Sunday, May 23, 2010

Teater: Gandrik "Back to Basic"

-- Ilham Khoiri & Idha Saraswati

MASIH adakah kiat jitu untuk memberantas korupsi yang telanjur merajalela? Bikin saja panti rehabilitasi bagi keluarga yang tak ikut menikmati uang rakyat, tapi terkena dampaknya.

Geladi bersih kelompok Teater Gandrik mementaskan lakon "Pandol" atau Panti Idola di Jakarta, Rabu (19/5) malam. (KOMPAS/PRIYOMBODO)


Begitu lulus pendidikan, para korban korupsi itu didorong untuk berjuang melawan kejahatan yang pernah menyengsarakan mereka.

Begitu kira-kira jawaban yang diusung Bupati Kotabulus dengan membangun panti rehabilitasi korban korupsi. Setelah beberapa tahun, ternyata proyek yang disebut Panti Idola alias Pandol itu meluluskan kader-kader antikorupsi. Ketika jumlah kejahatan itu menurun, Bupati memperoleh penghargaan.

Ini gambaran awal kisah Pandol, lakon terbaru Teater Gandrik asal Yogyakarta. Naskah garapan Heru Kesawa Murti ini dipentaskan di Teater Salihara, Pasar Minggu, 20-22 Mei.

Seiring dengan prestasi Pandol, Bupati (diperankan Butet Kartaredjasa) bersama Direktur Panti (Kusworo Bayu Aji) makin getol menggelontorkan banyak dana untuk kegiatan panti. Kepala Dinas Pendidikan (Heru Kesawa Murti) dan Kepala Dinas Pariwisata (Broto Wijayanto) ikut memotong anggaran dinas masing-masing untuk dialirkan ke proyek itu.

Namun, di tengah gegap gempita itu, dua pemeriksa Panitia Pemberantasan Korupsi alias PPK (Susilo Nugroho dan Sepnu Heryanto) mencium gelagat tak beres. Di balik program panti, ternyata Bupati dan Direktur Pandol mengeruk keuntungan pribadi. Dana program pemberantasan korupsi itu ternyata dikorupsi!

Bupati berusaha berkelit dengan berbagai trik, termasuk mengeluarkan peraturan daerah yang seperti melegalkan korupsi. Kekuatan PPK, lembaga antikorupsi itu, terancam dikebiri. Suasana di Kotabulus memanas.

Begitulah, Pandol mengangkat problem aktual di negeri ini. Bangunan ceritanya menyodorkan anatomi korupsi yang berlapis, digerakkan jaringan penguasa, dan ditamengi berbagai kedok legal, seperti anggaran, perda, dan program antikorupsi. Meski agak aneh, gagasan panti rehabilitasi tadi menggoda tanya: cara apa lagi yang ampuh memberangus korupsi?

Sampakan

Pandol dibawakan dengan cara khas Gandrik: segar, nakal, kocak, penuh parodi atas berbagai soal. Memang kisahnya berlangsung di negeri antah-berantah dengan tokoh-tokoh mirip dunia wayang atau ludruk. Namun, perbincangan di panggung tak henti menyentil berbagai masalah aktual di negeri ini.

Bupati Kotabulus, contohnya, sempat menyebut orang yang besanan dengan koruptor itu pantas masuk Pandol karena terhitung sebagai korban korupsi. Penonton, yang segera bisa membayangkan sosok yang disindir itu, langsung tertawa riuh. Begitu juga saat muncul dua anggota dewan yang berkeliling menjajakan perda, persis pedagang asongan jual rokok.

Adegan demi adegan dibawakan dengan cara ”sampakan”—istilah penyair Kirjomulyo almarhum yang merujuk pada gamelan iringan ketoprak yang riang. Dengan semangat itu, panggung Teater Gandrik menjadi medan terbuka, di mana para aktor bermain secara luwes, spontan, dan keluar-masuk dalam karakter peran atau diri sendiri.

Para pemeran bebas berimprovisasi di luar naskah, bahkan kerap menemukan kembangan adegan baru di atas panggung. Pemain dan penonton disatukan dalam peristiwa panggung.

Pendekatan yang mengambil spirit teater tradisional itu sudah lama dirintis Gandrik, terutama lewat lakon seperti Pasar Seret (1985), Sinden (1986), atau Dhemit (1987). Sebenarnya, kelompok ini juga pernah menjajaki gaya lain. Tahun 2008 mereka mementaskan lakon Sidang Susila yang mengandalkan dialog panjang dan kritik langsung. Lalu, mereka mementaskan Keluarga Tot (2009), lakon realis dari Hongaria yang bernuansa kekeluargaan.

Hanya saja, seperti ditunjukkan lewat Pandol, Gandrik akhirnya kembali ke gaya sampakan. ”Kami sudah mengembara, tapi kembali ke sampakan. Mungkin inilah kejujuran kami dan di sini juga kami menemukan kegembiraan,” kata Butet .


Keroyokan

Para aktor kelompok ini, terutama generasi awal, memang hidup dalam budaya sampakan . Sehari-hari mereka berbicara dan berperilaku spontan, ngomong ceplas-ceplos.

Sampakan lantas dihidupkan lagi lewat latihan yang guyub, terbuka, dan keroyokan. Itu terasa sekali dalam latihan Pandol di Padepokan Bagong Kussudiardja, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, awal Mei lalu. Semangat kolektif diterapkan dalam seluruh proses kreatif sejak pematangan naskah, pengadeganan, pemilihan kostum, properti, sampai pentas di panggung.

Heru, penulis naskah yang terbiasa bekerja individual, membiarkan naskahnya dibedah. Tak ada sutradara tunggal, melainkan tim kreatif pengarah pentas, yang terdiri dari Jujuk, Heru, Butet, dan Djaduk Ferianto. Dalam praktiknya, Butet ikut mengisi cerita dan mengurusi keaktoran, sementara Jujuk mengurus detail permainan.

Generasi lama seangkatan Butet berusaha membuka diri terhadap generasi lebih muda, seperti Kusen Alipah Hadi, Rendra Bagus Pamungkas, hingga Very Ludiyanto.

Gaya sampakan Gandrik memberikan sumbangan berharga bagi dunia teater di Indonesia. Pendekatan ini berhasil menggamit keguyuban teater rakyat dan menyuntikkannya dalam bangunan teater modern. Sampakan juga mencairkan komunikasi dalam teater seraya membebaskan pentas dari jebakan-jebakan bentuk dan estetika teater modern yang kadang agak artifisial.

Lalu, apa lagi tantangan berikutnya?

”Gandrik semestinya bisa memperkuat gaya sampakan dengan berangkat dari problem nyata sehari-hari, permainan lebih wajar, dan meramu berbagai kritik secara lebih cerdas,” kata Wicaksono Adi, pengamat seni pertunjukan.

Sumber: Kompas, Minggu, 23 Mei 2010

1 comment:

teatergandrik said...

terimakasih untuk publishnya,,boleh juga share di link teatergandrik.blogspot.com...
terimakasih