JAKARTA (Lampost): Kritik terhadap keberadaan sekolah berlabel internasional (SBI) terus mengalir. Selain karena biaya sekolahnya yang mahal, sistem SBI juga telah menjadi bentuk diskriminasi dalam pendidikan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan SBI yang diselenggarakan pemerintah saat ini berlebihan sehingga pada prakteknya menjadi diskriminatif. Sekolah-sekolah negeri yang dijadikan SBI tidak benar-benar bertaraf internasional, tapi hanya berlabel internasional, seperti iklan saja. "Ini yang menimbulkan masalah karena ada sekolah negeri yang berbahasa Inggris dan ada yang tidak," kata Jimly di Jakarta kemarin (30-5).
Yang ekstrem, pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai SBI atau rintisan SBI adalah inkonstitusional karena melanggar Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Pasal itu menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, bukan pendidikan internasional.
"Sekolah berlabel internasional ini di luar sistem pendidikan nasional yang diatur dalam Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Namun, sepanjang UU No. 20/2003 Pasal 50 yang mengatur pengembangan sekolah berlabel internasional ini tidak dihapus, sekolah-sekolah ini akan terus dikembangkan," kata Darmaningtyas.
Pendapat Darmaningtyas itu, menurut Jimly, dapat dipahami. Namun, untuk membuktikannya, ketentuan yang mengatur SBI dalam UU Sisdiknas harus diuji terhadap UUD 1945 ke MK. "Kalau ada penafsiran seperti itu (SBI melanggar konstitusi), itu bagus. Tapi harus diuji dulu ke Mahkamah Konstitusi, apakah ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945."
Karena itu, pemerintah, kata Jimly, cukup menyelenggarakan pendidikan nasional saja. Sementara itu, untuk sekolah bertaraf internasional, pemerintah cukup sebagai pemberi izin peran serta masyarakat dengan mengembangkan sekolah swasta internasional. (MI/R-2)
Sumber: Lampung Post, Senin, 31 Mei 2010
No comments:
Post a Comment