Sunday, May 30, 2010

F.X. Widaryanto (Pengamat Tari, Dosen STSI Bandung): "BDF II Menerabas Lintas Bantas"

JIKA Bandung Dance Festival (BDF) I tahun lalu mengusung tema ketubuhan sebagai lanskap, maka BDF II kali ini mencoba memberikan rekognisi baru pada beberapa perkembangan tari di luar "tren ideal" yang ber-kembang di masyarakat dewasa ini. Oleh karena itulah, BDF kali ini berangkat dengan semangat "menerabas lintas batas" atau crossing the border yang mewarnai pembagian waktu penyajian. Dan itu diharapkan bisa sekaligus memberikan kesadaran akan permasalahan orientasi karya dalam beberapa lapis masyarakat dewasa ini. Di lain sisi, festival kali ini juga didorong untuk menyadari perubahan, seraya menetapkan jelajahnya pada lanskap ketubuhan.

Konsep ini terus diperluas seiring dengan makna kekiniannya yang terus meneriakkan nilai-nilai eks-trinsiknya yang terlihat berusaha melampaui bentuknya sendiri. Dengan demikian, festival tari ini lebih dirasakan sebagai kegiatan publik dan bukan semata kegiatan akademik yang kaitannya dengan penyelenggara atau pun venues yang mengusungnya.

Demikian ungkap F.X Widaryanto seputar pelaksanaan BDF II tahun ini. Berikut petikan wawancara bersama pengamat tari, kritikus, sekaligus dosen Jurusan Tari STSI Bandung ini.

Dari keseluruhan para penampil, apa sesungguhnya yang ditawarkan oleh panggung BDF II bagi perkembangan jagat tari di Indonesia? Baik secara tematik maupun eksplorasi bentuknya?

Yang ditawarkan adalah dialog yang tidak langsung dalam sebuah event yang memungkinkan adanya lintas generasi, baik yang bersifat entertainment di kalangan anak muda dengan berbagai perkem-bangan hip-hop ataupun breakdance, maupun yang memberikan perluasan eksplorasi tubuh dalam berbagai bentuk ungkap silang ranah seni. Salah satu contoh yang menarik adalah karya "Phallus Tarung atau Candu dan Ingatan" garapan Ine Artini dan Herry Dim yang dibantu oleh bintang tamu Fajar Satriadi. Di sini seluruh energi dalam varian kekuatannya bermunculan, baik secara visual maupun secara audio. Penggarap mencoba "bertutur" tentang sebuah "keluarga" dengan kekerasan kelaki-lakiannya, dengan kelembutan dan kepedihan seorang perempuan, dan diakhiri dengan kelucuan se-orang anak yang mencoba mencari dan menemukan vitalitas kelem-butan seorang ibu.

Sebaliknya di sisi paling luar, penonton menikmati sebuah rangsang kinetik maupun kinestetik dalam sajian teknik gerak yang prima dari anak-anak muda asuhan alumni STSI Arinto, yang bergelut dalam tradisi kreatif yang disukai anak muda dengan mengembangkan berbagai sumber gerak breakdance yang cukup atraktif. Di antara kedua "kutub" ini ditawarkan berbagai garap yang cukup kuat dalam teknik ataupun totalitas penghayatannya. Lihat dengan karya Jeffry, dengan kesadaran akan krisis sumber daya alam dengan karyanya yang berjudul "Tanah Merah". Atau Herry Suwanto dengan "Scent" yang mengolah kerinduan internal masyarakat nelayan dan Ria Dewi Fajaria dengan "Tabularasa" yang mengungkapkan "kemarahan, kekecewaan, yang dicoba visualisa-sikan dalam berbagai kemungkinan kekentalan bahasa tubuh". Kita juga bisa mendapati ekspresi kegenitan Lalu Suryadi dengan "Jejak yang Tertinggal". Tak kalah menarik adalah eksplorasi para mahasiswa yang sudah menggarap kedalaman isi yang tak terduga, seperti pada "Stigmata" karya Hanny.

Sampai sejauh mana BDF II memberi semacam optimisme bagi lahirnya sebuah generasi baru dalam jagat tari Indonesia, dan apa yang mereka usung, lalu bagaimana mereka memosisikan diri di tengah tradisi yang telah ada di belakangnya?

Karena sifatnya yang "menerabas lintas batas" tadi, maka ada kecenderungan kurangnya fokus substansi garap dari lintas generasi yang ada ataupun lintas seni yang digarapnya. Namun untuk Kota Bandung yang sudah menyandang dirinya sebagai kota urban, tampaknya wadah festival yang mulai mewadahi kecenderungan perkembangan bentuk yang ada di masyarakat ini perlu juga dimulai. Di satu sisi, langkah ini akan memberikan kontribusi bagi tumbuhnya sense of belonging anak muda pada event festival ini. Di sisi lain, mereka mendapatkan kesempatan dialog dengan karya-karya serius yang memiliki tren ideal di kalangan seniman produk pendidikan seni formal yang ada. Perkawinan antarkeduanya akan memberikan makna baru yang pada suatu saat akan "diceraikan" secara alami menjadi forum yang memang masing-ma-sing harus berdiri sendiri dengan kebutuhan kehidupannya yang berbeda satu sama lainnya.

Di sinilah kemudian muncul kebutuhan aktualisasi diri dalam penggalian jati diri yang sebenarnya. Produk kolektif dalam bentuk baku seni tradisi akan menjadi bagian dari sebuah benang merah yang selalu dibawa oleh para pelakunya. Tradisi kreatif keempuan di masa lalu yang kemudian membudaya dalam berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan ciri-ciri tersendiri yang tidak dimiliki oleh wilayah komunitas budaya yang lainnya. Fenomena multikultural yang dirajut oleh BDF kali ini, sekaligus menyorongkan laku persentuhan interkultural yang justru saat ini sangat dibutuhkan, terutama di tengah-tengah kerentaan akan toleransi, kesetaraan, dan juga kebersamaan anak-anak bangsa dewasa ini. Di sinilah optimisme proses mengindonesia semakin terlihat menjadi bagian dari proses dialogis yang harus didukung keberlanjutannya. Bukan untuk menjadi "seragam", tetapi justru menjadi cair dan menawarkan berbagai kekuatan local wisdom yang dimilikinya.

Untuk merajut semua kekuatan tampilan di atas, diperlukan seorang dramaturgi yang mampu membaca struktur visualisasi karya secara jeli sehingga kekuatan karya yang baik tidak kemudian "dinodai" oleh tiadanya jarak sajian yang mampu mengendapkan memori karya sebelumnya. Di sinilah the BDF II ini harus terus dibenahi. Salah satu contohnya adalah kekuatan "Outer-Limit"-nya Arinto Sapto Nugroho yang tidak harus dijejerkan dengan "Phallus Tarung"-nya Ineu Arini dan Herry Dim. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 30 Mei 2010

No comments: