Sunday, May 16, 2010

[Persona] Seperti Naik Sepeda...

RATNA Indraswari Ibrahim punya pengandaian menarik bagi orang yang belajar menulis sastra. ”Menulis itu seperti orang naik sepeda. Sekali bisa, kapan pun tidak akan lupa,” kata perempuan yang pernah mewakili Indonesia dalam Konferensi Wanita Sedunia di Washington DC, Amerika Serikat, tahun 1997 ini kalem.

Santy Octavia yang berada tak jauh di depannya menyambutnya dengan tertawa. ”Bagaimana tidak wong aku dan Ibu (Ratna) ini tidak pernah belajar naik sepeda…,” kata Santy. Ratna segera ikut pula tertawa, bahkan terkekeh. ”Aku dengar, sih, begitu… he-he-he,” ujar dia kemudian.

Begitulah hari-hari Ratna Indraswari Ibrahim, ia bisa bergurau untuk hal-hal yang bagi kebanyakan orang dianggap peka. Ratna tak pernah beban mengungkapkan seputar keberadaannya sebagai difabel. Bahkan sebaliknya justru orang-orang di sekitarnya yang berusaha menghindari perkataan ”penyandang cacat”.

Sastra, menurut Ratna, tidak saja menjadikannya populer, tetapi telah memberinya semacam daya hidup. Dalam sastra orang-orang, katanya, bisa berenang dan menyelami kehidupan seseorang dan mengambil manfaat dari padanya. Ia tidak pernah merasa sebagai orang cacat, justru karena kemampuannya menulis sastra. Pelan-pelan hal serupa juga terjadi pada Santy. ”Ketika saya berhasil menulis cerpen, saya pikir saya punya kemampuan sama dengan orang lain, apa bedanya…,” ujar Santy.

Sejak empat tahun terakhir Ratna dan Santy seperti berkolaborasi ketika menulis cerita. Ratna mengisahkan cerita-ceritanya dengan cara lisan, sementara Santy tidak hanya bertugas sebagai juru ketik, tetapi sekaligus membenarkan kalimat-kalimat Ratna. Ratna mengaku sumber inspirasi ceritanya terutama berasal dari mendengar. Ia mengandalkan kemampuan telinganya untuk mencerap berbagai obrolan, keluhan, dan curahan hati (curhat) dari orang-orang yang mengunjunginya.

”Aku kemudian mengolah segalanya dalam ingatan. Di kepalaku seperti tersimpan gambar-gambar untuk kemudian aku ceritakan. Dan Santy menangkapnya,” kata Ratna. Jika sesi pelisanan selesai, Santy kemudian mencetak hasilnya lewat printer untuk kemudian dibaca Ratna. Pengarang berselera humor tinggi ini tidak bisa membaca dengan baik di layar komputer. ”Mataku sejak sakit itu jadi minus 10 barangkali,” katanya ringan.

Apa yang dikerjakan Ratna dan Santy bukan semata prosedur yang unik, tetapi ini menyangkut pengekspresian sebuah gagasan yang terbalik. Jika para pengarang lain menuliskan kisahnya untuk kemudian dilisankan, Ratna memulai segalanya dari kutub yang berbeda.

”Ceritaku sudah jadi di kepala, baru kemudian ditulis Santy,” ujar Ratna. Dan proses kreatif semacam ini setidaknya telah menghasilkan ratusan cerpen dan tujuh novel, beberapa di antaranya bahkan memenangkan hadiah sastra. Yang terpenting dari itu semua, Ratna dan Santy telah menunjukkan kemampuannya mengatasi keterbatasan fisik dengan kreativitas yang terus mengalir…(CAN/DIA)

Ratna Indraswari Ibrahim
• Lahir: Malang, 24 April 1949 • Pendidikan: FIA Unibraw (tidak selesai) • Organisasi: Ketua Yayasan Bakti Nurani (1977) • Aktivitas: - Seminar Disable People International di Sydney, Australia (1994) - Kongres ”Women International” di Beijing, China (1995) - Leadership Training MIUSA di Eugene, Oregon, Amerika Serikat (1977) - Konferensi Wanita Sedunia di Washington DC, Amerika Serikat (1977) • Prestasi: - Wanita Berprestasi dari Pemerintah RI (1994) - Penghargaan Penggerak Sastra dari Gubernur Jawa Timur (2002) - Penghargaan Kesetiaan Bersastra dari Mendiknas RI (2004) - Penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Harian Kompas (2005)


Sumber: Kompas, Minggu, 16 Mei 2010

No comments: