Saturday, May 22, 2010

[Teroka] Sumur, Air Kendi, dan Kita

-- Siti Siamah

SELAMA berabad-abad sampai dasawarsa 80-an, orang-orang Jawa hampir setiap hari meminum air yang disimpan di dalam kendi. Tanpa ragu, tanpa cemas akan mengalami gangguan di dalam perut, meski ia tahu air di dalam kendi itu berasal dari sumur. Mentah, tanpa dimasak atau disuling. Sumur, dalam tradisi Jawa, dipercaya menjadi salah satu sumber kehidupan.

Betapa segar air kendi yang tersaji di atas meja, atau di atas sasak (sejenis tongkat bambu dengan ujung terbelah-belah yang dianyam khusus untuk menyangga kendi) yang ada di dekat pintu depan atau di sudut ruang tamu. Atau, mungkin yang diletakkan begitu saja di pintu halaman depan atau di tepi jalan sehingga setiap musafir atau orang lewat yang kehausan dapat langsung memanfaatkannya begitu saja.

Ada semacam norma, air dalam kendi selalu gratis bagi siapa saja. Seakan tabu bagi orang Jawa menjual air kendi, air yang memang bisa diambil langsung dari sumur dengan limpahan air yang disediakan oleh alam (Tuhan). Sumur yang biasanya juga dibuat secara bergotong royong di antara orang-orang dekat.

Sebagian orang merasa meminum air kendi akan terasa lebih menyegarkan ketimbang air dimasak, air mineral, atau kemasan, air sulingan, apalagi air yang dicampur atau berwarna. Rasa haus, bahkan letih, lebih cepat terobati dengan air kendi. Sebagian lain malah percaya, air kendi pun memiliki khasiat ”menyembuhkan”, sekadar gejala penyakit ringan, misalnya.

Cara unik

Ada kebiasaan atau cara yang unik untuk meminum air kendi bagi setidaknya orang dewasa di Jawa. Jika hendak minum dari air kendi, seseorang harus mengangkat lebih dulu tinggi-tinggi kendinya di atas mulut, lalu memiringkan dan menuangkan airnya ke dalam mulut. Untuk sebagian orang, ini mungkin bukan cara yang sopan. Tapi inilah kebiasaan dan tradisi itu. Hanya anak kecil yang ditolerir melanggar kebiasaan atau cara tersebut.

Kebiasaan ini kadang mendapatkan semacam ”pembenaran ilmiah”. Dengan dikucurkan lewat cara itu, air kendi dapat bersentuhan langsung dengan udara, menghirup pula oksigen dan zat-zat lainnya, yang pada akhirnya bermanfaat untuk mendapatkan kekuatan tubuh.

Begitu pun cara meminum air kendi seperti di atas akan menghindarkan seseorang dari kontak dengan bekas mulut orang lain.

Hilangnya tradisi

Sumur tidak lain adalah sumber utama air kendi. Biasanya, sumur-sumur di Jawa berada di depan atau di samping rumah. Pada umumnya, sumur-sumur itu dibiarkan terbuka agar sewaktu-waktu tetangga kanan-kiri bisa ikut mengambil airnya. Rasa sosial pun terjaga.

Dalam pemahaman tradisi pun, terbukanya sumur ini membuat jadi jauh lebih sehat. Sirkulasi udara yang bebas dan terbuka akan terus menjaga kesegaran, tingkat keasaman yang dibutuhkan, juga membuat liangnya dipenuhi dengan oksigen.

Sejak dasawarsa 80-an, orang Jawa semakin meragukan kebersihan air sumur. Keraguan yang diakibatkan oleh kekhawatiran kemungkinan kontaminasi bakteri berbahaya.

Sumur dan air kendi kian hari kian lama seperti monumen tua yang kotor, berdebu, tak terpelihara dan sepi sendiri.

Siapa pun kini tak lagi memiliki cukup ”keberanian” (sebuah pengertian yang dahulu sama sekali tak ada) untuk meminum air tanpa dimasak lebih dulu. Dan, air minum tidak lagi gratis karena kita mengeluarkan ongkos untuk itu. Semua simbol, makna, hingga kebiasaan, atau tradisi, bahkan identitas pun aus dengan cepat dan pasti.

Sumur-sumur kini menjadi liang yang tersumbat. Tertutup rapat. Hilangnya sumur dan tradisi air kendi sesungguhnya juga membikin aus secara perlahan tradisi besar yang melahirkannya.

Apa yang tertinggal, kendi dan air di dalamnya kini hanya berposisi sebagai hiasan selebrasi pernikahan, peresmian, atau pemakaman. Dengan seluruh makna sosial-kultural-spiritualnya yang absen. Sebagaimana juga banyak karya kultural tradisi lain yang membisu, menjadi masa lalu. Lalu, tanpa kita tahu, ia lenyap begitu saja berlalu.

* Siti Siamah, Pengelola Buletin Global Pena, Menetap di Kota Bogor

Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Mei 2010

No comments: