-- Dahono Fitrianto dan Ingki Rinaldi
SUMPUR Kudus, sebuah nagari di pedalaman Sumatera Barat, hingga lima tahun lalu belum terjamah listrik. Seorang perantau kelahiran desa itu menjadi pemicu perubahan.
Jejak-jejak ketertinggalan dan keterisolasian masih terlihat di Sumpur Kudus. Jalan-jalan terjal dan berliku dengan ancaman longsor pada musim hujan. Penduduknya pun masih menggantungkan hidup dari hasil menyadap karet alam di kebun dan bagian hutan yang landai. Hasil pertanian padi dari sawah yang terhampar indah di pinggir nagari (unit administrasi setingkat desa) hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari.
Dengan kondisi jalan sudah beraspal mulus dan bisa dilalui mobil-mobil terbaru, perjalanan menuju kota kecamatan terdekat masih membutuhkan waktu sekitar satu jam. Untuk ke ibu kota kabupaten di Muaro Sijunjung, paling tidak diperlukan dua jam perjalanan.
Padahal, Sumpur Kudus bukan sekadar desa terpencil yang tak punya arti dalam sejarah. Hampir semua orang Minangkabau pasti tahu bahwa nagari itu adalah salah satu dari tiga tempat bersemayamnya Rajo Nan Tigo Selo, semacam ”triumvirat” yang menguasai Sumatera Barat pada abad ke-16 dan 17. Rajo Alam di Pagaruyung, Rajo Adat di Buo, dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus. Nagari ini bahkan mendapat julukan ”Makkah Darek” atau Mekkah Daratan karena menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di wilayah Sumatera Barat.
Namun, nagari itu seperti dilupakan. Berpuluh tahun kemudian, desa itu tetap terisolasi, tersuruk di tengah belantara hutan dan perbukitan Bukit Barisan. ”Hingga tahun 1980-an, masyarakat di sini masih memakai kuda untuk pergi ke kota terdekat karena kondisi jalan masih jelek,” tutur Wali Nagari Sumpur Kudus Nasirwan.
Sampai suatu ketika, seorang perantau dari nagari itu meraih sukses dan posisi penting di pusat pemerintahan negara di Jakarta. Perantau itu bernama Ahmad Syafii Maarif (74) Ketua PP Muhammadiyah periode 1998-2005 yang juga seorang tokoh masyarakat, keagamaan, dan pluralisme yang disegani. Melalui jaringan pertemanannya di pemerintahan, Syafii meminta agar pemerintah menaruh perhatian dan sentuhan pembangunan di kampung halamannya yang terisolasi. Desa itu dulu menjadi pusat perdagangan emas pada masa Minangkabau kuno itu.
Berkat lobinya, akhirnya masyarakat Sumpur Kudus bisa menikmati jalan beraspal dan listrik. Listrik masuk ke desa tersebut tahun 2005, aspal menyusul dua tahun kemudian. Menara BTS untuk memancarkan sinyal telepon seluler baru dibangun 2007.
Enam puluh tahun setelah republik ini merdeka, nagari itu akhirnya tersentuh peradaban modern. Penduduk pun tak perlu lagi menunggang kuda beban selama dua hari untuk berbelanja barang-barang kebutuhan sehari-hari ke kota terdekat.
Menurut Damhoeri, Syafii juga turut membantu pembangunan panti asuhan anak yatim terbesar di Sumpur Kudus yang ada saat ini. ”Walaupun sudah lebih setengah abad waktunya habis di perantauan, cinta pada kampung halaman tak pernah pudar,” tutur Damhoeri tentang bekas adik kelasnya saat bersekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Lintau, awal 1950-an itu.
Didorong adat
Inilah puncak perjalanan seorang perantau dari Minangkabau. Merantau (terutama bagi laki-laki) di kalangan masyarakat Minangkabau, yang menganut sistem matrilineal, adalah aktivitas yang didorong oleh adat.
Semua orang Minang pasti hafal dengan pantun berikut ini: Karatau madang di ulu/Babuah babungo balun/Marantau bujang dahulu/di rumah paguno balun. Kira-kira, merantaulah semasa muda sebelum bisa menjadi orang berguna di rumah.
Merantau dalam konteks adat tradisi Minangkabau adalah sebuah proses, bukan sebuah migrasi permanen. Menurut pemikir kebudayaan asal Minang, Yasraf Amir Piliang, merantau adalah sebuah ruang sementara pembentukan diri seorang Minang sehingga kelak saat ia sudah sukses, ia akan kembali ke tanah asalnya.
Banyak perantau dari Minang ini yang tidak pulang ke kampungnya lagi setelah sukses. Ada pula yang pulang tidak dalam ujud fisik, tetapi cukup dengan mengirim uang secara rutin kepada keluarga di kampung.
Namun, apa yang dilakukan Syafii lebih dari semua itu. Betul, bahwa Syafii dan keluarganya masih memilih tinggal di Yogyakarta. Namun, ia masih rutin pulang ke Sumpur Kudus, menginap di rumah kerabatnya. ”Kalau pulang, Buya masih suka jalan kaki ke kedai kopi untuk ngobrol dengan orang-orang kampung. Semua ia yang traktir,” tutur Asril Maruf, saudara sepupu Syafii.
Inilah gambaran perantau yang dikehendaki adat tradisi Minang. Namun, seperti juga semua tradisi di segenap belahan dunia yang sedang menghadapi globalisasi, adat istiadat Minang pun sedang dalam proses pergeseran dan perubahan....
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Mei 2010
No comments:
Post a Comment