sosial, politik, dan ekonomi, mengamati para selebriti. Intinya, lembaga itu mengumpulkan informasi tentang gaya hidup masyarakat dan kemungkinan perubahannya karena mode adalah gaya hidup.

Informasi yang telah diolah disajikan menjadi tema-tema besar arah mode yang kemudian diterjemahkan lagi ke dalam berbagai subtema. Desainer akan menerjemahkan tema-tema itu ke dalam rancangan yang sesuai dengan segmen pasar serta gaya desain si perancang.

”Mulai tahun ini kami membuat tren mode berdasar pantauan kami sendiri dari informasi global, tetapi memang belum sampai pada survei gaya hidup orang Indonesia,” kata Irvan A Noe’man, pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Creative Center, lembaga nonpemerintah yang mengkaji desain dan ekonomi kreatif. Tahun lalu sudah ada cikal bakal buku tren mode dihasilkan ICC, tetapi sepenuhnya masih mengadopsi buku tren dari Carlin International, Perancis, atas bantun Kementerian Koperasi dan UKM.

Tren yang disajikan dalam buku 2011 Surf-vival tersebut melibatkan sejumlah ahli dan memasukkan hasil diskusi kelompok terfokus (FGD). Tahun depan, demikian Dina Midiani, anggota dewan pakar ICC, tren ini akan memasukkan lebih banyak gaya hidup orang Indonesia.

”Tetapi, di 2001 Surf-vival kami memberi contoh bagaimana tren tersebut diterjemahkan ke dalam gaya hidup Indonesia dengan menggunakan bahan khas Indonesia,” kata Dina Midiani.

Buku tren yang sepenuhnya inisiatif ICC itu bertujuan menyambungkan mata rantai utama industri mode.

”Sasaran kami pengusaha UKM, termasuk desainer busana. Kami akan ke beberapa kota menjelaskan mode itu gaya hidup. Jadi, bukan sekadar perubahan warna atau corak, tetapi mengapa ada perubahan dan apa latar belakangnya. Dengan memahami hal dasar itu, para pengusaha bisa menjadi kreator, tidak sekadar meniru. Ujungnya, karya mereka laku dijual di dalam dan luar negeri,” kata Irvan.

Buku ini masih bersifat umum, terutama bagi mereka yang awam tentang industri mode. ”Memang pekerjaan mengubah cara pandang berat dan butuh waktu panjang. Tetapi, pasti akan ada hasilnya setelah 10 tahun dan konsisten. Yang bisa memahami adalah generasi lebih muda yang sekarang masih belajar mode di berbagai sekolah,” tutur Dina optimistis. (nmp)

Sumber: Kompas, Kamis, 27 Mei 2010

No comments: